Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tri Djoko Juwono adalah orang Jawa dari generasi lalu. Usianya lebih dari setengah abad. Namun dia sangat anti-kerokan, cara pengobatan tradisional Jawa yang dipercaya manjur mengatasi masuk angin. ”Takut kulit rusak,” katanya. Tapi itu dulu. Sebab, sejak tiga tahun silam, pendirian guru musik yang tinggal di Bekasi tentang kerokan berubah 180 derajat. Dia menjadi ketagihan dikerok. Malah Tri mencoba menularkan ”hobi” barunya ini kepada orang lain.
Tri pun bercerita. Waktu itu, sepulang dari arisan di lingkungan rumahnya, dia merasa pening dan badan lesu. Seorang tetangganya lantas menawarkan diri mengeroknya, tapi bukan dengan koin, melainkan dengan sekeping benda hitam berkilap seukuran telapak tangan. Benda itu dikerokkan pada punggungnya setelah bagian yang akan dikerok diolesi minyak terlebih dulu. Ajaib, pening hilang, tubuh pun bugar.
Menurut sang teman, itu adalah terapi gua sha, cara pengobatan tradisional Cina yang sudah dipraktekkan sejak lebih dari 2.000 tahun silam. Gua artinya kerok atau gosok, sedangkan sha berarti kemerahan. Bisa dibilang gua sha adalah kerokan ala Cina.
Tri kemudian menjajal terapi ini untuk mengobati kakinya. Sejak masih duduk di bangku SMA, tiap menempuh perjalanan jauh, pergelangan kakinya membengkak.
Saban hari, kakinya digosok dengan alat kerok yang disebut papan gua sha—bisa terbuat dari tanduk kerbau. Dalam seminggu, kakinya membaik. Dia bisa melenggang jauh ke mana pun tanpa keluhan.
Merasa bersyukur, Tri belajar lebih baik mengerok dengan papan gua sha kepada temannya itu. Tri pun bisa membantu orang lain. ”Banyak yang sudah berhasil sembuh, terutama yang punya keluhan migrain,” katanya.
Nah, hampir setahun belakangan, Tri belajar kerok ala Cina lebih serius di tempat yang memang khusus mengajarkan terapi gua sha, di sebuah gedung di kawasan Mangga Dua, Jakarta Barat. Setiap hari ada saja orang yang datang ke sana, baik sekadar berobat maupun berlatih menerapkan terapi gua sha. Bahkan, menurut Arman Amirullah, salah seorang terapis di sana, beberapa bulan belakangan ini peminatnya makin banyak.
Terapi gua sha dipercaya mampu menimbulkan qi atau energi bioelektrik dan melancarkan peredaran darah. Dalam pengobatan tradisional Cina, gua sha dipercaya mampu menyembuhkan kelelahan hingga penyakit kronis. Stres pun bisa disembuhkan.
Apa yang dipelajari Tri secara prinsip sebenarnya sama saja dengan kerokan, cara pengobatan tradisional Jawa yang dipercaya bisa mengatasi masuk angin. Manfaat kerokan pun sudah dirasakan oleh banyak orang, dari generasi ke generasi. Hanya, mungkin belum ada tempat yang khusus mengajarkan cara kerokan ala Jawa dengan baik dan benar, serta klinik pengobatannya.
Metode kerokan yang umum dilakukan adalah dengan mengerok bagian punggung sesuai dengan garis tulang belakang dan garis-garis melintang seperti tulang rusuk. Sebelumnya, bagian tubuh yang akan dikerok dilumuri dahulu dengan minyak kelapa atau balsem. Biasanya, alat keroknya berupa benggol atau uang logam.
Namun kerokan bukanlah metode ndeso yang tidak ilmiah. Adalah Didik Tamtomo, ahli anatomi dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, yang berjasa membuktikannya. Dia mendapat gelar doktor dengan disertasi kerokan di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 2005. ”Walau semula saya ditertawai teman-teman ketika memilih tema ini,” kata dokter 55 tahun yang juga gemar kerokan ini. Toh, akhirnya dia berhasil melakukan penelitian, dan membuktikan bahwa kerokan menyembuhkan nyeri otot atau istilah kedokterannya mialgia.
Didik waktu itu memilih 38 orang perempuan sehat berumur 40-50 tahun sebagai responden. Mereka adalah pasien yang biasa berobat di kliniknya. ”Dari segi usia mereka rentan terserang nyeri otot,” katanya. Dari jumlah responden tersebut, setengahnya mendapat kerokan saat nyeri otot. ”Ternyata mereka bisa sembuh,” kata Didik, yang mengeluarkan biaya lebih dari Rp 50 juta untuk penelitian tersebut.
Secara medis, kerokan merangsang reaksi inflamasi di bawah kulit. Reaksi inflamasi—yang ditandai dengan munculnya bilur-bilur merah pada permukaan kulit—mampu membersihkan jaringan kulit mati dan memperlebar pembuluh darah sehingga aliran darah lancar.
Menurut hasil uji laboratorium terhadap sampel darah responden, kadar beta endorfin—yang memproduksi zat morfin—naik drastis. Sedangkan kadar prostaglandin, atau zat yang membuat tubuh merasa sakit, menurun. Itulah yang membuat tubuh menjadi hangat dan terasa nyaman setelah dikerok. ”Orang yang suka kerokan biasanya ketagihan, itu karena zat morfin dari tubuh yang menyebabkan kita rileks,” kata Didik.
Didik berani menjamin, kerokan tak bakal merusak jaringan saraf kulit, seperti dikhawatirkan banyak kalangan. ”Sebelum menentukan sampel, saya mengambil kulit saya yang baru dikerok. Ternyata tidak ada kerusakan sama sekali,” kata Didik, yang menyarankan penggunaan minyak kelapa sebagai pelicin kerokan.
Namun Didik belum mendapat kejelasan secara medis, apakah warna bekas kerokan mengindikasikan berat-ringannya penyakit. Tapi, dari perlakuan terhadap responden, ke-19 orang yang menderita nyeri otot, setelah dikerok, warna kulit mereka merah kehitaman. ”Kalau orang sehat tidak akan bisa seperti itu,” katanya. ”Ini perlu diteliti lebih lanjut”.
Lebih jauh, Didik yakin bahwa kerokan juga bisa menyembuhkan penyakit lain yang berkaitan dengan nyeri otot seperti nyeri kepala, migrain, dan nyeri ketika menstruasi. Dia bahkan menyarankan agar pasiennya tidak ragu-ragu melakukan kerokan, asal dengan benar dan hati-hati (lihat boks Jangan Asal Kerok).
Dampak positif kerokan sebenarnya sudah banyak diakui para dokter. Menurut Handono Kalim, pakar rematik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, kerokan di dunia kedokteran dikenal sebagai bagian dari pengobatan komplementer seperti akupunktur, pijat refleksi, dan bekang (kop). Pada penyakit tertentu yang ringan seperti pegal-pegal, nyeri otot, dan demam, cara ini manjur. ”Tapi, kalau untuk penyakit berat seperti tifus, malaria, atau jantung, saya rasa tidak,” katanya.
Handono mengatakan sampai sekarang belum ada efek buruk kerokan. Kerusakan saraf kulit pun, menurut Handono, tak bakal terjadi karena kerokan cuma menyentuh kulit bagian luar. ”Paling badan jadi merah-merah dan bau minyak,” katanya. Satu lagi, dampak buruknya, yaitu bikin orang ketagihan.
Nunuy Nurhayati, Imron Rosyid (Solo)
Jangan Asal Kerok
- Alat pengerok harus tumpul agar tidak melukai kulit, dan bersih.
- Minyak dibutuhkan selain menghangatkan tubuh juga untuk melicinkan proses kerokan.
- Pada dasarnya seluruh tubuh manusia boleh dikeroki.
- Bagian yang paling baik dikerok adalah daerah belakang tubuh, kepala, atau leher, karena di tempat-tempat tersebut terdapat sekitar 360 titik akupunktur utama yang berhubungan dengan organ penting.
- Cara yang benar adalah mengerok bagian tengah tulang belakang secara vertikal dari atas ke bawah, diikuti dengan cara yang sama di sebelah kanan dan kiri tulang belakang—jadi ada tiga garis vertikal—baru dilakukan kerokan menyamping di punggung mengikuti arah tulang rusuk.
- Jangan mengerok leher bagian depan, karena banyak sekali saraf kecil, yang bila terlalu ditekan bisa berakibat fatal, misalnya pingsan.
- Jangan mengerok terlalu keras. Yang terbaik adalah pelan, namun teratur dan ajek.
- Penderita penyakit kulit seperti panu, kadas, kurap, dilarang keras kerokan karena akan memperparah infeksi atau peradangan.
- Penderita diabetes juga sebaiknya menghindari kerokan. Bila luka atau lecet, sulit sembuh.
- Jangan bertukar alat kerokan dengan orang lain. Sekecil apa pun luka bakal jadi gerbang masuk virus hepatitis C atau HIV.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo