Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Mukjizat Pianis Berjari Empat

Pianis klasik Korea Selatan mengadakan konser di Jakarta pekan lalu. Ia cuma memiliki dua jari di setiap tangan dan mengalami keterbelakangan mental.

2 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua jari tangannya membolak-balik uang kertas merah. Ada gambar di mata uang pecahan Rp 100 ribu ini yang menarik perhatiannya. Gambar dua tokoh proklamator Indonesia itu terasa asing baginya. Ia pun bertanya kepada orang di sekitarnya. Begitu terjawab, gadis ini memasukkan dengan hati-hati uang itu ke dompetnya. Ia tak ingin uang itu terlipat dan kusut.

Nama gadis kelahiran Seoul 9 Juli 1985 ini adalah Hee Ah Lee. Seorang pianis asal Korea Selatan yang memiliki jari dan mental tak sempurna. Ia terlahir sebagai anak yang menderita lobster claw syndrome, hanya memiliki dua jari di setiap tangan. Ia juga mengidap down syndrome, keterbelakangan mental. Bagi orang lain mungkin ini penderitaan, tapi tidak baginya. ”Ini hadiah dari Tuhan, dan saya tak boleh menyerah karenanya,” kata Hee Ah Lee.

Hee Ah menjadi sebuah fenomena pianis cacat yang memukau sekaligus mengundang haru. Jarinya yang terlihat lemah mampu membawakan nomor macam Fantaisie Impromptu in C sharp minor, op. 66 karya Frederic Francois Chopin, Hungarian Dance karya Johannes Brahms, Plaisir dAmour karya Giovanni Battista Martini, Serenade karya Franz Peter Schubert, dan Piano Concerto No. 21, the Second Movement karya Wolfgang Amadeus Mozart. Padahal, sebelum bermain piano, untuk memegang pensil saja ia tak mampu.

Saat berumur enam tahun ia mendapat terapi piano untuk menguatkan jemari tangannya. Sang ibu, Woo Kap Sun, dengan telaten dan sabar membimbingnya bermain piano. Hee Ah kemudian kursus piano atas bimbingan Cho Mi Kyoung. Sang guru dengan keras mendidik Hee Ah untuk bermain seperti orang normal. Saking keras-nya, Hee Ah merasa takut, melebihi takutnya kepada sang ibu. Jika sedang ngambek, sang ibu dengan telaten memotivasinya.

Ya, gadis ini memang tak pernah menyerah sejak kecil. Ketika berumur lima tahun dan bermain dengan temannya, ledekan tak pernah berhenti menyerang batinnya. Acap kali ia disebut sebagai hantu atau monster. Tapi Hee Ah tak marah. Perempuan kecil yang juga memiliki kaki sebatas lutut ini tak minder. ”Oke, kalau saya hantunya, ayo kita main hantu-hantuan,” ujarnya mengenang masa kecil.

Keteguhan yang luar biasa ditunjukkan pianis bergelar The Four Fingers Pianist itu. Bayangkan, selama satu tahun ia baru bisa menguasai satu komposisi Fantaisie Impromptu karya Chopin. Baginya, Chopin adalah seorang pianis yang fantastis dan romantis. Menyentuh perasaan terdalam. Semangatnya terus tergugah setiap memainkan karya Chopin. Ia pun memutuskan setiap hari berlatih selama 10 jam selama lima tahun. ”Ketika perasaanku sedang sakit, letih, dan lelah, piano menjadi teman baik yang terus menggugahku,” katanya.

Saat mengenyam pendidikan musik di National College of Rehabilitation & Welfare, kemampuannya makin terasah. Hee Ah mulai berani menggelar permainan piano di depan publik. Mulanya di sekolah-sekolah sekitar kotanya. Ia tampil untuk memberikan inspirasi bagi penyandang cacat bahwa mereka tak perlu minder. Namanya mulai dikenal publik musik klasik saat bermain dalam The Dreaming Room di Jepang pada 8 Mei 1996.

Publik pencinta musik klasik seluruh dunia tersentak. Hee Ah bak sebuah mukjizat yang memberikan inspirasi bagi anak penderita cacat maupun tidak. Undangan bermain ke luar negeri makin membanjir, seperti ke Amerika, Kanada, Inggris, dan Cina. Bahkan salah satu konsernya ditayangkan di 100 negara. Pada Sabtu pekan lalu ia pun mampir ke Indonesia dalam konser Sharing the Strange of Love di Balai Kartini. Sebuah konser yang sebagian penjualan tiketnya akan disumbangkan ke Yayasan Penderita Anak Cacat. ”Mungkin kalau jari saya ada sepuluh, saya tak akan ada di Indonesia,” ucapnya.

Pada 2005, satu album telah ia luncurkan, bertajuk Hee-ah, a Pianist with Four Fingers. Album ini memuat komposisi karya Frederic Francois Chopin, Johannes Brahms, Giovanni Battista Martini, Franz Peter Schubert dan Wolfgang Amadeus Mozart. Album ini juga menampilkan suara Hee Ah dalam lagu Amazing Grace yang ditulis Stephen Moon. Stephen adalah alumni Jurusan Komposisi Universitas Nasional Seoul yang tertarik membantunya. Album itu mulanya ia inginkan hanya sebagai arsip pribadi. Namun, karena publik Korea mencarinya, terjadilah penjualan.

Semua keberhasilan itu atas kesabaran, keuletan, dan ketabahan sang ibu, Woo Kap Sun. Mantan perawat sebuah rumah sakit di Seoul ini rela menghabiskan semua waktunya buat sang anak. Hee Ah merasa sangat beruntung memiliki ibu seperti dia. Woo Kap Sunlah satu-satunya orang yang terus membelanya. Adapun ayahnya yang menjadi veteran perang Vietnam meninggal saat ia masih belia. ”Saya sebenarnya ingin sekali bertemu dengan Ayah,” kata Hee Ah sambil menunjukkan foto kuburan sang ayah melalui layar ponsel.

Bersama sang ibu, Hee Ah sering berkunjung ke Museum Perang Korea di Seoul. Ia termasuk cerewet bertanya kepada sang ibu tentang apa saja yang ada dalam museum. Hee Ah ingin menelusuri jejak sang ayah lewat museum perang itu. Ia begitu menghargai sejarah yang tak banyak diketahuinya, termasuk sepak terjang sang ayah se-bagai tentara Korea Selatan.

Itulah yang membuat Hee Ah Lee sangat hati-hati menyimpan uang Rp 100 ribu yang bergambar bapak bangsa Indonesia. Ia tak ingin ”bapak bangsa” sebuah negeri menjadi lecet.

Andi Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus