Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ulung Hara Hutama menanti hari baru. Wajah bayi 18 bulan ini berseri-seri. Senyumnya mengembang saat dia membolak-balik buku cerita Kancil Mencuri Ketimun, hadiah dari ibunda. Rencananya, jika kondisi Ulung terus berseri, pada Senin pekan ini, 6 November, dia boleh meninggalkan Rumah Sakit Dr Kariadi, Semarang, yang sudah lebih dari sebulan dia tempati. Pulang ke rumah.
Hari baru dengan hati baru. Kedua orang tua Ulung, Didik, 38 tahun, dan Lisa Olivia, 28 tahun, bungah. Telah lewat masa kritis yang mendebarkan, setelah Ulung mendapat cangkok hati baru, tepatnya pada 1 Oktober lalu. Sepotong hati, kira-kira sebesar sebungkus rokok, milik Lisa Olivia telah dicangkokkan kepada Ulung. Liver asli milik si bayi telah dibuang. ”Sudah rusak,” kata Yulianto Suwardi, spesialis bedah anak, ketua tim cangkok hati yang menangani Ulung.
Sebuah momentum yang menjadi catatan emas bagi dunia kedokteran Indonesia, khususnya bagi Rumah Sakit Dr Kariadi. Ulung adalah bayi pertama—juga pasien pertama—yang menjalani cangkok hati oleh tim ahli Indonesia. Selama ini memang ada beberapa pasien dari Indonesia, termasuk almarhum Nurcholish Madjid, yang menjalani operasi serupa. Tapi operasi biasanya dilakukan di Singapura atau Cina.
Ulung kecil sangat pemberani. Si buyung harus merasakan tajamnya pisau bedah dalam sebuah operasi besar, total 12 jam. Operasi harus ditempuh karena Ulung mengidap billiary atresia, salah satu jenis penyakit kolestasis atau penyumbatan saluran empedu pada liver. Secara khusus, billiary atresia adalah penyumbatan saluran empedu pada bayi karena kelainan bawaan yang terjadi pada satu dari 15-20 ribu kelahiran. ”Kami sempat syok mendengar diagnosis dokter tentang Ulung,” kata Lisa kepada Tempo.
Penyumbatan saluran empedu seperti dialami Ulung akan berakibat bilirubin tertimbun dalam hati. Bilirubin, pigmen atau zat warna empedu, seharusnya keluar dari kantong empedu, kemudian bertugas membantu usus halus mencerna makanan. Tapi, pada situasi kolestasis, bilirubin menumpuk di hati. Akibatnya, kerja organ ini menjadi terlalu berat sehingga sel-selnya rusak, mengeras, dan membesar.
Risikonya tidak main-main. Keseluruhan sistem metabolisme tubuh bisa terganggu, bahkan bisa terjadi kegagalan fungsi organ yang mematikan. Pencangkokan liver mesti dilakukan dalam situasi yang parah. ”Tanpa penanganan medis, pengidap penyumbatan saluran empedu tak akan berumur panjang,” kata Hartantyo, dokter spesialis anak, sekretaris tim cangkok hati.
Hingga saat ini para ahli belum bisa memetakan secara lengkap penyebab terjadinya billiary atresia. Pada beberapa bayi, hal itu boleh jadi lantaran saluran empedu tidak terbentuk sempurna selama kehamilan. Kemungkinan lain, saluran empedu rusak akibat sistem kekebalan tubuh merespons infeksi virus yang didapat setelah bayi lahir.
Biasanya, tak ada gejala khusus yang menandai saluran empedu yang tersumbat ketika si bayi baru lahir. Gejala muncul berbilang hari atau pekan—ada yang menyebut 2-8 pekan—setelah kelahiran.
Ulung misalnya. Gejala kelainan muncul pada hari ketiga setelah lahir. Mata dan kulitnya menguning. Padahal, semula kulitnya putih bersih seperti orang tuanya. Meski sudah dijemur matahari selama dua pekan, seperti nasihat dokter, ternyata gejala itu tak berkurang. Bahkan, hingga usianya menginjak dua bulan, ”Gejala kuning tetap tak mau pergi,” kata Didik, pengusaha perkayuan di Jalan Puspowarno, Semarang ini.
Hartantyo menjelaskan, gejala kuning sebenarnya hal yang lazim pada bayi yang baru lahir. Hal itu terjadi karena belum matangnya fungsi liver si orok. Warna kuning ini terjadi karena kadar bilirubin yang berlebihan dalam aliran darah. Cuma, gejala itu akan menghilang—termasuk lewat penjemuran matahari—selama dua pekan sejak lahir. Walhasil, jika sudah dua pekan gejala kuning tetap bercokol, lonceng kecurigaan adanya masalah serius lain layak dibunyikan.
Selain mata dan kulit menguning, ada lagi gejala aneh yang dialami Ulung. Warna kotorannya kuning keputihan seperti dempul pemoles pintu atau jendela. Bahkan makin lama warna kuningnya pada kotoran menghilang dan tinggal putihnya saja.
Bingung dan panik bercampur menghinggapi Didik dan Lisa. Terlebih ketika beberapa dokter, salah satunya Profesor Soemantri, spesialis anak dari RS Kariadi, mendiagnosis Ulung mengidap sumbatan saluran empedu. Serangkaian pemeriksaan fisik dan laboratorium dilakukan. Warna tinja yang putih, misalnya, menunjukkan bahwa hati Ulung tidak memproduksi zat-zat empedu. Tes darah juga mengukuhkan diagnosis billiary atresia pada Ulung. Cangkok hati harus dilakukan.
Sebenarnya, selain kemungkinan cangkok, Didik juga diberi tahu tentang adanya kemungkinan tindakan operasi bypass. Langkah ini bertujuan membuat saluran baru atau membuka sumbatan saluran empedu. Tindakan itu lazim disebut prosedur kazai—sesuai dengan nama ahli bedah yang mengembangkan teknik ini. Cuma, langkah ini urung dilakukan karena waktu emas untuk prosedur kazai sudah terlewati. Idealnya, kazai dilakukan saat umur bayi kurang dari dua bulan. Walhasil, cangkok hati menjadi opsi yang tak bisa diabaikan.
Saat itu usia Ulung baru dua setengah bulan. Bagaimana mungkin anak sekecil ini harus menjalani cangkok hati? Kalaupun dilakukan operasi, apakah dokter lokal sanggup?
Terpikir oleh Didik untuk membawa Ulung ke Singapura, bertemu dokter yang sudah berpengalaman menangani cangkok hati. Jika tetap bertahan di Indonesia, ia khawatir nyawa Ulung tak tertolong. Sebab, faktanya, belum ada satu pun rumah sakit di negeri ini yang melakukan cangkok hati, apalagi pada bayi. Maklum, Indonesia termasuk tertinggal untuk urusan transplantasi hati. Operasi ini pertama kali dilakukan pada manusia pada Maret 1963 di Denver, Amerika Serikat. Adapun tetangga sebelah, Singapura, sudah mengembangkan operasi ini sejak 1990-an.
Niat Didik terbang ke Singapura urung setelah Soemantri beraksi. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ini meyakinkan Didik bahwa RS Kariadi berani dan bisa melakukan operasi cangkok hati. Apalagi, selain didukung teknologi canggih, bakal ada tim ahli dengan segerobak pengalaman dari National University Hospital Singapura, yang mengawasi. Jadi, tak perlu khawatir, begitu kata Soemantri.
Sebagai catatan, sebenarnya kerja sama RS Dr Kariadi dengan tim pakar dari Singapura bukanlah hal baru. Sejak 1996, jalinan kerja sama sudah mulai dirintis. Apa daya, krisis moneter membuat jalinan itu terkoyak dan tak berlanjut. Kini, setelah perekonomian sedikit membaik, kerja sama pun kembali digelar.
Singkat kata, Didik telah yakin bahwa RS Dr Kariadi mampu menggelar operasi buat Ulung. Persiapan intensif dilakukan sejak setahun lalu. Tim dokter dan perawat dari Kariadi dikirim ke Singapura. Begitu pula sebaliknya, tim Singapura datang ke Semarang untuk melihat persiapan Yulianto dan kawan-kawan. Transfer ilmu terjadi.
Lima bulan sebelum operasi, tim dokter menyeleksi calon donor. Lisa Olivia, sang ibu, terpilih. Seperempat bagian dari liver milik Lisa akan ditanam menggantikan hati sang anak yang sudah rusak. Sungguh sebuah pertalian ibu-anak yang subtil.
Akhirnya hari besar itu tiba. Pada 1 Oktober 2006, operasi dilakukan. Tim yang diketuai Yulianto Suwardi beraksi. Beranggotakan 83 dokter dari berbagai bidang, dengan pengawasan dokter dan perawat dari Singapura, kinerja tim ini cukup meyakinkan. Salah satu ahli yang terlibat adalah Prabhakaran, konsultan senior, Ketua Departemen Bedah Anak, sekaligus Direktur Program Cangkok Hati National University Hospital.
Dua belas jam berlalu. Operasi bersejarah itu menuai sukses. Hati baru Ulung terpasang. Saluran empedu yang tersumbat pun sudah direparasi. Cairan empedu kini bebas keluar dari kantong empedu menuju usus.
Tapi masa kritis belum berlalu. Perkembangan Ulung masih terus diikuti dengan intensif. Ulung memang sempat memunculkan reaksi penolakan atas organ donor yang segera diberesi dengan pemberian obat tacrolimus. Agar tak terjadi reaksi serupa, Ulung mesti mengkonsumsi tacrolimus seumur hidup.
Memang, tacrolimus berefek samping menekan sistem kekebalan tubuh. Itulah sebabnya, Ulung harus lebih berhati-hati dibanding kawan sebayanya. Jika terjadi gangguan kesehatan seperti demam, batuk, dan pilek, tim dokter yang menangani operasi meminta keluarga agar segera mengontak mereka. ”Kami semua sekarang kan jadi orang tua Ulung,” kata Hartantyo.
Sebulan telah berlalu sejak 12 jam mendebarkan itu. Ulung kini sudah bisa bermain mobil-mobilan, membolak-balik buku cerita, tersenyum dan tertawa. Masa kritis sudah jauh terlewati. Jerih payah, segenap doa, dan biaya ratusan juta rupiah akhirnya terbalas sudah.
Kondisi sang ibu, meski belum fit seratus persen, pun berangsur pulih. Ibu muda itu percaya, sekerat hati yang dia berikan kepada Ulung bakal berkembang seiring dengan pertumbuhan si buyung. Lisa pun yakin, potongan hati yang tertinggal di tubuhnya pasti segera tumbuh lagi.
Dwi Wiyana, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo