Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sesuap Nasi Yang Terayun-Ayun Di Udara

Para pekerja di gedung-gedung tinggi selalu menantang maut. mereka berpenghasilan rendah & tidak di jamin asuransi. pekerjaan mereka berat, susah jika tergesa-gesa ingin buang hajat.

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA, bangunan-bangunan di Jakarta mulai berlomba ngacung ke langit, bertambahlah mata pencarian baru. Menjadi buruh di udara, puluhan bahkan ratusan meter dari tanah. Pekerjaan tersebut tidak hanya membutuhkan tenaga kasar, tapi juga modal keberanian. Setiap saat dengan gaji yang relatif murah, setiap buruh yang meleng bisa terlempar bagaikan sebuah balok ke tanah dengan risiko maut. Rupanya ancaman bahaya yang jelas terbayang pada lokasi pekerjaan, tidak menghalangi kebutuhan orang yang lebih gawat yakni untuk makan. Akibatnya tak ada gedung yang cukup tinggi sampai saat ini mematahkan niat buruh-buruh bekerja. Ancaman angin lepas yang bisa menerpa kencang, serta sengatan matahari yang tak kenal kompromi, tiba-tiba terasa soal kecil. Untuk upah yang rata-rata hanya Rp 1000 sehari, secara gampang saja buruh-buruh itu mulai membiasakan dirinya kerja berdampingan dengan maut. Slamet Wahyudi , 22 tahun, seorang tamatan SLA asal Rembang, Ja-Teng, bersama 3 rekannya sejak beberapa bulan lalu bekerja tiap hari memasang kerei matahari (sun screen) di dinding luar gedung Oil Centre, Jalan Thamrin, Jakarta. Ia ngebor dan kemudian memasang bilah dari aluminium pada gedung yang berlantai 8 itu. Untuk naik, ia mempergunakan pendaki langit, sky climber, sebuah kotak besi berukuran 3 x 1 meter yang digerakkan 2 buah motor di kiri kanannya. Alat-alat tersebut dihubungkan dengah 2 buah tali kawat dari puncak gedung. "Alat-alat serba modern ini kuat, katanya sudah diperiksa sama insinyur," kata Slamet dengan ramah. Kemudian ia menceritakan nasibnya yang tak seharusnya bergantung di angkasa. Sejak kecil sebenarnya ia kepingin jadi penerbang. "Eh, sekarang terbang juga sih, cuman jadi kuli," katanya menertawakan dirinya sendiri. Untuk menjaga keselamatan nyawanya, Slamet terpaksa tiap hari memeriksa seluruh kabel terlebih dulu sebelum bekerja. Caranya dengan mengurut kabel yang sebesar jempol itu ketika kotak merayap ke atas. Kalau yakin aman baru kerja dimulai. Sampai pukul 12 siang, mereka turun lagi untuk makan siang. Setelah itu disambung sampai pukul 8 malam --ini lembur--sebab pemborong harus merampungkan bangunan pada akhir bulan September ini. Dua bulan yang lalu nyaris terjadi kecelakaan. Sedang asyik kerja, kabel listrik yang menghidupkan motor terlindas truk. Tiba-tiba motor kiri bergerak menarik sky climber tersebut, sementara motor satunya berhenti. Akibatnya kotak besi miring 2 meter. Salah seorang rekan Slamet sempat bergelantungan pada tali plastik. "Takut juga, sampai keluar keringat dingin," ungkap Sukarman, rekan Slamet yang berasal dari Purworejo. Bidadari-bidadari Tapi pemandangan dari tempat mereka bekerja memang cukup mengasyikkan. Dari situ dengan jelas terlihat seluruh sosok jembatan Semanggi. Mobil bergerak di atasnya bagaikan kotak korek api. Dan sore hari pada jam-jam bubar kantor, terlihat bidadari-bidadari dari berbagai kantor di sekitarnya berserak keluar dari tempat kerja mereka untuk pulang. Slamet, Sukarman dan kawan-kawannya lantas berbarcng memukul besi pipa yang menjadi di pinggir kotak besi. Disusul oleh keplokan tangan. Sebagai balasannya, kadangkala mereka mendapat lambaian dari gadis-gadis di bawah. Balasan itu mereka rasakan lebih segar dari air kelapa puan. Yang mengherankan, meskipun jelas berbahaya, buruh di tempat ketinggian ini seperti enggan memakai tali pengaman. Kenapa? "Ah, nggak enak rasanya, kayak monyet gantungan," jawab Sukiryanto, juga masih teman Slamet. "Kalau mau mati, di tempat tidur pun bisa," katanya melanjutkan. Pemuda ramatan SLTA ini semula bercita-cita ingin jadi anggota TNI-AU. Penghasilan mereka, yang hanya Rp 1000 sehari sudah termasuk uang makan dan transpor. Kalau hari libur atau lembur dapat tambahan Rp 350 per jam. "Akhir minggu artinya untuk melunaskan bon utang saja," kata Kanonto, pemuda tamatan STM Klaten, teman Slamet pula. Toh tampaknya sehat-sehat saja, meskipun bekerja hanya dilapisi baju kaus tipis. Kalau sakit, perusahaan menanggung 50% dari biaya dokter. "Tapi itu pun uang penggantiannya seret keluar," ucap Slamet. "Kita bisa apa, mas, karena kita bukan anggota FBSI," kata Slamet terus terang. Lebaran baru lalu karyawan hanya mendapat hadiah Rp 12 ribu per orang. Ada juga diberi pakaian kerja berupa 2 buah kaus untuk setahun. Pakaian tersebut sebenarnya kurang memadai untuk medan pekerjaan mereka yang banyak dihantam angin. Pengalaman-pengalaman gawat ketika sedang bekerja di udara banyak. Sukarman antara lain pernah sakit perut, karena menahan kencing. Ia minta supaya kotak besi diturunkan, tapi dijawab oleh temannya, "Kencing saja di situ!" Sukarman menolak lantaran malu--habis di bawahnya banyak wanita-wanita. Setelah sempat membujuk-bujuk akhirnya kotak bisa diturunkan juga "Wah sengsara," keluh karyawan itu. Kuli Liar Kalau ada gerimis, pekerjaan segera dihentikan. "Bahaya mas, takut disambar geledek," sambung Slamet. Tak jarang aliran listrik yang menggerakkan kotak tempat kerja mereka berhenti. Kalau sudah begitu terpaksa mereka gunakan engkol untuk turun ke bawah. Di tengah ancaman maut itu diasuransikankah jiwa mereka? "Ya sudah pernah mengajukan permohonan, tapi sampai sekarang belum dapat jawaban," kata Sukiryanto. Tampaknya Harsono, 25 tahun, dengan rekan-rekannya yang bekerja mebersihkan dinding luar gedung bertingkat 14, Toserba Sarinah, juga di Jalan Tharnrin Jakarta, lebih enak. Perusahaan yang mengelolanya telah berjanji untuk memasukkan seluruh pekerja di sana sebagai pemegang polis asuransi kecelakaan. Meskipun hanya buruh harian, setiap hari ia bisa memperoleh Rp 2500. Kalau sakit, biaya pengobatan ditanggung perusahaan. Yang dikerjakannya adalah membuka kerei matahari dan mencuci dinding gedung yang telah 14 tahun tidak pernah dimandikan itu. Kerei itu dicuci di bawah, kemudian dipasang lagi. Harsono sudah kerja selama 8 bulan, toh masih tetap merasa ngeri kalau melihat mendung. Karena itu kalau cuaca tampak buruk ia segera turun. "Paling repot kalau mau berak," kata Suwarno, rekan Harsono. Kotak harus cepat diturunkan. Sampai di bawah, segera lari memburu kamar kecil di rumah saudaranya di daerah Kebon Kacang tak jauh dari Sarinah. "Habis kalau di kantoran, orang-orang di sana suka melotot, karena pakaian kita kotor, " jawabnya. Kalau hanya kencing, diselesaikan di atas saja. Ia membawa banyak air, bisa cepat disiram sebelum baunya mengganggu hidung. "Kita ini kuli liar," kata Suwarno mengejek (dirinya) Alasannya, begitu nanti pekerjaan rampung, ia harus mencari sendiri kerja lain. Apa saja. "Daripada nganggur, sebab kalau menganggur masyarakat di kampung sudah curiga saja," kata lelaki yang sudah memiliki 4 orang anak itu. Setiap sore kini pinggangnya sakit karena sepanjang hari bekerja sambil berdiri. Ali, 26 tahun, yang ikut membangun gedung Ratu Plaza di Jalan Sudirman, Jakarta (32 tingkat) dengan tinggi 107 meter selalu mengenakan sabuk pengaman selama bekerja. Toh masih tetap merasa ngeri. Ia buruh harian. Sebelum bulan puasa gajinya hanya Rp 700 kemudian naik jadi Rp 1.000. Pada Juli ia bersama 2 rekannya sempat berhenti 2 hari karena menuntut perbaikan gaji. "Tapi kemudian cuma naik Rp 50," kata Ali mengenangkan. Ketika pekerjaan banyak, Ali dan kawan-kawan mogok lagi -- dan kemudian jadilah angka Rp 1.000 itu. "Kalau pekerjaan sedang banyak, kami berani mogok, tapi kalau kurang dan kami mogok, tidak bakal dinaikkan," katanya terus terang. Ali, bersama rekannya Tatang dan Mansyur, belum pernah mengalami kecelakaan. Paling kena paku atau luka-luka kecil. Alasan mereka bekerja di bangunan tinggi karena tak ada pekerjaan yang lain. "Cari kerja tidak gampang, kata Tatang. "Kalau nanti pekerjaan selesai, ya cari lagi kerja di tempat lain. Mulai lagi memasukkan lamaran. Syukur kalau ada kawan di dalam, bisa langsung dibawa ke mandor tidak pakai lamaran." Ali dkk juga tidak dilindungi asuransi kecelakaan. Pernah rekannya seorang buruh jatuh dari tingkat 12. Keluarganya mendapat uang Rp 75 ribu. "Tapi tidak gampang mendapatnya," kata Ali, "harus ada backing. Saudaranya yang tentara yang ngurus, baru dapat." Dan tambah Ali, kalau kepala tertimpa besi misalnya, kalau tidak parah, paling-paling dibawa ke rumah sakit waktu kecelakaan saja. Maksudnya kemudian pulang sendiri. Dan biaya pengobatan selanjutnya juga cari sendiri. "Masa depan memang tidak baik," kata Ali menjelaskan. Ia juga menerangkan bahwa gajinya hanya pas-pasan untuk makan saja. "Tapi mau apa lagi?" keluhnya sekali lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus