KETIKA, bangunan-bangunan di Jakarta mulai berlomba ngacung ke
langit, bertambahlah mata pencarian baru. Menjadi buruh di
udara, puluhan bahkan ratusan meter dari tanah. Pekerjaan
tersebut tidak hanya membutuhkan tenaga kasar, tapi juga modal
keberanian. Setiap saat dengan gaji yang relatif murah, setiap
buruh yang meleng bisa terlempar bagaikan sebuah balok ke tanah
dengan risiko maut.
Rupanya ancaman bahaya yang jelas terbayang pada lokasi
pekerjaan, tidak menghalangi kebutuhan orang yang lebih gawat
yakni untuk makan. Akibatnya tak ada gedung yang cukup tinggi
sampai saat ini mematahkan niat buruh-buruh bekerja. Ancaman
angin lepas yang bisa menerpa kencang, serta sengatan matahari
yang tak kenal kompromi, tiba-tiba terasa soal kecil. Untuk upah
yang rata-rata hanya Rp 1000 sehari, secara gampang saja
buruh-buruh itu mulai membiasakan dirinya kerja berdampingan
dengan maut.
Slamet Wahyudi , 22 tahun, seorang tamatan SLA asal Rembang,
Ja-Teng, bersama 3 rekannya sejak beberapa bulan lalu bekerja
tiap hari memasang kerei matahari (sun screen) di dinding luar
gedung Oil Centre, Jalan Thamrin, Jakarta. Ia ngebor dan
kemudian memasang bilah dari aluminium pada gedung yang
berlantai 8 itu. Untuk naik, ia mempergunakan pendaki langit,
sky climber, sebuah kotak besi berukuran 3 x 1 meter yang
digerakkan 2 buah motor di kiri kanannya. Alat-alat tersebut
dihubungkan dengah 2 buah tali kawat dari puncak gedung.
"Alat-alat serba modern ini kuat, katanya sudah diperiksa sama
insinyur," kata Slamet dengan ramah. Kemudian ia menceritakan
nasibnya yang tak seharusnya bergantung di angkasa. Sejak kecil
sebenarnya ia kepingin jadi penerbang. "Eh, sekarang terbang
juga sih, cuman jadi kuli," katanya menertawakan dirinya
sendiri.
Untuk menjaga keselamatan nyawanya, Slamet terpaksa tiap hari
memeriksa seluruh kabel terlebih dulu sebelum bekerja. Caranya
dengan mengurut kabel yang sebesar jempol itu ketika kotak
merayap ke atas. Kalau yakin aman baru kerja dimulai. Sampai
pukul 12 siang, mereka turun lagi untuk makan siang. Setelah itu
disambung sampai pukul 8 malam --ini lembur--sebab pemborong
harus merampungkan bangunan pada akhir bulan September ini.
Dua bulan yang lalu nyaris terjadi kecelakaan. Sedang asyik
kerja, kabel listrik yang menghidupkan motor terlindas truk.
Tiba-tiba motor kiri bergerak menarik sky climber tersebut,
sementara motor satunya berhenti. Akibatnya kotak besi miring 2
meter. Salah seorang rekan Slamet sempat bergelantungan pada
tali plastik. "Takut juga, sampai keluar keringat dingin,"
ungkap Sukarman, rekan Slamet yang berasal dari Purworejo.
Bidadari-bidadari
Tapi pemandangan dari tempat mereka bekerja memang cukup
mengasyikkan. Dari situ dengan jelas terlihat seluruh sosok
jembatan Semanggi. Mobil bergerak di atasnya bagaikan kotak
korek api. Dan sore hari pada jam-jam bubar kantor, terlihat
bidadari-bidadari dari berbagai kantor di sekitarnya berserak
keluar dari tempat kerja mereka untuk pulang. Slamet, Sukarman
dan kawan-kawannya lantas berbarcng memukul besi pipa yang
menjadi di pinggir kotak besi. Disusul oleh keplokan tangan.
Sebagai balasannya, kadangkala mereka mendapat lambaian dari
gadis-gadis di bawah. Balasan itu mereka rasakan lebih segar
dari air kelapa puan.
Yang mengherankan, meskipun jelas berbahaya, buruh di tempat
ketinggian ini seperti enggan memakai tali pengaman. Kenapa?
"Ah, nggak enak rasanya, kayak monyet gantungan," jawab
Sukiryanto, juga masih teman Slamet. "Kalau mau mati, di tempat
tidur pun bisa," katanya melanjutkan. Pemuda ramatan SLTA ini
semula bercita-cita ingin jadi anggota TNI-AU.
Penghasilan mereka, yang hanya Rp 1000 sehari sudah termasuk
uang makan dan transpor. Kalau hari libur atau lembur dapat
tambahan Rp 350 per jam. "Akhir minggu artinya untuk melunaskan
bon utang saja," kata Kanonto, pemuda tamatan STM Klaten, teman
Slamet pula. Toh tampaknya sehat-sehat saja, meskipun bekerja
hanya dilapisi baju kaus tipis. Kalau sakit, perusahaan
menanggung 50% dari biaya dokter. "Tapi itu pun uang
penggantiannya seret keluar," ucap Slamet.
"Kita bisa apa, mas, karena kita bukan anggota FBSI," kata
Slamet terus terang. Lebaran baru lalu karyawan hanya mendapat
hadiah Rp 12 ribu per orang. Ada juga diberi pakaian kerja
berupa 2 buah kaus untuk setahun. Pakaian tersebut sebenarnya
kurang memadai untuk medan pekerjaan mereka yang banyak dihantam
angin.
Pengalaman-pengalaman gawat ketika sedang bekerja di udara
banyak. Sukarman antara lain pernah sakit perut, karena menahan
kencing. Ia minta supaya kotak besi diturunkan, tapi dijawab
oleh temannya, "Kencing saja di situ!" Sukarman menolak lantaran
malu--habis di bawahnya banyak wanita-wanita. Setelah sempat
membujuk-bujuk akhirnya kotak bisa diturunkan juga "Wah
sengsara," keluh karyawan itu.
Kuli Liar
Kalau ada gerimis, pekerjaan segera dihentikan. "Bahaya mas,
takut disambar geledek," sambung Slamet. Tak jarang aliran
listrik yang menggerakkan kotak tempat kerja mereka berhenti.
Kalau sudah begitu terpaksa mereka gunakan engkol untuk turun ke
bawah. Di tengah ancaman maut itu diasuransikankah jiwa mereka?
"Ya sudah pernah mengajukan permohonan, tapi sampai sekarang
belum dapat jawaban," kata Sukiryanto.
Tampaknya Harsono, 25 tahun, dengan rekan-rekannya yang bekerja
mebersihkan dinding luar gedung bertingkat 14, Toserba Sarinah,
juga di Jalan Tharnrin Jakarta, lebih enak. Perusahaan yang
mengelolanya telah berjanji untuk memasukkan seluruh pekerja di
sana sebagai pemegang polis asuransi kecelakaan. Meskipun hanya
buruh harian, setiap hari ia bisa memperoleh Rp 2500. Kalau
sakit, biaya pengobatan ditanggung perusahaan. Yang
dikerjakannya adalah membuka kerei matahari dan mencuci dinding
gedung yang telah 14 tahun tidak pernah dimandikan itu. Kerei
itu dicuci di bawah, kemudian dipasang lagi. Harsono sudah kerja
selama 8 bulan, toh masih tetap merasa ngeri kalau melihat
mendung. Karena itu kalau cuaca tampak buruk ia segera turun.
"Paling repot kalau mau berak," kata Suwarno, rekan Harsono.
Kotak harus cepat diturunkan. Sampai di bawah, segera lari
memburu kamar kecil di rumah saudaranya di daerah Kebon Kacang
tak jauh dari Sarinah. "Habis kalau di kantoran, orang-orang di
sana suka melotot, karena pakaian kita kotor, " jawabnya. Kalau
hanya kencing, diselesaikan di atas saja. Ia membawa banyak air,
bisa cepat disiram sebelum baunya mengganggu hidung.
"Kita ini kuli liar," kata Suwarno mengejek (dirinya) Alasannya,
begitu nanti pekerjaan rampung, ia harus mencari sendiri kerja
lain. Apa saja. "Daripada nganggur, sebab kalau menganggur
masyarakat di kampung sudah curiga saja," kata lelaki yang sudah
memiliki 4 orang anak itu. Setiap sore kini pinggangnya sakit
karena sepanjang hari bekerja sambil berdiri.
Ali, 26 tahun, yang ikut membangun gedung Ratu Plaza di Jalan
Sudirman, Jakarta (32 tingkat) dengan tinggi 107 meter selalu
mengenakan sabuk pengaman selama bekerja. Toh masih tetap merasa
ngeri. Ia buruh harian. Sebelum bulan puasa gajinya hanya Rp 700
kemudian naik jadi Rp 1.000. Pada Juli ia bersama 2 rekannya
sempat berhenti 2 hari karena menuntut perbaikan gaji. "Tapi
kemudian cuma naik Rp 50," kata Ali mengenangkan. Ketika
pekerjaan banyak, Ali dan kawan-kawan mogok lagi -- dan kemudian
jadilah angka Rp 1.000 itu. "Kalau pekerjaan sedang banyak, kami
berani mogok, tapi kalau kurang dan kami mogok, tidak bakal
dinaikkan," katanya terus terang.
Ali, bersama rekannya Tatang dan Mansyur, belum pernah mengalami
kecelakaan. Paling kena paku atau luka-luka kecil. Alasan mereka
bekerja di bangunan tinggi karena tak ada pekerjaan yang lain.
"Cari kerja tidak gampang, kata Tatang. "Kalau nanti pekerjaan
selesai, ya cari lagi kerja di tempat lain. Mulai lagi
memasukkan lamaran. Syukur kalau ada kawan di dalam, bisa
langsung dibawa ke mandor tidak pakai lamaran."
Ali dkk juga tidak dilindungi asuransi kecelakaan. Pernah
rekannya seorang buruh jatuh dari tingkat 12. Keluarganya
mendapat uang Rp 75 ribu. "Tapi tidak gampang mendapatnya," kata
Ali, "harus ada backing. Saudaranya yang tentara yang ngurus,
baru dapat." Dan tambah Ali, kalau kepala tertimpa besi
misalnya, kalau tidak parah, paling-paling dibawa ke rumah sakit
waktu kecelakaan saja.
Maksudnya kemudian pulang sendiri. Dan biaya pengobatan
selanjutnya juga cari sendiri. "Masa depan memang tidak baik,"
kata Ali menjelaskan. Ia juga menerangkan bahwa gajinya hanya
pas-pasan untuk makan saja. "Tapi mau apa lagi?" keluhnya sekali
lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini