Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGIAN orang tua mungkin menganggap diare pada anak sebagai masalah biasa. Ada yang menganggap anak yang terserang diare sedang mengalami perubahan struktur tubuh untuk mencapai pertumbuhan berikutnya. "Misalnya, menganggap anak mau merangkak atau berjalan, makanya dia diare," kata Pathurrahman pada Ahad pekan lalu.
Padahal, menurut Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ini, masalah diare tidak sesederhana itu. Penyakit ini bisa menjadi masalah jangka panjang. "Karena diare bisa mengakibatkan stunting," ujarnya.
Stunting atau kondisi tubuh pendek tak sesuai dengan usia jelas tak bisa disepelekan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan stunting akan berdampak pada kualitas hidup anak sampai tua. Stunting dikaitkan dengan perkembangan otak yang lebih lambat dibanding usia yang seharusnya. Konsekuensinya, kemampuan mental lemah, kemampuan belajar kurang, dan kinerja di sekolah buruk. Masalah ini akan berefek pada tak maksimalnya pendapatan yang diperoleh saat dewasa kelak.
Secara kesehatan, stunting juga bakal menimbulkan masalah kala dewasa. Akibat pertumbuhan yang lambat, metabolisme lemak jadi bermasalah. Akibatnya, penyakit tak menular mengintai, antara lain diabetes, hipertensi, dan obesitas. Celakanya, stunting sulit diatasi jika anak sudah berusia lebih dari dua tahun. Karena itu, kalau ingin masalah jangka panjang ini disetop, pencegahannya harus segara dilakukan sebelum anak telanjur besar.
Karena masalah ini, Pathurrahman blusukan ke delapan kecamatan di daerahnya. Ia meneliti cara pencegahan stunting melalui pengurangan diare dengan program Sanitation-Hygiene-Water(SHAW). SHAW merupakan program untuk mengatasi masalah sanitasi, air, dan kebersihan yang dilakukan di wilayah timur Indonesia, seperti NTB, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Program ini berfokus pada penyediaan air bersih, masalah kebersihan seperti cuci tangan memakai sabun sebelum makan, dan urusan sanitasi. Penelitian ini membawa Pathurrahman menyabet gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia awal Juni lalu.
Menurut dia, di Lombok Timur sudah banyak program dilakukan untuk mengatasi stunting, misalnya dengan pemberian makanan tambahan. Namun angka stunting masih juga stagnan. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 mencatat prevalensi stunting di NTB mencapai 48,2 persen dan pada 2013 sebanyak 46,6 persen. Jumlah ini lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, sebanyak 35,6 persen pada 2010 dan 37,2 persen pada 2013 atau satu dari tiga anak di Indonesia menderita stunting.
WHO menyebutkan stunting bisa diakibatkan oleh kurangnya asupan nutrisi dan infeksi penyakit, seperti pneumonia dan diare. Namun belum ada yang menghubungkan langsung dampak sanitasi, kebersihan, dan air terhadap diare yang akhirnya mengakibatkan stunting di Indonesia. Padahal diare berulang akan menyebabkan anak kehilangan 70 persen cairan tubuh sehingga menyebabkan kerusakan dinding usus. Efeknya, penyerapan zat gizi makanan akan terganggu. "Sehingga anak akan menjadi kurus dan rentan mengalami stunting," ujar Pathurrahman.
Pathurrahman mengelilingi delapan kecamatan di Lombok Timur untuk mengetahui hubungan tersebut. Ia mengamati 340 bayi sehat berusia 6-12 bulan di daerah yang sudah melaksanakan programSHAW dan daerah yang belum. Sebanyak 170 anak berada di daerah yang melaksanakan SHAW dan lainnya berada di daerah yang belum melaksanakan program itu. Berat badan dan panjang badan mereka diukur. Asupan makanan harian, seperti jumlah kalori, protein, zat besi, dan zat seng, ditimbang. Juga kualitas air dan sanitasi di tempat tinggal mereka. Perkembangan mereka kemudian diikuti selama enam bulan, termasuk memantau mereka saat diare dan mencari penyebabnya.
Hasil penelitiannya mengejutkan. Pathurrahman menemukan 90 persen kejadian diare di daerah penelitiannya bukan disebabkan oleh rotavirus, yakni virus yang menjadi penyebab umum penyakit diare berat pada anak kecil di seluruh dunia menurut WHO. Dari temuannya, diare dipicu oleh masalah seperti sanitasi, kebersihan individu, dan air minum.
Riset juga menunjukkan, semakin baik pelaksanaan program SHAW, semakin sedikit anak yang menderita diare. Dari banyak program SHAW yang dilakukan, yang paling efektif untuk mengurangi diare adalah peningkatan kualitas air. Karena kejadian diare berkurang, penyerapan asupan makanan oleh tubuh anak lebih bagus, yang akhirnya mengurangi risiko stunting.
Hasil penelitian juga menyimpulkan diare berefek langsung dan tak langsung terhadap kejadian stunting sebesar 5,8 persen. Anak yang menderita diare satu kali memang tak bermasalah. Namun, jika diare terjadi sampai berkali-kali dan tak tertangani dengan baik, penyerapan nutrisinya jadi bermasalah dan bisa berdampak menjadi stunting. "Jadi penyakit diare jangan dibiarkan, harus segara ditangani. Jangan sampai kita mengatakan 'ah, ini hanya diare'," ucap Pathurrahman.
Meski selama pengamatan enam bulan belum ada anak stunting yang terlihat, Pathurrahman menemukan ada indikasi kuat perbedaan tubuh anak. Anak-anak yang berada di daerah yang belum melaksanakan pogram SHAW lebih banyak yang kekurangan nutrisi dan kurus, yang akhirnya berpotensi menuju stunting.
Dari temuan ini, Pathurrahman semakin meyakini masalah stunting tak bisa hanya ditangani dinas kesehatan, tapi juga dibutuhkan kerja sama dari banyak pihak, seperti badan perencanaan daerah. Ia berencana membicarakan hasil temuan ini dengan lembaga lain di daerahnya. "Antarinstansi harus terintegrasi dan pemerintah daerah harus punya komitmen kuat," ujarnya.
Guru besar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Agus Firmansyah, mengatakan penelitian ini membuktikan program perbaikan lingkungan, terutama kualitas air, harus menjadi yang utama untuk mencegah diare, bukan dengan memberikan vaksin rotavirus. Selama ini, karena rotavirus diyakini sebagai penyebab diare paling gawat pada anak, salah satu saran yang umum adalah dengan pemberian vaksin. "Tapi ternyata di sana kebanyakan penyebabnya bukan karena rotavirus," kata promotor penelitian Pathurrahman ini.
Menurut dia, kemungkinan bisa terjadi karena jarak antar-rumah di Lombok Timur berjauhan. Penduduk di sana juga jarang bepergian, sehingga tak banyak anak tertular virus yang bisa menyebabkan diare berat tersebut. Agus menyarankan agar riset serupa dilakukan di daerah yang berkarakteristik sama untuk memastikan penyebab diare.
Direktur Gizi Masyarakat Direktorat Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan,DoddyIzwardy, mengatakan penelitian berdasarkan bukti di lapangan semacam ini akan menjadi acuan bagi Kementerian Kesehatan dalam mengambil kebijakan. Jika pemerintah melakukan intervensi dari bukti di lapangan, semestinya angka keberhasilannya akan lebih besar dibanding mengikuti kejadian global. "Daya ungkitnya bisa sampai 70 persen," ujarnya.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo