Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Seumur Hidup dengan <font color=#FF6600>Antiretroviral</font>

Peringatan Hari AIDS Sedunia kembali mengingatkan terapi ARV. Ini masih menjadi satu-satunya cara agar pengidap HIV hidup sehat.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Babak baru kehidupan Okta dimulai pada awal Februari 2005. Pencetusnya adalah kabar dari dokter bahwa tubuhnya telah tersusupi human immunodeficiency virus (HIV), virus yang melemahkan daya kekebalan tubuh. Vonis tersebut sekaligus menjadi jawaban dari penyakit tuberkulosis (TBC) yang tak kunjung sembuh. Jantungnya juga terkena bakteri sehingga katupnya tak dapat berfungsi baik.

Pemuda yang kini genap 28 tahun itu memang sempat putus asa beberapa bulan. Namun dia memutuskan untuk tidak membiarkan hidupnya terpuruk. Okta mencoba mencari informasi tentang penyakitnya ke berbagai sumber, termasuk dari teman-temannya sesama pecandu narkotik, yang rata-rata sudah terlebih dahulu terkena HIV.

Okta mengaku sejak usia belasan sudah memakai narkoba. Terakhir dia menggunakan putaw—sejenis heroin—yang dimasukkan ke tubuh lewat jarum suntik. Jarum suntiknya dipakai bergantian dengan teman-temannya. Kebiasaan inilah yang menjadi pintu gerbang masuknya HIV. ”Padahal sejak 1999 saya sudah berhenti total dari narkoba. Paling cuma minum alkohol,” katanya. Dia memang tak menyangka efeknya baru muncul bertahun-tahun kemudian. Maklum, masa inkubasi HIV—dari masuk ke tubuh hingga timbul gejala—bisa 5 hingga 10 tahun.

Sekarang Okta mengaku jauh lebih sehat. Kondisi paru-paru dan jantungnya membaik. Berat badannya pun perlahan meningkat dari 40 kilogram menjadi 62 kilogram. Dengan tinggi tubuh 172 sentimeter, Okta tak lagi kerempeng. Apalagi sejak sembilan bulan lalu dia sudah tak lagi menenggak minuman beralkohol. ”Saya punya tekad kuat untuk sembuh,” ujarnya.

Itu semua karena Okta rajin berobat ke dokter dan mengkonsumsi antiretroviral (ARV), yang terbukti mampu menekan HIV. Hingga kini ARV masih menjadi satu-satunya obat bagi penyandang HIV/AIDS (acquired immune deficiency syndrome) yang sudah lulus uji klinis dan medis dan diakui secara internasional.

Minum obat pun bukan hal mudah, karena terapi antiretroviral perlu disiplin diri luar biasa. Bagi pengidap HIV, ARV ini adalah teman mereka seumur hidup yang harus diminum setiap 12 jam sekali, tepat waktu. Bila telat atau lupa, itu sama dengan membangunkan macan tidur, HIV menjadi resisten terhadap obat tersebut.

Okta, misalnya, harus minum dua tablet ARV Neviral dan Duviral setiap pukul 9.00 dan 21.00. Beruntung dia punya keluarga dan teman-teman yang rajin mengingatkan. ”Saya juga pasang alarm di mana-mana, termasuk di handphone,” katanya. Semua itu tak mudah. Sebab, selain benar-benar tepat waktu minum obat, Okta juga harus bersabar dengan efek samping ARV berupa mual, diare, lemas, atau bisa gangguan yang lebih parah.

Okta hanyalah satu dari 10.622 pengidap HIV/AIDS di Indonesia yang menggunakan ARV. Obat ini memang memberikan harapan bagi para pengidap HIV/AIDS untuk bertahan hidup dengan kualitas kesehatan lebih baik. Menurut Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia, Zubairi Zoerban, antiretroviral bermanfaat memulihkan kekebalan tubuh yang dirusak HIV. ”Kesehatan mereka bisa pulih kembali, tidak mudah sakit, dan angka kematian akibat AIDS dapat ditekan drastis,” katanya dalam seminar Info Terkini HIV dan AIDS di Indonesia, yang digelar di Jakarta, akhir November lalu.

Dalam peringatan Hari AIDS Sedunia, 1 Desember lalu, terapi ARV juga menjadi sorotan. Maklum, hingga kini baru ARV yang menjadi satu-satunya tumpuan pengidap HIV/AIDS. Menurut Zoebairi, berkat antiretroviral, HIV/AIDS tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit yang selalu mematikan, melainkan penyakit kronis yang bisa diobati.

Cuma memang sampai sekarang informasi mengenai pentingnya pengobatan ARV masih perlu digiatkan. Walaupun jumlah peminum ARV sudah meningkat—pada 2006 sekitar 8.000 orang—secara keseluruhan baru sekitar 76 persen pengidap HIV/AIDS yang meminum ARV. Itu pun tidak semua melakukannya dengan disiplin.

Berkat kampanye global selama bertahun-tahun, kini sudah banyak komunitas peduli HIV/AIDS di Indonesia. Okta, misalnya, banyak mendapat informasi dari Yayasan Karisma, organisasi nirlaba di Jakarta Timur yang peduli pada masalah pecandu narkoba dan HIV/AIDS. Bahkan sejak 2006 dia terlibat sebagai aktivis yang menyebarkan berbagai informasi tentang HIV/AIDS kepada anak-anak muda, terutama di wilayah Jakarta Timur. ”Saya tidak ingin mereka terkena HIV,” katanya.

Apa yang dilakukan Okta—dari penderita, sadar, lalu bergabung dalam kelompok advokasi HIV/AIDS—kini menjadi hal yang jamak. Seperti Dina yang bergabung dengan Yayasan Harapan Permata Hati Kita (Yakita) sejak dia masih menjadi pecandu narkoba. Yayasan yang didirikan Joyce Gordon itu bukan hanya sebagai tempat rehabilitasi para junkies—pecandu narkoba—melainkan juga menangani masalah pengidap HIV/AIDS.

”Di sini sudah seperti keluarga,” kata Dina. Warga Bogor ini merasa nyaman menyampaikan keluhannya, termasuk ketika dia hamil dalam kondisi HIV positif. Ketika usia kandungannya memasuki tujuh bulan, Dina mulai minum ARV. ”Badan rasanya sakit sekali, seperti orang sakau,” katanya. Dia sempat terkena anemia berat dan mesti mendapat transfusi dua kantong darah.

Belum lagi siksaan psikologis yang sering menderanya. ”Saya takut anak saya juga positif,” kata Dina. Syukurlah, sang buah hati, yang harus dilahirkan melalui bedah caesar untuk meminimalkan kemungkinan tertular virus ibu—yang kini hampir 4 tahun— tak mengidap HIV. Hasil tes CD4 (sel darah putih yang menguatkan sistem kekebalan tubuh) dan viral load (untuk mengetahui kandungan HIV) terhadap dia dan suaminya juga selalu menggembirakan. ”Sudah tidak terdeteksi lagi,” kata Dina, yang tak pernah meleset dari jadwal minum obat.

Dukungan penuh amat dibutuhkan oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar sukses menjalani terapi ARV. ”Sebab, bila terlambat atau putus minum obat, virus akan menjadi resisten atau kebal terhadap ARV,” ujar Joyce. Bayangkan, hanya terlambat dua jam mengkonsumsi antiretroviral, HIV bisa mengganas. Kalau sudah demikian, ARV yang biasa diminum sudah tidak berkhasiat lagi.

Bila hal itu terjadi, si penderita harus mengganti obatnya menjadi ARV lini kedua, yang memiliki kemampuan lebih kuat menekan perkembangan HIV. Nah, ARV jenis ini sebagian besar tidak gratis, tak seperti yang pertama. Untuk gambaran, harga ARV lini kedua sekitar Rp 50 ribu untuk sekali minum.

”Melatih kedisiplinan sama sekali tak mudah,” ujar Joyce Gordon, psikolog dan terapis yang sudah sembilan tahun menangani pengidap HIV/AIDS. Sebelum minum ARV, penderita biasanya diminta berlatih minum vitamin dengan disiplin. Sebab, bila sudah masuk ke pengobatan ARV, sama sekali tak ada toleransi untuk terlambat apalagi berhenti.

”Banyak faktor yang mendorong seseorang berhenti,” katanya kepada Tempo di kediamannya di Bogor, Kamis pekan lalu. Seperti yang dialami Riko, seorang pengidap HIV, pernah putus minum obat selama delapan bulan. Pasalnya, kondisi livernya memburuk ketika menjalani terapi ARV. Lelaki 24 tahun yang diketahui terinveksi HIV pada 2001 itu kini harus menenggak ARV lini kedua.

Kalaupun sudah berdisiplin dan tak terkena efek samping cukup parah seperti Riko, masih ada persoalan yang membuat pengidap HIV/AIDS putus obat: ketersediaan. Terkadang stok yang menipis membuat jatah obat yang mestinya cukup sebulan cuma untuk tiga hari saja. ”Akibatnya, kita mesti bolak-balik ke rumah sakit setiap tiga hari,” kata Riko.

Joyce menambahkan, dukungan keluarga juga tak kalah penting. ”Tak sedikit orang tua yang lebih percaya pada pengobatan alternatif daripada ARV,” katanya. Akhirnya, anak-anak mereka yang tengah menjalani terapi ARV dipaksa berhenti. ”Ada beberapa anak di sini yang mengalaminya, malah ada yang akhirnya meninggal,” katanya menyesali.

Nunuy Nurhayati


Efek ARV

Penggunaan obat antiretroviral (ARV) pasti menimbulkan efek samping berbeda untuk setiap individu penyandang HIV/AIDS. Efeknya tergantung kondisi tubuh, ketahanan terhadap obat, bobot tubuh, dan jenis ARV yang digunakan.

  • Masalah kulit seperti ruam, kulit kering, dan rambut rontok. Sebagian besar bersifat sementara, tapi ada juga yang menjadi parah.
  • Gangguan tulang, tulang kehilangan mineral dan rapuh.
  • Rasa lemas dan lelah di sekujur tubuh.
  • Rasa nyeri akibat kerusakan saraf (neuropati).
  • Halusinasi dan mimpi buruk, hingga parah.
  • Peningkatan kadar kolesterol dan gula dalam darah yang dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
  • Lipodistrofi: berkurangnya kadar lemak tubuh.
  • Anemia.
  • Diare ringan hingga parah.
  • Perut kembung.
  • Toksisitas mitokondria: kerusakan bentuk sel yang bisa memicu kerusakan ginjal atau saraf.
  • Gangguan hati.

    Obat Baru Dalam proses Uji Klinis:

    • Green Cocktail: obat yang dikembangkan Yayasan Cahaya Hati Bangsa dan Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, diklaim mampu memutus mata rantai replika virus saat membuat cetak biru, sehingga daya tahan tubuh meningkat dan tidak mudah terserang penyakit.
    • BI-201 dari BioInvent: antibodi yang dirancang menghambat gen HIV.
    • TNX-355 dari Tanox: meningkatkan kekebalan tubuh. Obat yang direkayasa secara genetik ini kemungkinan diberikan lewat infus atau suntikan, dua kali sebulan.
    • HGTV43 dari Enzo Biochem: terapi gen yang dirancang untuk membuat sel CD4 (sel darah putih yang menguatkan sistem kekebalan tubuh) kebal terhadap infeksi HIV.
    • Resveratrol: senyawa kimia yang ditemukan pada kulit anggur merah dan beberapa jenis tanaman lain. Senyawa ini diperkirakan mampu merangsang penguatan sistem kekebalan tubuh.
    • Reticulose dari Advanced Viral Research Corporation: asam nukleik yang dapat merangsang penguatan bagian pembunuh sel dari kekebalan tubuh. Produk ini diberikan lewat suntikan di bawah kulit.

    Fakta-fakta Terbaru HIV/AIDS di Indonesia:

    • Hingga akhir September 2007, tercatat 5.904 kasus HIV dan 10.384 kasus AIDS.
    • Departemen Kesehatan memperkirakan jumlah kasus HIV/AIDS sesungguhnya di seluruh Indonesia: 90–120 ribu.
    • Sekitar 75 persen orang dengan HIV-AIDS, laki-laki.
    • Sekitar 55 persen penyandang HIV/AIDS berusia 20–29 tahun.
    • Departemen Kesehatan memperkirakan prevalensi HIV pada penggunaan narkoba suntik: 41,6 persen.
    • Menurut perkiraan lembaga PBB yang bergerak di bidang HIV/AIDS, UNAIDS, setiap hari terdapat lebih dari 5.000 orang pengidap baru HIV berusia 15–24 tahun.

    Tiga Golongan ARV

    1. Nucleosid Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI): bekerja dengan cara menghambat penggandaan HIV dengan menghalangi kerja enzim reverse transcriptase sehingga tidak dapat mengubah bahan genetik HIV menjadi DNA. Perubahan bahan genetik HIV menjadi DNA inilah yang menjadikan virus makin berbahaya. Contoh: Zidovudine, Lamivudine, Abacavir, Stavudin, Abacapir, Didanosine, dan Emtricitabine.
    2. Non Nucleosid Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI): bekerja mirip NRTI, ditambah kemampuan menolak pembuatan DNA oleh enzim reverse transcriptase, contoh: Nevirapine, Delavirdine, Efavirenz.
    3. Protease Inhibitor (PI): menghambat pembentukan HIV baru yang matang, contoh: Saquinavir, Indinavir, Ritonavir, Nelvinavir, Amprenavir, Kaletra, Atazanavir.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus