Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Si Nengnong Di Lintasan Rel

Eddy, Ny. Siti Aisah & Chaidir tidak perlu keahlian khusus untuk jadi penjaga pintu kereta api di kisaran. Sarana yang kurang, arus kereta yang tidak tentu, tidak melunturkan pengabdiannya.(sd)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA ini kan kuli pecok, tak usah sekolah pun sebenarnya bisa kerja di sini," kata Eddy, 28 tahun. Ia punya 3 anak, tinggal di Kampung Sidorejo, Kisaran, Sumatera Utara. Ia pegawai perusahaan negara PJKA. Tugasnya menjaga pintu kereta. Memang tidak ada keahlian khusus yang diperlukan oleh seorang penjaga pintu. Kalau dinas siang, ia tinggal nongkrong di pondok dekat rel kereta jurusan Kisaran-Rantau Prapat. Di sana ada sebuah handel untuk menurun-naikkan dua buah pintu kereta yang disebut "neng-nong", untuk menahan aliran lalu lintas, sampai ular besi itu lewat. "Saya hanya harus awas, sebab kalau tidak akan terjadi tabrakan. Saya bisa dapat celaka, dipecat," kata Eddy. Ngebet Jadi Masinis Dulu penjaga kereta mungkin bisa santai, karena jadwal lalu lalangnya sudah pasti. Tapi Eddy yang mengaku urutan jabatannya paling lata di PJKA, tidak bisa menikmati keadaan itu lagi. Sekarang lalu lintas kereta tak berketentuan. Apalagi sudah dua tahun ini lonceng yang biasanya memberitahukan kedatangan kereta lewat, rusak. Nggak tahu kenapa. Tidak pernah pula diperbaiki. Maka Eddy pun kembali menjadi primitip, semata-mata bergantung dari ketajaman mata dan telinganya. Tetapi kesulitan sudah bertambah lagi sejak 6 bulan ini. Palang pintu kereta di Jalan Sutomo-Cokroaminoto (Kisaran) patah karena disundul truk. Sampai sekarang belum diperbaiki. Jadi setelah kupingnya bekerja keras, Eddy segera pula harus berdiri menyambung palang pintu itu dengan tubuhnya sendiri. Karena sudah biasa, Eddy tidak mengeluh lagi. Ia juga tidak takut karena menganggap memang demikianlah seharusnya seorang penjaga pintu kereta di zaman pembangunan ini. Tapi sialnya kalau kebetulan giliran malam. Bayangkan, tempat itu tidak bermandi cahaya listrik seperti jalan di kota-kota besar lainnya. Keadaannya gelap. Memberi isyarat kepada mereka yang akan melintasi rel tidak cukup dengan melambaikan tangan. Eddy tak bisa berbuat lain kecuali berkoar-koar. O ya, dulu kawan ini punya sebuah bendera kecil warna merah. Lumayan juga gunanya untuk menyuruh lalu lintas berhenti. Tapi belakangan ini bendera itu hilang. Ya, ya, sudah diusulkan juga kepada kantor supaya diganti. Tapi maklumlah kantor banyak urusan yang lebih penting. Sampai sekarang belum tergantikan. "Saya juga sudah usul sebuah senter untuk tugas malam, tapi itu juga belum diberi," kata Eddy. Kesulitan Eddy, kalau masih boleh ditambah, adalah karena ia bertugas sendirian di kedua sisi rel. Ia hanya bisa memilih satu sisi, sambil membiarkan mereka yang datang dari sisi lainnya menjaga nyawanya masing-masing. "Mana mungkin saya jaga di sini dan di situ sekaligus," kata Eddy dengan lucu. Alhamdulillah, sejak menjabat penjaga pintu sejak 1974, belum pernah terjadi tabrakan di daerah kawalannya. "Tuhan masih melindungi saya sampai sekarang, karena kalau saya sampai tidak awas akan dipecat. Dan kalau dipecat bagaimana anak-anak saya nanti," kata Eddy selanjutnya. Selain mati atau sakit keras, memang bahaya pemecatan paling ditakuti Eddy. Ia terlalu sayang pada gaji bulanannya sebesar Rp 13.000. Itu pun sudah tak sanggup untuk mengebulkan asap dapurnya secara normal. Karenanya anak muda yang cinta keluarga ini berusaha untuk membuktikan tanggung jawabnya dengan cara memanfaatkan waktu senggang. Ia pun membawa sebuah kursi ke dekat gardu jaga. Kemudian ditambah dengan sebuah cermin besar, kain putih, gunting, pisau. Jadilah ia tukang pangkas. Eddy si penjaga pintu kereta sudah jadi tukang cukur sejak setahun yang lalu. Kebetulan dekat pos jaganya banyak pohon rindang, jadi ia memiliki tempat operasi yang ideal. Apalagi kalau giliran dinas malam, maka merdekalah dia sehari suntuk memotong rambut rakyat Kisaran. Tetapi kalau dinasnya siang, ia seperti main kucing-kucingan. "Kadang kalau lagi memangkas ada kereta lewat terpaksa ditinggalkan sebentar. Habis bagaimana," kata Eddy. Di dalam kelas tukang pangkas, Eddy termasuk katagori tukang cukur kelas "kantor pos". Ini istilah rakyat Kisaran. Tapi nggak apa. Terkadang ia bisa mengantongi Rp 500 sehari. Langganannya adalah orang-orang di sekitar kampung Kisaran. Banyak di antaranya tukang becak. Tapi belakangan ini ada kesulitan. "Yah, tukang becak dan orang kampung pun sudah ketularan gondrong," kata Eddy dengan senyum pahit. Pernah seminggu ia tidak menjamah kepala. Seperti Main-Main Saja Sebagai pegawai PJKA, Eddy memiliki beberapa keluhan. "Sampai sekarang NIP belum keluar, nggak diurus," ujarnya. Tapi ia sendiri memang tidak begitu bergairah soal NIP. Rupanya ia memang tidak berniat untuk mengubur masa depannya di pintu nengnong itu. "Saya ini tamatan STM " kata Eddy. Maksudnya jebolan STM Pemda Asahan, 1971. Bahkan sempat kerja sebagai pegawai Perusahaan Air Minum Pemda selama satu tahun. Kemudian ada tawaran kerja sebagai masinis. Ia pun melamar. Akhirnya hanya mampu merebut tempat sebagai tukang pintu. Begitulah saking ingin jadi masinis Eddy bersedia menunggu kesempatan yang akan datang di pinggir rel. Mula-mula dikabarkan tahun berikutnya lowongan itu akan ditawarkan lagi. Tapi sekarang sudah 4 tahun ia belum juga jadi masinis. Sekali Eddy kirim surat kepada pimpinan PJKA di-Medan. Tapi tak ada reaksi. "Ya sudah. Bagaimana ya," kata Eddy. "Kawan saya yang tamatan STM malah ada juga yang jadi tukang becak. Tinggal sabar-sabar saja, untung-untung ada perhatian atasan." Kenapa sih kamu ngebet benar ingin jadi masinis, Eddy "Ya begitulah, saya memang kepingin benar jadi masinis," jawab Eddy dengan polos-polos saja. Eddy bukan tidak pernah menoleh kepada bidang kerja yang lain. "Tapi cari kerja sekarang memang sulit," ujarnya menutup sendiri kemungkinan untuk kerja yang bukan masinis. Tidak semua penaga pintu kereta berkelamin lelaki. Lihatlah Siti Aisyah (42 tahun) di simpang Bunut, juga di daerah Kisaran. Ia justru berada di medan kereta api yang lebih ramai dari Eddy. Pintu yang dijaganya mengalirkan kereta dari arah Medan. Di sini arus kereta juga tidak tentu, sehingga kesulitan Aisyah sama dengan Eddy. Ia pun mengeluh bahwa dulu kerjanya jauh lebih menggembirakan dari sekarang. "Terkadang di sini kereta melintas 6 kali saja satu malam," kata Aisyah mulai, "tapi kalau ada kecelakaan, misalnya kereta anjlok dari rel, kereta api yang melintas bisa sampai 10 trip dan jamnya tak menentu. Maklum juga untuk menejar ketinggalan selama hubungan terputus, tapi wah, keselnya bukan main!" Apalagi belakangan ini entah kenapa sering kereta anjlog, jadi Aisyah repot bukan main. "Sekarang tak ada uang lembur," keluhnya berkepanjangan, "lain dengan dulu!" Masih ada lagi keluhan Aisyah. Ia melihat keberanian para sopir mobil di zaman sekarang ini tambah hebat. Semuanya pada anggar jago. Kalau dulu begitu palang sudah diturunkan, kendaraan yang akan lewat pasti patuh berhenti. Tapi sekarang, waduh, ada saja yang berani membuka palang itu, lantas lewat, karena dilihatnya kereta masih jauh. Apalagi orang-orang yang naik sepeda motor. "Dia lihat kereta api sudah dekat pun, masih berani membuka palang untuk lewat," kata Aisyah. Kalau sudah begitu perempuan tua ini segera berteriak: "Heiii, koe memang mau mati ya!" Toh orang-orang itu terus saja lewat. "Paling mereka hanya ketawa saja mengejek," kata Aisyah. Namun demikian, inilah yang penting: Aisyah, Siti Aisyah yang beranak 8 orang itu menyatakan akan tetap setia pada pekerjaannya. Meskipun dadanya sering deg-degan mendengar berita kereta api sering tubrukan dengan kendaraan lain di pintu nengnong. Kenapa? "Sebab sebentar lagi saya akan pensiun," ujarnya tenang. Sebetulnya ada alasan lain dari itu, mungkin yang tak disadari oleh wanita ini. Yaitu barangkali karena ia sudah menyatu dengan pekerjaan itu. Ia orang Jawa. Suaminya yang bernama Marsono (50 tahun) juga orang Jawa. Ia sampai di Sumatera pada 1950 sebagai pengantin baru. Marsono memilih hidup di Medan sebagai transmigrasi spontan bersama familinya. Pada 1953 mereka pindah ke Kisaran. Marsono masuk kerja sebagai penjaga nengnong -- PJKA waktu itu masih bernama DSM -- milik perusahaan Belanda. Aisyah selalu berusaha menemani suaminya kalau lagi bertugas. Akhirnya dia sendiri larut dan ikut menjadi penjaga pintu nengnong. Tahun yang lalu suaminya pensiun. Jadi sekarang Aisyah bekerja sendirian. Sekali tempo ganti suami atau anaknya datang menemani, supaya ia tidak kesepian kalau giliran dinas malam. Nasib Aisyah lebih baik sedikit dari Eddy. Sebulan ia menerima gaji Rp 21 ribu. Sementara suaminya menerima pensiunan Rp 12 ribu. Tetapi namanya manusia, yang diterima secara resmi rasanya selalu saja tidak cukup. Demikianlah Aisyah dengan suami dan anak-anaknya berusaha untuk lebih mengamankan dapur keluarga dengan membuka warung kopi. Letaknya tidak jauh dari gardu kereta jaga. Jadi memang praktis. "Saya tetap jaga malam, jadi siang bisa Jualan kopi," kata Aisyah. Waktu suaminya masih dinas, pintu kereta itu praktis berada di tangan Aisyah dan Marsono. Marsono siang, Aisyah malam. Sekarang muncul seorang anak muda berusia 23 tahun bernama Chaidir. Kalau Aisyah sekeluarga melihat Chaidir, tentulah ia terkenang kepada masa mudanya. Seperti melihat nasib mereka di masa lalu. Chaidir yang muda ini ternyata sudah beristeri dan menanggung seorang ibu. Nasib Chaidir tak ubahnya dengan nasib penjaga nengnong yang lain. Di dekat pintu nengnong itu ia membangun sebuah rumah ukuran 3 kali 4 meter dengan satu kamar. Ia masuk kerja sejak 1973. Sekarang gajinya Rp 11.475 ditambah Rp 1.000 sebagai uang beras. Ya tidak cukup. Untuk ini terpaksa ia harus "bijaksana". Maka ia pun jadi tukang becak. Chaidir menyewa becak dari Marmo, seorang pegawai PJKA juga. Tapi karena dia bertugas siang dan becaknya jalan siang, kadang-kadang timbul persoalan. Siapa yang akan menjaga pintu nengnong? Jawab Zaleha (48 tahun) -- ibu Chaidir: "Terkadang saya, terkadang isterinya." Zaleha kelihatan sedih dengan jawaban itu. Ia sadar ia memberatkan hidup anaknya yang muda. "Habis saya mau ikut siapa lagi, dia anak tunggal saya, sedangkan suami saya sudah meninggal," ujar perempuan itu tanpa ditanya. Siang hari lalu lintas kereta lebih gencar. Jadi Zaleha dan menantunya Sri Murtini (16 tahun) harus benar-benar waspada. Kesulitan mereka sama dengan Aisyah. "Supir mobil itu suka kebut-kebutan," kata Zaleha. Maka seringkalilah pintu kereta itu patah. Seperti palang pintu kereta Eddy, sejak 6 bulan yang lalu, palang itu ompong. Setiap kali kereta lewat, Sri Murtini langsung berdiri di samping bekas palang sambil membawa bendera merah. Dan kalau seorang wanita berdiri di tengah jalan, muda seperti Sri, dapat dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh para pengendara motor. Tetapi Sri, muda tetapi tabah, sudah pasrah untuk membantu suaminya. Apalagi sekarang ia sudah hamil muda. Padahal Chaidir waktu memikatnya dahulu disangkanya pegawai PU. Ternyata hanya penjaga nengnong. "Tetapi saya tak menyesal, pokoknya dia kan bertanggungjawab kepada saya," ujar Sri. Tiba-tiba terdengar suara kereta api Limex Medan-Kisaran datang mendengus. Sri melompat, meraih bendera kecil, lantas berdiri di samping rel. Sementara mertuanya bergegas menurunkan handel palang yang hanya tinggal sebelah. Jam menunjukkan pukul 11 WIB. Lalu kereta pun lewat. Tak lama kemudian Zaleha dan Sri sudah duduk kembali di depan rumahnya, menunggu kereta yang lain atau menunggu Chaidir. Kerja seperti itu tampak seperti main-main saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus