SAYA ini kan kuli pecok, tak usah sekolah pun sebenarnya bisa
kerja di sini," kata Eddy, 28 tahun. Ia punya 3 anak, tinggal di
Kampung Sidorejo, Kisaran, Sumatera Utara. Ia pegawai perusahaan
negara PJKA. Tugasnya menjaga pintu kereta.
Memang tidak ada keahlian khusus yang diperlukan oleh seorang
penjaga pintu. Kalau dinas siang, ia tinggal nongkrong di pondok
dekat rel kereta jurusan Kisaran-Rantau Prapat. Di sana ada
sebuah handel untuk menurun-naikkan dua buah pintu kereta yang
disebut "neng-nong", untuk menahan aliran lalu lintas, sampai
ular besi itu lewat. "Saya hanya harus awas, sebab kalau tidak
akan terjadi tabrakan. Saya bisa dapat celaka, dipecat," kata
Eddy.
Ngebet Jadi Masinis
Dulu penjaga kereta mungkin bisa santai, karena jadwal lalu
lalangnya sudah pasti. Tapi Eddy yang mengaku urutan jabatannya
paling lata di PJKA, tidak bisa menikmati keadaan itu lagi.
Sekarang lalu lintas kereta tak berketentuan. Apalagi sudah dua
tahun ini lonceng yang biasanya memberitahukan kedatangan kereta
lewat, rusak. Nggak tahu kenapa. Tidak pernah pula diperbaiki.
Maka Eddy pun kembali menjadi primitip, semata-mata bergantung
dari ketajaman mata dan telinganya.
Tetapi kesulitan sudah bertambah lagi sejak 6 bulan ini. Palang
pintu kereta di Jalan Sutomo-Cokroaminoto (Kisaran) patah karena
disundul truk. Sampai sekarang belum diperbaiki. Jadi setelah
kupingnya bekerja keras, Eddy segera pula harus berdiri
menyambung palang pintu itu dengan tubuhnya sendiri.
Karena sudah biasa, Eddy tidak mengeluh lagi. Ia juga tidak
takut karena menganggap memang demikianlah seharusnya seorang
penjaga pintu kereta di zaman pembangunan ini. Tapi sialnya
kalau kebetulan giliran malam. Bayangkan, tempat itu tidak
bermandi cahaya listrik seperti jalan di kota-kota besar
lainnya. Keadaannya gelap. Memberi isyarat kepada mereka yang
akan melintasi rel tidak cukup dengan melambaikan tangan. Eddy
tak bisa berbuat lain kecuali berkoar-koar.
O ya, dulu kawan ini punya sebuah bendera kecil warna merah.
Lumayan juga gunanya untuk menyuruh lalu lintas berhenti. Tapi
belakangan ini bendera itu hilang. Ya, ya, sudah diusulkan juga
kepada kantor supaya diganti. Tapi maklumlah kantor banyak
urusan yang lebih penting. Sampai sekarang belum tergantikan.
"Saya juga sudah usul sebuah senter untuk tugas malam, tapi itu
juga belum diberi," kata Eddy.
Kesulitan Eddy, kalau masih boleh ditambah, adalah karena ia
bertugas sendirian di kedua sisi rel. Ia hanya bisa memilih satu
sisi, sambil membiarkan mereka yang datang dari sisi lainnya
menjaga nyawanya masing-masing. "Mana mungkin saya jaga di sini
dan di situ sekaligus," kata Eddy dengan lucu. Alhamdulillah,
sejak menjabat penjaga pintu sejak 1974, belum pernah terjadi
tabrakan di daerah kawalannya. "Tuhan masih melindungi saya
sampai sekarang, karena kalau saya sampai tidak awas akan
dipecat. Dan kalau dipecat bagaimana anak-anak saya nanti," kata
Eddy selanjutnya.
Selain mati atau sakit keras, memang bahaya pemecatan paling
ditakuti Eddy. Ia terlalu sayang pada gaji bulanannya sebesar Rp
13.000. Itu pun sudah tak sanggup untuk mengebulkan asap
dapurnya secara normal. Karenanya anak muda yang cinta keluarga
ini berusaha untuk membuktikan tanggung jawabnya dengan cara
memanfaatkan waktu senggang. Ia pun membawa sebuah kursi ke
dekat gardu jaga. Kemudian ditambah dengan sebuah cermin besar,
kain putih, gunting, pisau. Jadilah ia tukang pangkas.
Eddy si penjaga pintu kereta sudah jadi tukang cukur sejak
setahun yang lalu. Kebetulan dekat pos jaganya banyak pohon
rindang, jadi ia memiliki tempat operasi yang ideal. Apalagi
kalau giliran dinas malam, maka merdekalah dia sehari suntuk
memotong rambut rakyat Kisaran. Tetapi kalau dinasnya siang, ia
seperti main kucing-kucingan. "Kadang kalau lagi memangkas ada
kereta lewat terpaksa ditinggalkan sebentar. Habis bagaimana,"
kata Eddy.
Di dalam kelas tukang pangkas, Eddy termasuk katagori tukang
cukur kelas "kantor pos". Ini istilah rakyat Kisaran. Tapi nggak
apa. Terkadang ia bisa mengantongi Rp 500 sehari. Langganannya
adalah orang-orang di sekitar kampung Kisaran. Banyak di
antaranya tukang becak. Tapi belakangan ini ada kesulitan. "Yah,
tukang becak dan orang kampung pun sudah ketularan gondrong,"
kata Eddy dengan senyum pahit. Pernah seminggu ia tidak menjamah
kepala.
Seperti Main-Main Saja
Sebagai pegawai PJKA, Eddy memiliki beberapa keluhan. "Sampai
sekarang NIP belum keluar, nggak diurus," ujarnya. Tapi ia
sendiri memang tidak begitu bergairah soal NIP. Rupanya ia
memang tidak berniat untuk mengubur masa depannya di pintu
nengnong itu. "Saya ini tamatan STM " kata Eddy. Maksudnya
jebolan STM Pemda Asahan, 1971. Bahkan sempat kerja sebagai
pegawai Perusahaan Air Minum Pemda selama satu tahun. Kemudian
ada tawaran kerja sebagai masinis. Ia pun melamar. Akhirnya
hanya mampu merebut tempat sebagai tukang pintu.
Begitulah saking ingin jadi masinis Eddy bersedia menunggu
kesempatan yang akan datang di pinggir rel. Mula-mula dikabarkan
tahun berikutnya lowongan itu akan ditawarkan lagi. Tapi
sekarang sudah 4 tahun ia belum juga jadi masinis. Sekali Eddy
kirim surat kepada pimpinan PJKA di-Medan. Tapi tak ada reaksi.
"Ya sudah. Bagaimana ya," kata Eddy. "Kawan saya yang tamatan
STM malah ada juga yang jadi tukang becak. Tinggal sabar-sabar
saja, untung-untung ada perhatian atasan."
Kenapa sih kamu ngebet benar ingin jadi masinis, Eddy "Ya
begitulah, saya memang kepingin benar jadi masinis," jawab Eddy
dengan polos-polos saja. Eddy bukan tidak pernah menoleh kepada
bidang kerja yang lain. "Tapi cari kerja sekarang memang sulit,"
ujarnya menutup sendiri kemungkinan untuk kerja yang bukan
masinis.
Tidak semua penaga pintu kereta berkelamin lelaki. Lihatlah
Siti Aisyah (42 tahun) di simpang Bunut, juga di daerah Kisaran.
Ia justru berada di medan kereta api yang lebih ramai dari Eddy.
Pintu yang dijaganya mengalirkan kereta dari arah Medan. Di sini
arus kereta juga tidak tentu, sehingga kesulitan Aisyah sama
dengan Eddy. Ia pun mengeluh bahwa dulu kerjanya jauh lebih
menggembirakan dari sekarang.
"Terkadang di sini kereta melintas 6 kali saja satu malam," kata
Aisyah mulai, "tapi kalau ada kecelakaan, misalnya kereta anjlok
dari rel, kereta api yang melintas bisa sampai 10 trip dan
jamnya tak menentu. Maklum juga untuk menejar ketinggalan
selama hubungan terputus, tapi wah, keselnya bukan main!" Apalagi
belakangan ini entah kenapa sering kereta anjlog, jadi Aisyah
repot bukan main. "Sekarang tak ada uang lembur," keluhnya
berkepanjangan, "lain dengan dulu!"
Masih ada lagi keluhan Aisyah. Ia melihat keberanian para sopir
mobil di zaman sekarang ini tambah hebat. Semuanya pada anggar
jago. Kalau dulu begitu palang sudah diturunkan, kendaraan yang
akan lewat pasti patuh berhenti. Tapi sekarang, waduh, ada saja
yang berani membuka palang itu, lantas lewat, karena dilihatnya
kereta masih jauh. Apalagi orang-orang yang naik sepeda motor.
"Dia lihat kereta api sudah dekat pun, masih berani membuka
palang untuk lewat," kata Aisyah. Kalau sudah begitu perempuan
tua ini segera berteriak: "Heiii, koe memang mau mati ya!" Toh
orang-orang itu terus saja lewat. "Paling mereka hanya ketawa
saja mengejek," kata Aisyah.
Namun demikian, inilah yang penting: Aisyah, Siti Aisyah yang
beranak 8 orang itu menyatakan akan tetap setia pada
pekerjaannya. Meskipun dadanya sering deg-degan mendengar berita
kereta api sering tubrukan dengan kendaraan lain di pintu
nengnong. Kenapa? "Sebab sebentar lagi saya akan pensiun,"
ujarnya tenang.
Sebetulnya ada alasan lain dari itu, mungkin yang tak disadari
oleh wanita ini. Yaitu barangkali karena ia sudah menyatu dengan
pekerjaan itu. Ia orang Jawa. Suaminya yang bernama Marsono (50
tahun) juga orang Jawa. Ia sampai di Sumatera pada 1950 sebagai
pengantin baru. Marsono memilih hidup di Medan sebagai
transmigrasi spontan bersama familinya. Pada 1953 mereka pindah
ke Kisaran. Marsono masuk kerja sebagai penjaga nengnong -- PJKA
waktu itu masih bernama DSM -- milik perusahaan Belanda.
Aisyah selalu berusaha menemani suaminya kalau lagi bertugas.
Akhirnya dia sendiri larut dan ikut menjadi penjaga pintu
nengnong. Tahun yang lalu suaminya pensiun. Jadi sekarang Aisyah
bekerja sendirian. Sekali tempo ganti suami atau anaknya datang
menemani, supaya ia tidak kesepian kalau giliran dinas malam.
Nasib Aisyah lebih baik sedikit dari Eddy. Sebulan ia menerima
gaji Rp 21 ribu. Sementara suaminya menerima pensiunan Rp 12
ribu. Tetapi namanya manusia, yang diterima secara resmi rasanya
selalu saja tidak cukup. Demikianlah Aisyah dengan suami dan
anak-anaknya berusaha untuk lebih mengamankan dapur keluarga
dengan membuka warung kopi. Letaknya tidak jauh dari gardu
kereta jaga. Jadi memang praktis. "Saya tetap jaga malam, jadi
siang bisa Jualan kopi," kata Aisyah.
Waktu suaminya masih dinas, pintu kereta itu praktis berada di
tangan Aisyah dan Marsono. Marsono siang, Aisyah malam. Sekarang
muncul seorang anak muda berusia 23 tahun bernama Chaidir. Kalau
Aisyah sekeluarga melihat Chaidir, tentulah ia terkenang kepada
masa mudanya. Seperti melihat nasib mereka di masa lalu. Chaidir
yang muda ini ternyata sudah beristeri dan menanggung seorang
ibu.
Nasib Chaidir tak ubahnya dengan nasib penjaga nengnong yang
lain. Di dekat pintu nengnong itu ia membangun sebuah rumah
ukuran 3 kali 4 meter dengan satu kamar. Ia masuk kerja sejak
1973. Sekarang gajinya Rp 11.475 ditambah Rp 1.000 sebagai uang
beras. Ya tidak cukup. Untuk ini terpaksa ia harus "bijaksana".
Maka ia pun jadi tukang becak.
Chaidir menyewa becak dari Marmo, seorang pegawai PJKA juga.
Tapi karena dia bertugas siang dan becaknya jalan siang,
kadang-kadang timbul persoalan. Siapa yang akan menjaga pintu
nengnong? Jawab Zaleha (48 tahun) -- ibu Chaidir: "Terkadang
saya, terkadang isterinya." Zaleha kelihatan sedih dengan
jawaban itu. Ia sadar ia memberatkan hidup anaknya yang muda.
"Habis saya mau ikut siapa lagi, dia anak tunggal saya,
sedangkan suami saya sudah meninggal," ujar perempuan itu tanpa
ditanya.
Siang hari lalu lintas kereta lebih gencar. Jadi Zaleha dan
menantunya Sri Murtini (16 tahun) harus benar-benar waspada.
Kesulitan mereka sama dengan Aisyah. "Supir mobil itu suka
kebut-kebutan," kata Zaleha. Maka seringkalilah pintu kereta itu
patah. Seperti palang pintu kereta Eddy, sejak 6 bulan yang
lalu, palang itu ompong. Setiap kali kereta lewat, Sri Murtini
langsung berdiri di samping bekas palang sambil membawa bendera
merah.
Dan kalau seorang wanita berdiri di tengah jalan, muda seperti
Sri, dapat dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh para
pengendara motor. Tetapi Sri, muda tetapi tabah, sudah pasrah
untuk membantu suaminya. Apalagi sekarang ia sudah hamil muda.
Padahal Chaidir waktu memikatnya dahulu disangkanya pegawai PU.
Ternyata hanya penjaga nengnong. "Tetapi saya tak menyesal,
pokoknya dia kan bertanggungjawab kepada saya," ujar Sri.
Tiba-tiba terdengar suara kereta api Limex Medan-Kisaran datang
mendengus. Sri melompat, meraih bendera kecil, lantas berdiri di
samping rel. Sementara mertuanya bergegas menurunkan handel
palang yang hanya tinggal sebelah. Jam menunjukkan pukul 11 WIB.
Lalu kereta pun lewat. Tak lama kemudian Zaleha dan Sri sudah
duduk kembali di depan rumahnya, menunggu kereta yang lain atau
menunggu Chaidir. Kerja seperti itu tampak seperti main-main
saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini