PULANG dari belajar di Amerika, sampai di tanah air drs. Sukimin
MA sejenak kehilangan pegangan. Ia sedikit sulit menyesuaikan
diri dengan suasana kerja di kantornya.
Mas Sukimin seorang pegawai negeri. Suasana di kantor baginya
sungguh mencengangkan. Birokrasi berjalan penuh agitasi.
Kegiatan di kantor lebih diwarnai derap sepatu sukarelawan
daripada gemericik suara mesin tulis. Disiplin pegawai
digembleng tidak untuk melaksanakan tugas pokok kantornya,
tetapi untuk diangkut truk ke berbagai penyambutan dan rapat
besar.
Namun mas Sukimin segera tanggap. Ia tidak ingin terlindas roda
revolusi. Sebagai pegawai negeri, ia telah teken kontrak untuk
ber "Pantja Setia". Ia wajib menjalankan tugas dengan berbakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa Setia dan taat kepada Nusa, Bangsa
dan Negara Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan berhaluan
Manipol Usdek, dan berbagai wajib lainnya.
Maka mas Sukimin pun mulai menanggalkan dasi. Ditukarnya celana
wool dari Amerika yang ia sayangi itu dengan dua ekor ayam. Kini
ia terbiasa dengan pakaian lengkap yang dibenarkan untuk ia
gunakan. Pakaian lapangan, sepatu bot berpaku kopelrim,
velples, dan atribut-atribut sukarelawan lainnya. Ia ikut
berbaris, naik truk dan berholopis kuntul baris.
Dengan setia ia ikuti berbagai acara indoktrinasi. Kenangan yang
tak bisa dilupakan tentulah saat mas Sukimin terpilih sebagai
kader Revolusi, kemudian membentuk kelompok inti dalam Kader
Nasakom.
Setelah indoktrinasi, segala ilmu yang ia peroleh dari Amerika,
rasanya ingin ia campakkan semuanya. Karena tidak relevan dengan
gegap gempita revolusi tanah-airnya. Konsep demokrasi yang ia
pelajari dan diagungkan di Amerika, ternyata di sini dibilang
biang segala kekacauan. Hak asasi manusia yang didengungkan di
sana, di sini dikentuti. Konsep efisiensi, dilindas oleh
ampuhnya rangkuman dari semua kekuatan revolusioner.
Maka mas Sukimin pun banting stir. Dengan bangga ia angkut
sebesek "injil-injil" Revolusi Indonesia. Sebagai ilmiawan,
kadang terselip pula rasa malu, karena ia tak sempat membaca itu
semua. Tetapi buku-buku itu dan segala atributnya harus
terpampang di kantor mas Sukimin. Sesekali ia lirik dengan
bangga jajaran jilid demi jilid buku itu, mengingatkan akan
tanggungawab morilnya sebagai kader.
1970
Tetapi ujian sejarah membuktikan lain akan keampuhan sang kader.
Waktu revolusi betul meledak di tahun 1965 itu mas Sukimin tahu
apa yang harus dikerjakan. Ia memutuskan untuk berdiam diri.
Ia malu berbuat seperti beberapa temannya sekubu kader revolusi
dan kader nasakom. Mereka itu ada yang cari selamat, beraksi
menggebug teman sendiri.
Waktu mas Sukimin dimutasikan karena dosa besarnya sebagai orde
lama ia terima dengan lapang dada. Kini ia harus belajar lahir
kembali. Otaknya yang sudah tercuci hampir bersih dulu dari
cekokan nekolim (neo kolonialisme, kolonialisme dan
imperialisme) kini ia coba rangkum kembali. Ia resapkan pekik
keadilan dan kebenaran. Ia ingat hak asasi. Ia camkan cita-cita
perjuangan orde baru. Ia ingat demokrasi. Ia tekuni konsep
perbaikan ekonomi dari para teknokrat. Ia ingat efisiensi.
Maka buku-buku yang dibawa pulang dari Amerika dulu, ia bongkar
kembali dari persembunyiannya. Sebaliknya, dipersembunyian itu
kini disemayamkan kitab-kitab terlarang, yang dituduh sebagai
biang segala kebobrokan. Itulah "Injil" revolusi Indonesia yang
beberapa saat sebelumnya menjadi hiasan kebanggaan ruang kerja
mas Sukimin.
Puncak kenangannya sebagai abdi negara, dengan doktrin baru,
tentulah waktu santiaji tahun 1970, menjelang pelaksanaan
pemilihan umum 1971. Sebagai pegawai negeri, ia meresapi pekik
baru: monoloyalitas. Logikanya: karena ia abdi negara, ia hanya
patuh dan setia kepada negara. Ia setuju.
Karena ia patuh dan setia pada negara, ia harus patuh dan setia
kepada haluan negara. Mas Kimin akur. Karena haluan negara ialah
haluan orde baru, ia harus setia kepada orde baru. Mas Kimin pun
patuh. Karena yang orde baru ialah anu, maka jangan lupa pemilu
71 tusuklah anu. Dan Mas Kimin pun bilang: tentu.
1979
Dan tenanglah kerja drs. Sukimin MA sekarang. Kini ia
benar-benar bisa mengabdi pada keahlian yang ia pelajari.
Sebagai pegawai, ia amat setia pada pekerjaan. Sebagai pegawai
negeri, ia tahu menegakkan kehormatan korpsnya.
Mas Kimin dinilai lebih dari mampu melaksanakan tugas dan
tanggung jawab. Prasaja dalam sikap dan tindakan. Ia tahu
mementinkan kelancaran pembangunan tanah airnya. Pada umulnya
yang menjelang 50 tahun itu, mas Kimin benar-benar mantab dengan
pengabdiannya untuk tanah air, bangsa dan negara.
Tetapi itu saja rupanya belum cukup. Ia masih harus menjadi
pancasilais sejati. Ia perlu menjadi patriot paripurna. Ia perlu
ditatar tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Ia
perlu ditatar mengenai hasil-hasil sidang umum MPR 1978. Maka di
awal tahun 1979 ini pun mas Kimin dipanggil ikut penataran
tingkat nasional.
Terbiasa dengan sikap setia dan taat, kini ia pun siap
melaksanakan kewajiban barunya. Ia telah belajar mengambil
hikmah dari berbagai kewajiban. Karena itu ia pun merasa
beruntung diberi kesempatan - mempelajari pedoman penghayatan
dan pengamalan Pancasila. Ia pun merasa beruntung diberi
kesempatan mendiskusikan GBHN. Ia beruntung berkesempatan untuk
tukar pikiran tentang masalah pembangunan lainnya.
Tetapi hikmah yang mungkin paling sehat bagi mas Kimin dari
penataran ini ialah bahwa selama dua minggu, ia dibebaskan dari
belenggu kerja rutin di kantornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini