Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mas Sukimin, 1965, 1970, 1979

Di tahun 1965 Indonesia mengalami revolusi, banyak di antara teman sendiri saling menjatuhkan. Pada th 1970 diterapkannya monoloyalitas, pegawai negeri hanya patuh dan setia pada negara, tahun 1974 P4.

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULANG dari belajar di Amerika, sampai di tanah air drs. Sukimin MA sejenak kehilangan pegangan. Ia sedikit sulit menyesuaikan diri dengan suasana kerja di kantornya. Mas Sukimin seorang pegawai negeri. Suasana di kantor baginya sungguh mencengangkan. Birokrasi berjalan penuh agitasi. Kegiatan di kantor lebih diwarnai derap sepatu sukarelawan daripada gemericik suara mesin tulis. Disiplin pegawai digembleng tidak untuk melaksanakan tugas pokok kantornya, tetapi untuk diangkut truk ke berbagai penyambutan dan rapat besar. Namun mas Sukimin segera tanggap. Ia tidak ingin terlindas roda revolusi. Sebagai pegawai negeri, ia telah teken kontrak untuk ber "Pantja Setia". Ia wajib menjalankan tugas dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa Setia dan taat kepada Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan berhaluan Manipol Usdek, dan berbagai wajib lainnya. Maka mas Sukimin pun mulai menanggalkan dasi. Ditukarnya celana wool dari Amerika yang ia sayangi itu dengan dua ekor ayam. Kini ia terbiasa dengan pakaian lengkap yang dibenarkan untuk ia gunakan. Pakaian lapangan, sepatu bot berpaku kopelrim, velples, dan atribut-atribut sukarelawan lainnya. Ia ikut berbaris, naik truk dan berholopis kuntul baris. Dengan setia ia ikuti berbagai acara indoktrinasi. Kenangan yang tak bisa dilupakan tentulah saat mas Sukimin terpilih sebagai kader Revolusi, kemudian membentuk kelompok inti dalam Kader Nasakom. Setelah indoktrinasi, segala ilmu yang ia peroleh dari Amerika, rasanya ingin ia campakkan semuanya. Karena tidak relevan dengan gegap gempita revolusi tanah-airnya. Konsep demokrasi yang ia pelajari dan diagungkan di Amerika, ternyata di sini dibilang biang segala kekacauan. Hak asasi manusia yang didengungkan di sana, di sini dikentuti. Konsep efisiensi, dilindas oleh ampuhnya rangkuman dari semua kekuatan revolusioner. Maka mas Sukimin pun banting stir. Dengan bangga ia angkut sebesek "injil-injil" Revolusi Indonesia. Sebagai ilmiawan, kadang terselip pula rasa malu, karena ia tak sempat membaca itu semua. Tetapi buku-buku itu dan segala atributnya harus terpampang di kantor mas Sukimin. Sesekali ia lirik dengan bangga jajaran jilid demi jilid buku itu, mengingatkan akan tanggungawab morilnya sebagai kader. 1970 Tetapi ujian sejarah membuktikan lain akan keampuhan sang kader. Waktu revolusi betul meledak di tahun 1965 itu mas Sukimin tahu apa yang harus dikerjakan. Ia memutuskan untuk berdiam diri. Ia malu berbuat seperti beberapa temannya sekubu kader revolusi dan kader nasakom. Mereka itu ada yang cari selamat, beraksi menggebug teman sendiri. Waktu mas Sukimin dimutasikan karena dosa besarnya sebagai orde lama ia terima dengan lapang dada. Kini ia harus belajar lahir kembali. Otaknya yang sudah tercuci hampir bersih dulu dari cekokan nekolim (neo kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme) kini ia coba rangkum kembali. Ia resapkan pekik keadilan dan kebenaran. Ia ingat hak asasi. Ia camkan cita-cita perjuangan orde baru. Ia ingat demokrasi. Ia tekuni konsep perbaikan ekonomi dari para teknokrat. Ia ingat efisiensi. Maka buku-buku yang dibawa pulang dari Amerika dulu, ia bongkar kembali dari persembunyiannya. Sebaliknya, dipersembunyian itu kini disemayamkan kitab-kitab terlarang, yang dituduh sebagai biang segala kebobrokan. Itulah "Injil" revolusi Indonesia yang beberapa saat sebelumnya menjadi hiasan kebanggaan ruang kerja mas Sukimin. Puncak kenangannya sebagai abdi negara, dengan doktrin baru, tentulah waktu santiaji tahun 1970, menjelang pelaksanaan pemilihan umum 1971. Sebagai pegawai negeri, ia meresapi pekik baru: monoloyalitas. Logikanya: karena ia abdi negara, ia hanya patuh dan setia kepada negara. Ia setuju. Karena ia patuh dan setia pada negara, ia harus patuh dan setia kepada haluan negara. Mas Kimin akur. Karena haluan negara ialah haluan orde baru, ia harus setia kepada orde baru. Mas Kimin pun patuh. Karena yang orde baru ialah anu, maka jangan lupa pemilu 71 tusuklah anu. Dan Mas Kimin pun bilang: tentu. 1979 Dan tenanglah kerja drs. Sukimin MA sekarang. Kini ia benar-benar bisa mengabdi pada keahlian yang ia pelajari. Sebagai pegawai, ia amat setia pada pekerjaan. Sebagai pegawai negeri, ia tahu menegakkan kehormatan korpsnya. Mas Kimin dinilai lebih dari mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Prasaja dalam sikap dan tindakan. Ia tahu mementinkan kelancaran pembangunan tanah airnya. Pada umulnya yang menjelang 50 tahun itu, mas Kimin benar-benar mantab dengan pengabdiannya untuk tanah air, bangsa dan negara. Tetapi itu saja rupanya belum cukup. Ia masih harus menjadi pancasilais sejati. Ia perlu menjadi patriot paripurna. Ia perlu ditatar tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Ia perlu ditatar mengenai hasil-hasil sidang umum MPR 1978. Maka di awal tahun 1979 ini pun mas Kimin dipanggil ikut penataran tingkat nasional. Terbiasa dengan sikap setia dan taat, kini ia pun siap melaksanakan kewajiban barunya. Ia telah belajar mengambil hikmah dari berbagai kewajiban. Karena itu ia pun merasa beruntung diberi kesempatan - mempelajari pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Ia pun merasa beruntung diberi kesempatan mendiskusikan GBHN. Ia beruntung berkesempatan untuk tukar pikiran tentang masalah pembangunan lainnya. Tetapi hikmah yang mungkin paling sehat bagi mas Kimin dari penataran ini ialah bahwa selama dua minggu, ia dibebaskan dari belenggu kerja rutin di kantornya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus