SELERA makan dan minum penduduk RRC sedang diarahkan kembali.
Ada gerakan merubah menu dari mi dan nasi menuju roti di sana.
Itu terutama berkat kampanye perusahaan transnasional Amerika,
McDonald, yang mulai menjajakan makanan yang sudah diolah
seperti hamburger.
Den Fujita, pimpinan perusahaan Jepang yang mewakili kepentingan
McDonald di Cina, mengatakan banting setir ke roti yang segera
dapat digigit dan dikunyah itu ada sebabnya. "Makanan Cina
tradisional, persiapannya terlalu banyak makan waktu," kata sang
pedagang. Dengan masuknya bamburger, demikian kampanyenya, orang
Cina punya lebih banyak waktu untuk bekerja, dan tak perlu repot
merebus bakmi atau nasi.
Kegemaran minum teh, suatu tradisi ribuan tahun yang memang
berasal dari negeri Cina, kini mau dikendorkan pula dengan
rencana serbuan minuman Coca Cola ke RRC. Toyo Seikan, produsen
makanan dan minuman pabrik terbesar di Jepang, merupakan
leveransir kaleng Coca-Cola. Menggairahkan kelatahan orang Cina
meniru gaya hidup Barat, merek minuman itu ditulis ke dalam
kanji, bermakna begini dapat diminum dan dapat memberi
kenikmatan" (khe khou khe lo).
Kampanye ganti menu, tampaknya diterima dengan tangan terbuka di
RRC. Penduduk negeri itu yang 850 juta banyaknya mungkin merasa
sudah jenuh hidup prihatin berdasarkan tradisinya sendiri,
selagi Ketua Mao masih hidup. Hingga belum terdengar protes dari
dalam negeri RRC sendiri.
Tapi di Amerika Serikat, tempat asal McDonald dan Coca-Cola,
nada khawatir sudah terdengar. Environmental Action, satu
kelompok pembela kelestarian lingkungan di Washington DC, akhir
Desember menghubungi Chai Tse-min, Kepala Kantor Penghubung RRC
di AS. Seperti dikemukakan oleh Washington Post, kelompok
pencinta alam itu mendesak penguasa baru di Beijing (Peking)
agar melarang pemakaian kaleng dan botol yang
sekali-pakai-terus-dibuang di RRC.
"Masya Allah, apa yang akan terjadi kalau Coca-Cola akan menjual
minumannya dalam botol atau kaleng yang tak dapat dikembalikan
atau didaur-ulang (recycle)? Sekarang saja, di Amerika setiap
tahun orang membuang 70 milyar bekas wadah minuman, yang kalau
dibariskan bisa mengelilingi bola bumi dua kali," kata Diane
MacEachern, juru bicara kelompok itu. Makanya dalam surat ke
alamat pemerintah Beijing, kelompok itu menganjurkan agar
setidak-tidaknya RRC mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan
setiap konsumen makanan atau minuman kaleng atau botolan supaya
menyerahkan wadah itu di tempat penimbunan yang ditentukan
pemerintah. Di situ kaleng atau botol itu lebih mudah
didaur-ulang, dan tak berserakan menjadi sampah di mana-mana.
Chai Tse-min menanggapi saran kelompok lingkungan AS itu dengan
rasa kurang bersemangat. "Di Cina," katanya, "orang sudah biasa
dengan minuman ringan botol buatan dalam negeri." Botolnya di
sana boleh dibuang, boleh juga dikembalikan dengan mendapat
ongkos botol -- kurang lebih sama sepcrti di Indonesia. Makanya,
"saya rasa tak perlu orang diwajibkan menyetor botol atau kaleng
bekas minuman, tapi kami memang selalu menganjurkan
pengembaliannya," kata sarjana ekonomi Cina itu.
Awas Sintetis
Jurubicara Coca-Cola menjelaskan bahwa pengapalan pertama
minuman ringan buatan pabrik itu ke RRC akan menggunakan botol
dan kaleng yang dapat dipulangkan ke penjualnya. Tapi dia
sendiri masih ragu apakah bekas wadah minuman itu akan
betul-betul dipakai ulang. "Boleh jadi," kata orang pabrik itu,
"turis asing justru akan membawanya pulang sebagai suvenir."
Kendati demikian, soal sampah kaleng dan botol hanya merupakan
satu aspek saja dari pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh
minuman dan makanan sintetis yang diproduksi dan dijual secara
massal. Yang tak kalah gawatnya adalah pencemaran kesehatan para
konsumennya sendiri akibat penggunaan bahan sintetis untuk
pemanis, pewarna atau pengawetnya. Coca-Cola, misalnya, adalah
hasil perkawinan dua jenis tumbuhan yang tak berbahaya. Yakni
coklat alias cocoa yang tumbuh liar di pegunungan Andes, Amerika
Latin, dan cola yang tumbuh liar di Afrika Barat. Namun karena
pembuatannya secara massal untuk dipasarkan di seantero jagat,
produsennya telah terdorong untuk mencampuri minuman rakyat itu
dengan berbagai zat kimia sintetis. Para pencinta lingkungan,
pembela konsumen dan kalangan medis di negeri-negeri Dunia
Pertama acap kali menarik suara agar masyarakat tak terlalu
keranjingan menghirupnya. Sebab zat kimia sintetis yang
digunakan untuk memaniskan, mewarnai dan mengawetkannya lewat
dosis tertentu dapat menyebabkan kanker.
Bukan cuma Coca-Cola dan berbagai merek minuman ringan botol
lain yang telah dituding sebagai penyebab kanker, tapi juga
minuman beralkohol seperti bir. Majalah Stern di Jerman Barat
mengemukakan bahwa 111 dari 158 merek bir yang beredar di
pasaran negeri itu dicurigai mengandung unsur carcinogen
(penyebab kanker). Terutama bir buatan Amerika, yang banyak
mengandung nitrosamines. Merek terkenal buatan Jerman sendiri --
seperti Pils dan Alt ada juga diduga mengandung unsur penyebab
kanker itu, dalam dosis yang cukup berarti.
Ikut-ikutan
Juga hamburger roti berlapis yang diselipi daging sapi sudah
dituding pula oleh para ahli sebagai penyebab kanker. Hampir
setahun yang lalu, sekelompok ahli dari Universitas Washington
mengumumkan hasil penelitian mereka bahwa hamburger, yang
dimasak secara massal dalam panci ceper dari logam, mengandung
zat mutagen. Zat ini dapat menimbulkan mutasi dalam pertumbuhan
sel, sehingga membiak secara ganas. Walhasil, timbullah kanker
pada binatang percobaan yang disodori hamburger nan lezat itu di
laboratorium universitas (TEMPO, 8 Juli 1978).
Orang Indonesia lebih duluan kejangkitan latah ketimbang rakyat
Cina terhadap makanan dan minuman modern dari Amerika -- atau
negeri-negeri maju lainnya. Padahal penggunaan bahan kampung
yang lebih alamiah mungkin jauh lebih sehat. Seperti pandan,
kunyit, wortel dan tanaman lain, yang pernah dianjurkan oleh
Lembaga Konsumen di Jakarta agar digalakkan kembali
penggunaannya sebagai zat pewarna makanan dan minuman.
Dari 21 contoh zat pewarna modern buatan pabrik yang telah diuji
lembaga itu, ternyata 12 dinyatakan amat berbahaya. Malah
sebenarnya hanya boleh digunakan untuk pewarna tekstil, kertas
dan kulit yang tak boleh masuk ke mulut. Apalagi perut.
Bahan kimia sintetis seperti orange SS, Guinea Green B, dan
Poceau 3R itu, menurut Lembaga Konsumen, dapat menimbulkan
keracunan, rontoknya bulu-bulu, pengrusakan hati dan kematian
(pada manusia) apabila dipergunakan dalam dosis tinggi. Terhadap
zat-zat begini, orang memang lebih pantas mengucapkan 'selamat
tinggal'. Dan bukan 'selamat makan' atau selamat minum'.
Walaupun dalam bahasa Cina sekalipun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini