Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sumber Kanker

Perusahaan Mcdonald (AS) akan memasarkan hamburger ke Cina, juga Coca Cola. Para ahli mencurigai produsen karena memakai pengawet dan bahan kimia sintetis yang overdosis.(ling)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELERA makan dan minum penduduk RRC sedang diarahkan kembali. Ada gerakan merubah menu dari mi dan nasi menuju roti di sana. Itu terutama berkat kampanye perusahaan transnasional Amerika, McDonald, yang mulai menjajakan makanan yang sudah diolah seperti hamburger. Den Fujita, pimpinan perusahaan Jepang yang mewakili kepentingan McDonald di Cina, mengatakan banting setir ke roti yang segera dapat digigit dan dikunyah itu ada sebabnya. "Makanan Cina tradisional, persiapannya terlalu banyak makan waktu," kata sang pedagang. Dengan masuknya bamburger, demikian kampanyenya, orang Cina punya lebih banyak waktu untuk bekerja, dan tak perlu repot merebus bakmi atau nasi. Kegemaran minum teh, suatu tradisi ribuan tahun yang memang berasal dari negeri Cina, kini mau dikendorkan pula dengan rencana serbuan minuman Coca Cola ke RRC. Toyo Seikan, produsen makanan dan minuman pabrik terbesar di Jepang, merupakan leveransir kaleng Coca-Cola. Menggairahkan kelatahan orang Cina meniru gaya hidup Barat, merek minuman itu ditulis ke dalam kanji, bermakna begini dapat diminum dan dapat memberi kenikmatan" (khe khou khe lo). Kampanye ganti menu, tampaknya diterima dengan tangan terbuka di RRC. Penduduk negeri itu yang 850 juta banyaknya mungkin merasa sudah jenuh hidup prihatin berdasarkan tradisinya sendiri, selagi Ketua Mao masih hidup. Hingga belum terdengar protes dari dalam negeri RRC sendiri. Tapi di Amerika Serikat, tempat asal McDonald dan Coca-Cola, nada khawatir sudah terdengar. Environmental Action, satu kelompok pembela kelestarian lingkungan di Washington DC, akhir Desember menghubungi Chai Tse-min, Kepala Kantor Penghubung RRC di AS. Seperti dikemukakan oleh Washington Post, kelompok pencinta alam itu mendesak penguasa baru di Beijing (Peking) agar melarang pemakaian kaleng dan botol yang sekali-pakai-terus-dibuang di RRC. "Masya Allah, apa yang akan terjadi kalau Coca-Cola akan menjual minumannya dalam botol atau kaleng yang tak dapat dikembalikan atau didaur-ulang (recycle)? Sekarang saja, di Amerika setiap tahun orang membuang 70 milyar bekas wadah minuman, yang kalau dibariskan bisa mengelilingi bola bumi dua kali," kata Diane MacEachern, juru bicara kelompok itu. Makanya dalam surat ke alamat pemerintah Beijing, kelompok itu menganjurkan agar setidak-tidaknya RRC mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan setiap konsumen makanan atau minuman kaleng atau botolan supaya menyerahkan wadah itu di tempat penimbunan yang ditentukan pemerintah. Di situ kaleng atau botol itu lebih mudah didaur-ulang, dan tak berserakan menjadi sampah di mana-mana. Chai Tse-min menanggapi saran kelompok lingkungan AS itu dengan rasa kurang bersemangat. "Di Cina," katanya, "orang sudah biasa dengan minuman ringan botol buatan dalam negeri." Botolnya di sana boleh dibuang, boleh juga dikembalikan dengan mendapat ongkos botol -- kurang lebih sama sepcrti di Indonesia. Makanya, "saya rasa tak perlu orang diwajibkan menyetor botol atau kaleng bekas minuman, tapi kami memang selalu menganjurkan pengembaliannya," kata sarjana ekonomi Cina itu. Awas Sintetis Jurubicara Coca-Cola menjelaskan bahwa pengapalan pertama minuman ringan buatan pabrik itu ke RRC akan menggunakan botol dan kaleng yang dapat dipulangkan ke penjualnya. Tapi dia sendiri masih ragu apakah bekas wadah minuman itu akan betul-betul dipakai ulang. "Boleh jadi," kata orang pabrik itu, "turis asing justru akan membawanya pulang sebagai suvenir." Kendati demikian, soal sampah kaleng dan botol hanya merupakan satu aspek saja dari pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh minuman dan makanan sintetis yang diproduksi dan dijual secara massal. Yang tak kalah gawatnya adalah pencemaran kesehatan para konsumennya sendiri akibat penggunaan bahan sintetis untuk pemanis, pewarna atau pengawetnya. Coca-Cola, misalnya, adalah hasil perkawinan dua jenis tumbuhan yang tak berbahaya. Yakni coklat alias cocoa yang tumbuh liar di pegunungan Andes, Amerika Latin, dan cola yang tumbuh liar di Afrika Barat. Namun karena pembuatannya secara massal untuk dipasarkan di seantero jagat, produsennya telah terdorong untuk mencampuri minuman rakyat itu dengan berbagai zat kimia sintetis. Para pencinta lingkungan, pembela konsumen dan kalangan medis di negeri-negeri Dunia Pertama acap kali menarik suara agar masyarakat tak terlalu keranjingan menghirupnya. Sebab zat kimia sintetis yang digunakan untuk memaniskan, mewarnai dan mengawetkannya lewat dosis tertentu dapat menyebabkan kanker. Bukan cuma Coca-Cola dan berbagai merek minuman ringan botol lain yang telah dituding sebagai penyebab kanker, tapi juga minuman beralkohol seperti bir. Majalah Stern di Jerman Barat mengemukakan bahwa 111 dari 158 merek bir yang beredar di pasaran negeri itu dicurigai mengandung unsur carcinogen (penyebab kanker). Terutama bir buatan Amerika, yang banyak mengandung nitrosamines. Merek terkenal buatan Jerman sendiri -- seperti Pils dan Alt ada juga diduga mengandung unsur penyebab kanker itu, dalam dosis yang cukup berarti. Ikut-ikutan Juga hamburger roti berlapis yang diselipi daging sapi sudah dituding pula oleh para ahli sebagai penyebab kanker. Hampir setahun yang lalu, sekelompok ahli dari Universitas Washington mengumumkan hasil penelitian mereka bahwa hamburger, yang dimasak secara massal dalam panci ceper dari logam, mengandung zat mutagen. Zat ini dapat menimbulkan mutasi dalam pertumbuhan sel, sehingga membiak secara ganas. Walhasil, timbullah kanker pada binatang percobaan yang disodori hamburger nan lezat itu di laboratorium universitas (TEMPO, 8 Juli 1978). Orang Indonesia lebih duluan kejangkitan latah ketimbang rakyat Cina terhadap makanan dan minuman modern dari Amerika -- atau negeri-negeri maju lainnya. Padahal penggunaan bahan kampung yang lebih alamiah mungkin jauh lebih sehat. Seperti pandan, kunyit, wortel dan tanaman lain, yang pernah dianjurkan oleh Lembaga Konsumen di Jakarta agar digalakkan kembali penggunaannya sebagai zat pewarna makanan dan minuman. Dari 21 contoh zat pewarna modern buatan pabrik yang telah diuji lembaga itu, ternyata 12 dinyatakan amat berbahaya. Malah sebenarnya hanya boleh digunakan untuk pewarna tekstil, kertas dan kulit yang tak boleh masuk ke mulut. Apalagi perut. Bahan kimia sintetis seperti orange SS, Guinea Green B, dan Poceau 3R itu, menurut Lembaga Konsumen, dapat menimbulkan keracunan, rontoknya bulu-bulu, pengrusakan hati dan kematian (pada manusia) apabila dipergunakan dalam dosis tinggi. Terhadap zat-zat begini, orang memang lebih pantas mengucapkan 'selamat tinggal'. Dan bukan 'selamat makan' atau selamat minum'. Walaupun dalam bahasa Cina sekalipun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus