PENYAKIT kebutaan masih merupakan ancaman di Indonesia. Salah satu di antaranya yang menyebabkan kebutaan paling tinggi adalah katarak. Penyakit akibat pemburaman lensa mata ini, menurut Departemen Kesehatan, pada 1983 sudah mencapai sejuta orang. Pelbagai cara sudah dilakukan untuk mengatasi penyakit yang penyebabnya secara pasti belum diketahui itu. Misalnya dengan pembedahan: para dokter mengeluarkan lensa yang memburam itu dan menggantikannya dengan lensa buatan. Upaya ini memang sudah digiatkan sejak tiga tahun yang lalu di pelbagai rumah sakit di Indonesia. Tapi, karena fasilitas dan tenaga dokter mata masih terbatas - baru sekitar 200 dokter mata di Indonesia - upaya untuk bisa cepat menolong para penderita katarak tadi tampaknya belum bisa cepat dilakukan. Sampai saat ini para dokter mata masih berusaha mencari cara atau teknik baru yang bisa cepat menanggulangi para penderita katarak, penyakit yang sering muncul pada orang berusia di atas 5 itu. Antara lain, dengan maksud itulah, dalam kongres ke-5, pengurus Persatuan Dokter Ahli Mata Indonesia (Perdami) pekan lalu (15-16 Mei) mengundang Richard Troutman, seorang dokter mata ahli dari Amerika Serikat untuk memperlihatkan metode baru operasi pembedahan mata katarak. Richard Troutman, 62, ahli bedah mata mikro lulusan Universitas Cornell itu, pada 1971 pernah mengajar di FKUI, Jakarta. Lebih dari sepuluh tahun meninggalkan Indonesia, kah lni dia datang bersama istrinya, Suzanne Verroneu, 58, juga seorang dokter mata, atas undangan khusus Prof. S.M. Akmam, ketua umum Perdami. Hangat dan suka bergurau, Troutman kini termasuk di antara 10 ahli bedah mata terkemuka di AS. Dia mula-mula terkenal ketika memelopori pembedahan mata dengan mikroskop. Tapi, belakangan ini dia sering disebut-sebut karena teknik pembedahan mata, terutama untuk penderita katarak dengan metode simpul jahit (slip knot). Metode ini dipopulerkannya di AS, khususnya di rumah sakit New York, tempat ia bertugas sekarang ini. Datang dengan peralatan lengkap, sejam lebih Troutman mendemonstrasikan metodenya lewat seorang pasien yang disediakan RS Aini: Nyonya Ani Markum, 56, yang menderita katarak di mata kanannya. Puluhan dokter anggota Perdami menyaksikan Troutman memperlihatkan keterampilannya yang direkam sebuah kamera video. Mula-mula ia melakukan operasi pembedahan biasa. Mata yang akan dioperasi itu disterilkan dulu, lalu dilakukan pembiusan, dan kemudian pembedahan. Hampir semua cara ini sudah diterapkan oleh dokter mata di Indonesia. Tapi, ketika selesai mengeluarkan lensa dan akan menyelesaikan operasi bedah mata itu, barulah Troutman, yang sesekali melontarkan guyonannya, memperlihatkan penemuannya. Yakni teknik menjahit bekas belekan operasi. Jika dokter mata Indonesia selama ini biasa melakukan jahitan dengan simpul mati bekas bedahan dijahit mereka satu-satu dan langsung diikat mati - maka, menurut metode Troutman, bekas bedahan itu dijahit jelujur dan tidak diikat mati. Dia menjelujur bekas bedahan itu dari luar dan baru kemudian mengikatnya dengan simpul hidup. Dengan kata lain, jika biasanya dokter di sini menjahit satu-satu, sehingga dalam suatu operasi sedikitnya bisa ditemukan lima simpul mati, Troutman dengan simpul hidupnya hanya memerlukan simpul yang lebih kecil jumlahnya. Ketika menjahit bekas bedahan Nyonya Ani Markum itu, misalnya, dia hanya membuat dua jahitan dengan satu slmpul hidup Yan sewaktu-waktu bisa dilonggarkan atau dikencangkan. Ini penting, dan ada pengaruhnya pada mata, seperti cerita Dokter Djoko Sarwono salah seorang dokter mata senior di RS Aini. "Jahitan yang ikatannya terlalu kencang bisa mempengaruhi fokus mata," katanya. Akibatnya, penglihatan pasien katarak yang baru dioperasl ltU pun berkurang. Tapi, dengan teknik Troutman, kemungkinan seperti itu agaknya bisa dikontrol. Namun, baik Dokter Djoko maupun Dokter Muswari Harun, Direktur Medik RS Aini, belum bisa memastikan keampuhan metode baru itu. "Kita belum tahu apakah jahitan Troutman lebih baik dengan jahitan yang biasa dipraktekkn di sini. Belum ada riset tentang itu," kan Muswari. Yang baru diakui para dokter mata Indo nesia adalah bahwa apa yang dipraktekkan Troutman itu memang "menarik untuk diteliti". Dokter Djoko sendiri menolak mengunakan metode itu. "Ini soal selera. Saya baru seminggu lalu mencoba metode Troutman, tapi ternyata makan waktu lebih lama dibandingkan dengan cara lama," kata dokter yang memimpin klinik mata di Jalan Subang, Jakarta, itu. Tapi, bagi Troutman sendiri, metode barunya itu justru mempercepat pekerjaannya. "Metode ini merupakan cara lain yang lebih cepat dan lebih gampang," katanya. Ibarat menyimpulkan tali sepatu simpul jahitannya bisa dieratkan, bisa dikendurkan. "Ini memudahkan penyesuaian tarikan benang dalam operasi bedah mata di samping lebih akurat dan irit waktu," katanya lagi. Alasan Troutman ini dibenarkan Dokter Vidyapati, Kepala Subunit Refraksi RSCM, Jakarta. Selain kemungkinan jahitan terlalu kendur atau terlalu erat bisa dihindari, juga, katanya, hasil jahitan bisa sempurna dan tak perlu dilakukan berulang-ulang, cukup sekali. Tapi untuk memperoleh jahitan sempurna seperti yang dikemukakan Troutman, dibutuhkan biaya yang tidak murah. "Itu 'kan butuh alat lagi semacam mikroskop untuk mengecek tepat tidaknya, sebelum benang disimpulkan," ujar Prof. Akmam. Dan harga alat itu kini sekitar Rp 25 juta. Harga yang mahal itu memang menyebabkan fasllitas peralatan menjadi kurang lengkap di sini. Dan bagi Vidyapati, itu bukan alasan untuk tidak mencoba metode baru itu. "Paling tidak, meniru cara menyimpulkan benangnya itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini