SAYA bertemu - diajak menghadap - Pak Ali Moertopo pertama kali tahun 1978. Sebelumnya cuma mengagumi gegap gempita pidatonya di TV, atau hadir di ceramah-ceramah saja. Bersama beberapa teman, kami diajak seorang menteri Kabinet Pembangunan III soqan beliau di rumah dinas menteri penerangan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Saya deg-degan. Maklum, menghadap salah seorang penentu arah sejarah Orde Baru. Kesan pertama saya memasuki rumah yang besar tetapi diatur sederhana itu ialah meriah. Pas sekali untuk markas seorang politikus. Berbagai tamu ada di situ. Beberapa wajah saya kenal, lainnya hanya kesan yang saya peroleh. Ada tokoh sepak bola pemuda, politikus daerah, dan beragam aktivis. Karena ikut menteri, kami mendapat kehormatan masuk duluan. Tamu lain senyum penuh pengertian. Karena itu, langkah kami pun lebar-lebar, dan numpang wibawa. Di dalam, kami disambut dengan akrab dan ramah. Seperti saya duga, beliau mendahului membuka tabik dengan "Pembangunan". Hubungannya dengan kepedulian yang kami minati. Kami manggut-manggut. Senyum-senyum. Langsung nyambung lahir batin. Pengenalan masalah pun menjadi tidak perlu basa-basi. Tetapi aneh. Perhatian saya sama sekali tidak nempel pada isi omongan. Juga tidak pada pengarahan dan petunjuk harfiah beliau. Mata dan kebengongan saya tertuju pada interaksi.dan komunikasi bukan lisan antara Pak Ali Moertopo dan Pak Menteri. Antara teman-teman saya dan Pak Ali Moertopo. Dan antara Pak Ali Moertopo yang jagoan politik dan Pak Ali Moertopo pewejang akselerasi modernisasi pembangunan. Dari semua itu, hanya satu yang mengesankan saya. Dan itu satu-satunya yang tak pernah saya lupakan: di kursi tamu panjang itu, dengan sangat sopan, terbata-bata, Bapak Menteri melaporkan maksud kedatangan kami. Mohon petunjuk dan pengarahan! Saya lahir dan dibesarkan oleh budaya pesisir pinggiran, dalam konteks kebudayaan Jawa. Tetapl saya tetap terpana oleh adegan itu. Karena itu, segera kagum menyaksikan pribadi Pak Ali Moertopo ketika itu. Wibawa. Kuasa. Percaya diri. Tegar. Perkasa. Berpengaruh. Mengiang di telinga saya dialog wayang Jawa. Punggawa, terbata, hunjuk atur: Cinancang sumonggo asto, kapocok sumonggo jonggo. Borgollah tanganku, potonglah leherku, bila aku bersalah. Sembah sopan santun sebagai kepasrahan, setia tanpa batas. Biarpun akhirnya, dalam pewayangan, selalu yang diharap dan diperoleh punggawa dari penguasa ialah ganjaran, hadiah, kedudukan. Setelah itu, setiap membaca, melihat gambar, atau berbincang yang mengait gagasan, peran, gaya, dan sepak terjang Pak Ali Moertopo, saya selalu menjadikan kesan itu rujukan. Wibawa. Kuasa. Tegar perkasa, pengaruh. Saya ingin kenal lebih banyak. Tetapi apa boleh buat, saya tidak cukup kesempatan mendekati beliau. Saya bicara dengan pengagum Pak Ali Moertopo. Saya dengar teman-teman dari CSIS. Saya merekam komentar awam. Semua mengukuhkan kesan itu. Semua. Saya tak berdaya menyangkal itu. Ketemu Bung Zamroni, ia cerita kiasan Pak Ali Moertopo tentang rakyat: Rakyat itu seperti singa dalam sirkus, ujarnya. Bila ia kenyang, disuruh apa saja mau. Bila lapar, pawangnya pun ia siap nnenerkamnya. Wah! Ketemu eksponen KNPI Jawa Tengah, dapat cerita. Soal gegap gempita kongres KNPI di Semarang yang lalu. Ketegangan memilih ketua segera mengendap dan putus setelah memperoleh pesan pengarahan dari Pak Ali Moertopo. Semua tunduk. Semua berbulat tekad. Semua setia pada konsensus. Keputusan pun segera diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat. Semua setuju. Karena itu, setiap langkahnya, senyumnya, pembicaraannya memancarkan sikap penuh kepercayaan diri. Memang hebat Pak Ali Moertopo, pikir saya. Inilah wujud semboyan "kaya tanpa harta, raja tanpa mahkota". Menyerang tanpa pasukan. Menang tanpa menundukkan. Gegap gempita. Untuk musuh, taktiknya seolah selalu berhasil menyudutkan lawannya, hingga maju mati, mundur pun mati. Rawe-ra7e rantas, malang-malang putung. Pertemuan saya dengan Pak Ali Moertopo terakhir tahun 1983. Tidak sengaja - di teras belakang Istana Merdeka. Pak Ali berpakaian setelan jas, cakep sekali. Sambil berdiri saja, ditemui, ketemu atau menemui - saya tidak jelas - Pak Dharmono, Menteri Sekretaris Negara. Kedua pemimpin ini serius berbicara. Kehadiran kami terlihat oleh mereka. Tetapi tidak seperti pada pertemuan pertama, kali ini perhatian Pak Ali Moertopo tidak sedikit pun singgah ke kami. Tetapi, tidak. Mungkin beliau tidak mclihat kami. Barangkali karena perhatian beliau terpusat pada pembicaraan dengan Pak Dhar. Tampaknya amat penting, amat serius, sehingga beliau merasa perlu berbahasa Jawa. Saya cuma menduga, ini mesti omongan dari hati ke hatl antara kawan. Saya kecewa dan sedih tidak dapat memungut bcrkah pertemuan itu. Tetapi saya tak berdaya saya tertegun, tetapi juga iri terhadap adegan antara Pak Ali Moertopo dan Pak Dharmono itu. Pak Dhar, yang tinggi tegap, tampak begitu kukuh, tapi sederhana, prasajR. Juga dalam pembicaraan itu beliau hampir tidak berkata apa-apa. Dengan wajah manis sumeh, beliau hanya saya dengar menjawab, "iyo, iyo, yo, heah, iyo." Waktu Pak Ali Moertopo melangkah ke ruang pers, derapnya bergegas business like. Namun, akhirnya Tuhan Maha Pemurah. Saya kagum kembali, karcna esok paginya saya membaca wawancara Pak Ali Moertopo itu. Pendiriannya masih teguh. Suaranya masih lantang dan penuh percaya diri. Saya manggut-manggut, saya geleng-geleng. Selamat jalan, Pak Ali Moertopo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini