RIUH rendah sekitar seribu pengunjung menggema di Pengadilan Negeri Surabaya Senin lalu. "Hidup Pak Hakim . . . ! hidup . . . !" teriak gembira sebagian hadirin yang meluber sampai halaman. Pekik gembira itu meledak ketika Ketua Majelis Hakim Muri menjatuhkan hukuman mati bagi tiga terdakwa pembunuh yang menghabisi lima orang anggota keluarga Letkol. Poerwanto. Ketiga terdakwa itu dengan tabah mendengarkan putusan. Tak ada air mata. Nyonya Sumiasih (ibu), Djais Adi Prayitno (ayah), dan Sugeng (anak) langsung bangkit dari kursi terdakwa. Sumiasih, 40 tahun, terdakwa pertama, menadahkan tangan sambil komat-kamit entah menyebut apa. Adi Prayitno, 54 tahun, terdakwa II, dan Sugen, 27 tahun, terdakwa III, menangkupkan dua tangannya ke dada, seraya membungkuk memberi hormat pada jaksa, majelis hakim, dan penasihat hukumnya. Juga Sumiasih. Mereka menyatakan pikir-pikir dulu sebelum banding. Lantas, pengunjung pun menyambut, "Huuu ... huuu ...." Seorang pengunjung dari kompleks Dolly yang kenal baik keluarga terpidana berucap, "Enak saja, pikir-pikir. Dulu waktu membunuh ndak pakai pikir-pikir." Di ruang sidang, memang banyak terlihat wajah-wajah "menor" dari kawasan hitam Dolly, tempat Adi Prayitno buka usaha sebagai mucikari. Pengunjung memang membludak sejak persidangan dibuka 12 Desember 1988. Dengan vonis mati atas ibu, ayah, dan anak itu, lengkaplah terpidana pelaku pembumhan keluarga Poerwanto. Sabtu pekan lalu, Ketua Majelis Hakim Achmad Hasan mempidana seumur hidup bagi Nanuk Heru Pramono alias Nano, 24 tahun, anak Adi Prayitno dari istri pertamanya. Daim, 27 tahun, sopir sekaligus orang kepercayaan Adi Prayitno, kena 15 tahun penjara. Sebelumnya, November 1988, Mahkamah Militer Surabaya telah menjatuhkan hukuman mati untuk Adi Saputra, anggota Polsek Kesamben, Jombang, menantu Sumiasih. Tak ada hal baru yang terungkap di balik terbantainya lima orang keluarga Poerwanto. Kecuali soal utang Sumiasih-Adi Prayitno sebesar Rp37 juta pada keluarga marinir yang malang itu. Sedianya, pada 13 Agustus, Adi Prayitno dan istrinya harus melunasi utangnya. Kalau tidak, Poerwanto akan menyita rumahnya dan dua rumah bordil yang dikelola. Rencana jahat pun muncul di benak Sumiasih. Ia berunding dengan suaminya untuk mencari dukun yang bisa menyantet Poerwanto. Jimat yang didapat dari dukun terkenal Mbah Cholil dari Jember rupanya tak mempan. Maka, niat membantai Poerwanto kembali dipatok. Itu terjadi pada 13 Agustus 1988. Rombongan Adi Prayitno mendatangi rumah Poerwanto di kawasan Dukuh Kupang Timur. Sekitar pukul 09.30 mereka tiba. Strategi pun diatur. Dengan alu besi, satu per satu anggota keluarga itu dibantal. Yang duluan disikat adalah Haryo Bismoko, 14 tahun, pelajar kelas I SMA Trimurti, anak kedua Poerwanto. Lalu Sunarsih, istri Poerwanto, dihabisi. Keponakan Sunarsih, Sumiyatun, yang juga tinggal dirumah keluarga Poerwanto, ikut dibabat. Paling mengenaskan nasib Haryo Budi Prasetyo, anak bungsu, yang masih duduk di kelas IV SD. Sepulang sekolah, ia disambut dan dihabisi. Letkol. Poerwanto, sasaran utama, dijagal sepulang dari Primer Koperasi Angkatah Laut (Primkopal) yang dipimpinnya. Mayat 5 korban keluarga Poerwanto dilarikan ke luar kota, dibakar, dan dibuang di jurang di kawasan Songgoriti, Malang. Pembunuhan segera tersingkap. Adi Prayitno ditangkap dan terbongkarlah komplotan keluarga pembunuh itu. Menurut majelis hakim, tak ada unsur yang meringankan pada keluarga Adi Prayitno. Tindakan terdakwa, kata hakim, sadistis, biadab, bengis, dan meresahkan masyarakat. Karena itu, "Terdakwa Sumiasih dan Adi Prayitno tidak tepat kalau diresosialisasikan," tutur Hakim Muri, S.H.Toriq Hadad, Herry Mohammad dan Zed Abidien (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini