SUGENG 27, seorang bapak, sudah berkeliling Jawa mencari ke sembuhan bagi anaknya, Setiaji Nugroho yang berumur lima tahun. Anak kebanggaannya itu, yang di masa kecilnya tampak cerdas, kami hampir total kehilangan kesadarannya. Tak lagi mampu mengenali orangtuanya, Aji (panggilan akrab Setiaji Nugroho) cuma bisa tertawa kecil dengan mulut mencong pada setiap orang yang berbuat baik padanya - misalnya bila menyuapkan makanan. Pekan lalu, Sugeng dari Surabaya, tempat tinggalnya, datang ke Jakarta, menghadiri slmposlum "Penanganan Terpadu Disfungsi Otak" yang diselenggarakan Yayasan Siantikara di Rumah Sakit Yayasan Harapan Kita. Simposium yang diselenggarakan cuma sehari itu - 3 November - memang terbuka bagi para orangtua seperti Sugeng. Dari sekitar 200 peserta, orangtua yang mencari informasi perihal kemunduran mental anak-anak mereka termasuk bagian terbesar. Pada pertemuan itu, Sugeng bertutur pada Adyan Soeseno dari TEMPO. Aji, katanya, normal ketika lahir. Berat badannya ketika lahir termasuk cukup, yaitu 3 kllogram. Aii juga tumbuh sehat, dan tampak cerdas. Pada usia 1,5 tahun, sudah bisa naik sepeda kecil, dan memanggil tukang bakso. Cukup mengagumkan, "Ia dapat membedakan suara motor orangtuanya dan suara motor lain," kisah Sugeng Pada usia inl pula, Aji sudah mampu berbicara. Dengan kalimat tersusun baik, misalnya minta bakso pada neneknya. Lalu datanglah musibah. Menjelang usia dua tahun, Aji terserang demam. Suhu badannya memuncak, dan tubuhnya kejang-kejang. "Hingga tidak sadar sekitar satu jam," tutur Sugeng dengan wajah sedih. Menurut dokter, Aji kena stuip - kejang-kejang yang kadang-kadang mengikuti naiknya suhu badan, pada anak kecil. Dokter berikhtiar menurunkan panas Aji, tapi suhu tinggi memagut cukup lama. Malam harinya, Aji berteriak-teriak, seperti mengigau. Ketika sembuh, Aji berubah. "la tidak dapat bicara, menangis, atau duduk,"kata Sugeng. Dan dengan sedih bapak muda itu harus menerima keterangan dokter, otak Aji terganggu dan tak dapat menjalankan fungsinya. Inilah yang dikenal sebagai disfungsi otak, khususnya post encelophaty, yaitu retardasi mental dan intelektual yang akan menetap sampai dewasa. Dr. Soeharto Heerdjan, psikiater yang membawakan makalah "Disfungsi Otak (DO) dan Penanganannya" pada simposium itu, menuturkan bahwa DO merupakan istilah bagi problematik peri laku dan penyesuaian diri. Dengan kata lain, DO misalnya menunjuk kurangnya kemampuan memusatkan perhatian atau kurangnya reaksi (impulsivitas) dibandingkan dengan standar rata-rata umpamanya tldak sesual dengan usianya. Jadi, DO adalah, "Istilah yang tidak menunjuk kategori dalam klasifikasi medis," ujar Soeharto. Memang DO bisa meliputi banyak sekali diagnosa medis. Misalnya cerebal palsy (kelumpuhan otak), kerusakan neurologis atau saraf, dan epilepsi (ayan). Tegasnya, kelainan otak itu tidak sejalan dengan kasus penyakitnya. Apakah disebabkan karena keturunan, memperhitungkan tingkat kecerdasan, atau bagaimana susunan saraf terganggu. Karena itu, DO tidak cuma berlaku bagi anak-anak idiot saja. Terdapat banyak anak yang normal, bahkan memiliki tingkat kecerdasan (IQ) tinggi, karena suatu sebab mengalami DO, atau otaknya tidak berfungsi secara normal. Memasalahkan DO, menurut Soeharto, adalah memasalahkan pendidikan dan rehabilitasi. Dan ini meliputi berbagai bidang kedokteran dan pendidikan - dari neurologi sampai psikologi. Sebuah usaha besar yang barangkali sangat penting. Yang mengejutkan, DO di Indonesia boleh dikatakan hampir tak diperhatikan. Data statistik, barangkali karena tak ada kasus yang dilaporkan, tercatat: 0 (nol). Soeharto Heerdjan tentunya tak percaya pada angka itu. Ia menunjuk, di Amerika Serikat saja terdapat 8,4 juta anak terkena DO - 15% dari anak usia sekolah. "Di Indonesia, mestinya lebih dari itu," kata Soeharto. Ia menunjuk tiga faktor bagi perkiraannya: kecelakaan, kelahiran prematur dengan kepala besar (bidrocepbals), dan penyakit infeksi. Angka untuk tiga faktor itu yang bisa menyebabkan DO ini termasuk tinggi di Indonesia - pasti lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Pendidikan memang tak menjamin penyembuhan, yang disebutkan Soeharto "praktis tidak mungkin". "Karena jaringan otak tidak punya daya regenerasi," katanya. Tapi, menurut Soeharto, jaringan otak, yang mengandung bermilyar sel otak, masih membuahkan kemungkinan. Sel-sel yang masih utuh bisa dlpaksa mengoper tugas sel yang sudah tak berfungsi. Pemulihan fungsi ini, meskipun tidak 100%, bisa menunjukkan perbaikan. Usaha ini memerlukan kesabaran dan pengertian, di samping obat-obatan. Peserta simposium, Psikolog Drs. Ardissa, mengemukakan pentingnya terapi sosial dalam menangani penderita DO. "Usaha rehabilitasi hendaknya ditekankan pada pemecahan masalah-masalah individual," katanya. Terapi ini tidak cuma menyangkut penderita, tapi juga orang tua, dan kelompok kecil di sekitar penderita - misalnya guru dan kawan. Artinya, lingkungan yang negatif bisa membuat penderita DO jadi seperti sakit jiwa. Anna, 20, misalnya. Ia mengalami DO sejak berusia 8 bulan, dan kian lama kian berat. "Dokter bilang epilepsi," ujar Nyonya Sulaiman, ibunya. Sebenarnya, sudah sejak mulai sekolah Anna tampak tidak mampu, tutur ibunya. Namun, lingkungan memaksanya sekolah terus, dan Anna memang bisa menyelesaikan SKKP. Akibatnya, makin lama Anna makin menutup diri, dan akhirnya tak bersedia sekolah lagi. Yang menyedihkan, cerita Nyonya Sulaiman, kini Anna menutup diri, bahkan kepada orangtua dan saudara-saudaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini