AKHIRNYA, hak karyawan pers kian jelas. Peraturan pelaksanaan SIUPP (Surat Izin usaLa Penerbitan Pers) yang mengharuskan perusahaan pers memberikan saham, minimum 20%, kepada semua karyawannya dikeluarkan pemerintah, pekan lampau. Itu berarti, lebih dari 12.000 karyawan pers Indonesia akan turut jadi "pemilik" perusahaan tempat dia bekerja. "Dengan memiliki saham, tanggung jawab karyawan akan berlipat ganda," ujar H. Fauzi Lubis, pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian Mimbar Umum, Medan, menyambut pelaksanaan SIUPP tersebut. Ketentuan ini, menurut bujangan berusia 28 tahun itu, akan merangsang kerja karyawan. Terbit sejak 1947, Mimbar Umum, yang kini beroplah 20.000 eksemplar, kata Fauzi memberikan gaji minimal Rp 90.000 per bulan. Karyawan yang bekerja di koran ini 100 orang. Karyawan pers Indonesia, yang bekerja pada 244 perusahaan pers yang menyelenggarakan publikasi berdasarkan SIT (Surat Izin Terbit), menurut catatan Departemen Penerangan pada 1983, berjumlah 12.273 orang. Dari jumlah itu hanya 2.726 orang yang bekerja sebagai wartawan. Sisanya, pegawai pemasaran, bagian iklan, tata muka, dan tata usaha. Para pemegang SIT itu diharuskan mengganti izin penerbitannya dengan SIUPP yang diberlakukan sejak 31 Oktober. Untuk mendapatkan SIUPP itu, penerbit yang sudah berjalan terlebih dulu harus menyesuaikan bentuk usaha dan susunan pengasuhnya seperti tuntutan SIUPP dalam waktu enam bulan. Selama proses penyesuaian berjalan, perusahaan dapat menyelenggarakan penerbitannya berdasarkan izin yang lama. Beberapa perusahaan tampaknya harus memulai penyesuaian itu dengan mengubah bentuk badan hukumnya. SIUPP hanya mengakui PT (perseroan terbatas), yayasan, koperasi, dan BUMN (badan usaha milik negara) sebagai badan hukum yang diizinkan menyelenggarakan penerbitan. Dari 244 perusahaan yang kini berjalan masih ada satu yang berbentuk Naamloze Vennootschap (NV), dua firma (Fa), lima instansi pemerintah, dan 14 Commanditaire Vennootschap (CV). Selain itu, di antara 60 perusahaan yang berbentuk PT, masih ada yang berupa perusahaan keluarga. "Bentuk perusahaan di luar yang ditetapkan harus dirombak untuk mendapatkan SIUPP," kata Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Deppen Sukarno, S.H. kepada TEMPO, Senin pekan ini. Dia menambahkan, soal yayasan cukup lama diperdebatkan dalam sidang-sidang Dewan Pers yang menyusun peraturan pelaksanaan SIUPP. Ada yang berpendapat, yayasan tak dapat dipandang sebagai badan hukum. Tapi ada juga yang mengatakan sebaliknya. "Setelah dipertimbangkan masak-masak," ujar Sukarno, "yayasan akhirnya dipandang sebagai badan hukum yang boleh menyelenggarakan penerbitan komersial." Di antara perusahaan penerbit pers sekarang tercatat 160 buah yang berbentuk yayasan - termasuk beberapa penerbit besar di Jakarta. Surat kabar Kompas, misalnya, yang kini beroplah lebih dari 400.000 eksemplar, diterbitkan oleh Yayasan Bentara Rakyat. "Karena yayasan itu bersifat komersial, mereka membayar pajak," kata Sukarno. Bagaimana reaksi penerbit yang bersifat perusahaan keluarga? Semua sepakat akan melakukan penataan kembali. Salah satu di antara perusahaan keluarga itu ialah PT Suara Merdeka Press, yang didirikan oleh H. Hetami dan menerbitkan harian Suara Merdeka, Semarang, sejak Februari 1950. Minggu lalu, Budi Santoso, 35, yang kini menjadi pemimpin umum Suara Merdeka, menyatakan akan menerapkan segenap ketentuan SIUPP itu. Bagi Budi Santoso, menantu Hetami, hal itu tidak jadi masalah. Selama ini ia sudah meningkatkan kesejahteraan karyawannya meski tidak lewat pemilikan saham. Ia, pertengahan Mei lalu, pernah mengemukakan caranya sendiri. Suara Merdeka, yang kini beroplah 150.000 eksemplar, katanya, memberikan 18 bulan gaji kepada karyawannya dalam setahun. Selain itu ada dana pensiun, kredit kendaraan bagi karyawan, serta tunjangan-tunjangan lainnya. "Tentang pemilikan saham oleh karyawan, sedang dipikirkan teknis pelaksanaannya," kata Budi Santoso. SIUPP memang memberikan kebebasan kepada setiap perusahaan untuk merumuskan secara terperinci soal pemilikan saham dan pembagian keuntungan buat karyawan. Dalam porsi 20%, ketentuan minimum buat karyawan sesuai dengan SIUPP, juga turut serta pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan pemimpin usaha. Ini perlu, kata Sukarno, karena mereka tak selalu jadi pemilik perusahaan. Tapi bila si karyawan itu keluarhaknya atas saham hilang. Selain untuk memperbaiki kesejahteraan karyawan pers, SIUPP, yang dikeluarkan pertengahan 1982 itu, juga bertujuan menciptakan pemerataan informasi, memperluas sumber pembimbing pendapat umum, dan mellndungi pers nasional. Satu perusahaan diizinkan mendapat dua SIUPP asalkan sifat penerbitannya berbeda. Pemegang SIUPP tidak dibenarkan mengalihkan hak dan tanggung jawab pengelolaan usaha penerbitannya kepada pihak lain. Perusahaan penerbit juga dilarang menerima dan memberikan bantuan modal dalam hentuk apa pun, yang mungkin mengakibatkan perusahaan bersangkutan pindah tangan. Ini, kata Sukarno, untuk mencegah "terbelinya" penerbit lemah oleh penerbit bermodal kuat. Tapi penerbit modal lemah sementara itu menghadapi persoalan juga. Ketentuan SIUPP yang mengharuskan perusahaan menyediakan biaya penerbitan secara teratur sekurang-kurangnya untuk satu tahun - dengan bukti jaminan bank - boleh jadi bukan masalah mudah bagi penerbit kecil. Karena itu, peraturan baru ini memberikan peluang kepada Menteri Penerangan untuk menetapkan kebijaksanaan lain di luar ketentuan itu. Bagaimana dengan merger ? "Jika ada rencana seperti itu," ujar Sukarno, "harus diputuskan dalam waktu enam bulan mendatang." Sambutan kalangan pers terhadap SIUPP cukup hangat. Ketentuan ini, kata Agil H. Ali, pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian Memorandum, Surabaya, membuat penerbit tidak bisa "bermain-main" lagi. "SIUPP memberikan kepastian bagi masa depan karyawan pers," katanya. Lukman Umar, pemimpin umum majalah wanita, Sartnah, Jakarta, beberapa waktu lalu juga menyatakan menyambut baik lahirnya SIUPP. Kata Lukman, "Keikutsertaan wartawan dalam pemilikan saham akan membuat mereka lebih bersungguh-sungguh dan lebih bertanggung jawab." Hal yang sama juga dikatakan Widminarko, 42, redaktur pelaksana harian Bali Post, Denpasar. Pemilikan saham oleh karyawan, untuk beberapa penerbit, bukan lagi hal baru. PT Pikiran Rakyat Bandung, yang menerbitkan harian Pikiran Rakyat, sebelum ini sudah memberikan 50% sahamnya kepada para karyawannya. Pemimpin redaksi PR, Atang Ruswita, beberapa waktu lalu menyebutkan, setelah seorang karyawan - baik wartawan maupun nonwartawan - bekerja lima tahun, dia berhak atas satu saham. Jika dia mencapai masa kerja 10 tahun diberikan satu saham lagi. B.M. Diah, pemilik PT Merdeka Press, yang menerbitkan harian Merdeka, Jakarta, juga menyatakan bahwa perusahaannya sudah melaksanakan ketentuan yang kini diharuskan SIUPP. Karyawannya, yang berjumlah 300 orang, bergabung dalam satu koperasi. Koperasi inilah, kata ketua Dewan Pers itu, yang memegang 20% saham PT Merdeka Press. Mungkinkah organisasi karyawan suatu perusahaan, untuk memperjuangkan kepentingan mereka, misalnya, membentuk serikat sekerja dengan karyawan di perusahaan lain? Jika bersifat sebagai penyusunan kekuatan, kata Sukarno, tentunya tak sesuai dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan Indonesia. Artinya, tidak diinginkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini