Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di usianya yang ke-53, Laksamana Muda Moekhlas Sidik mendadak menjadi muda kembali. ”Saya jadi lebih macho. Sekarang- neneknenek pun tertarik,” ujar Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat itu, melempar canda sambil tergelak. Tawanya kerap terdengar sepanjang wawancara.
Penyebab rasa gembira dan percaya diri petinggi Angkatan Laut itu adalah mahkota di kepalanya. Kini di bagian depan kepalanya, yang semula botak, telah bersemi rambut sepanjang tiga sentimeter. Ini rambut asli, bukan rambut yang ditanam.
Perlu 23 tahun bagi Moekhlas untuk menanti rambut ini. Entah apa sebabnya rambut di bagian depan kepalanya mulai rontok saat ia berusia 30 tahun dan masih berpangkat kapten. Akhirnya, terbentuklah lingkaran licin di bagian depan kepalanya.
Berbagai upaya pengobatan sudah ia lakukan, tapi tak kunjung membawa hasil. Sampai akhirnya ia bertemu de-ngan Mayor (Kes) Iwan Trihapsoro, dokter spesialis kulit dan kelamin Rumah Sakit TNI Angkatan Udara Dr Esnawan Antariksa, Jakarta.
Lewat terapi dengan kombinasi obat, suntik, sampo, tonik, dan vitamin yang diberikan Dr Iwan selama lima bulan, perubahan di kepalanya mulai terasa-. ”Ini benar-benar anugerah,” kata Moekhlas.
Kebahagiaan serupa dialami Andrew, sebut saja begitu, pejabat tinggi di Badan Perbekalan Markas Besar TNI, dan Andreas, kembaran Andrew, yang bekerja di Departemen Keuangan. Rambut di kepala Andrew, kini 55 tahun, sempat habis akibat rontok dan kepalanya plontos sejak 26 tahun silam. Saat itu pangkatnya masih kapten.
Setelah setahun ditangani Iwan, kini rambut jenderal berbintang satu itu sudah tumbuh lebih dari lima sentimeter. Adapun kepala Andreas yang diterapi- selama tujuh bulan telah ditumbuhi rambut sepanjang tiga sentimeter. ”Saya jadi lebih percaya diri,” kata Andrew berseri-seri.
Kerontokan rambut yang menimbul-kan kebotakan, menurut Dokter- Iwan-, penyebabnya beragam. Namun, pe-nye-bab- terbanyak yang ia temui adalah masalah hormon androgen. Jumlahnya mencapai sekitar 95 persen dari seratus-an pasien yang datang padanya setiap pekan.
Hormon androgen punya fungsi untuk- tanda kelamin sekunder dengan melebatkan rambut, baik alis, kumis, je-ng-got, rambut dada maupun ketiak. Namun, di daerah kepala atas, hormon ini berefek sebaliknya, yakni menghambat pertumbuhan rambut.
Buntutnya, rambut menjadi kurus, kecil, lalu lepas dari kulit kepala, dan tidak ada pengganti. Soalnya, calon penggantinya juga ditekan sang hormon. Hasilnya, timbullah kebotakan. Jika sampai parah, si empunya kepala acap kali disebut memakai ”Mahkota Hippocrates”, tabib botak dari Yunani yang dikenal sebagai bapak ilmu kedokteran.
Setelah mengetahui penyebab kebotakan, Iwan memberikan terapi kombinasi. Bentuknya berupa racikan sampo yang didesain khusus untuk rambut rusak, vitamin, tonik, obat penumbuh rambut, dan suntikan immuno suppressant (penghambat proses peradangan).
Semua racikan yang umumnya berba-han herbal itu dibuat oleh Iwan sendi-ri. Hingga saat ini ia masih menunggu pengurusan hak paten racikan tersebut. Resep racikan diperolehnya saat me-nempuh spesialis kulit di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hasil studi tersebut ia gabung dengan rujukan dari berbagai literatur, termasuk hasil kongres dokter kulit dunia di Paris pada 2000. Kongres ini banyak mengupas berbagai temuan, termasuk masalah rambut.
Untuk menumbuhkan mahkota kepala ini, harga satu paket terapi awal sekitar Rp 550 ribu. Setelah itu, pasien tinggal membeli komponen pengobatan yang habis, misalnya obat, sampo, atau tonik yang berharga puluhan hingga ratus-an ribu. Pengobatan maksimal dilakukan selama setahun.
Tarif itu jelas jauh lebih murah ke-timbang teknologi cangkok rambut (micrograft laser technology) yang berkembang di sejumlah kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. Biaya teknik ini bisa mencapai belasan, bahkan puluhan juta rupiah.
Kepiawaian Iwan tersebar dari mulut ke mulut setelah berhasil menangani keluhan rambut yang dialami sejumlah yuniornya sejak ia berpraktek di Rumah Sakit TNI-AU pada 2003. Kini pasiennya tak hanya dari kalangan yunior, teman seangkatan, atau masyarakat umum, tapi juga para seniornya di ketentaraan. ”Dia tak hanya memegang kepala para petinggi itu, tapi juga menyuntiknya,” kata Kolonel (Kes) Dr Bambang Y., Kepala Rumah Sakit TNI-AU, bergurau.
Iwan mengklaim 95 persen pasiennya dapat disembuhkan. Kalaupun ada yang gagal, hal itu terkait dengan pekerjaan si pasien sebagai tentara yang mesti berpindah tempat dan putus obat. ”Jika rajin berkunjung, kemungkinan besar akan berhasil,” katanya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo