Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKSUD hati menggenjot pro-duksi, apa daya kemampuan tak sampai. Begitulah situasi pa-brik-pabrik sepatu di Jawa Ti-mur, seperti yang terdengar oleh Imam Utomo, gubernur provinsi itu. Adalah Asosiasi Persepatuan Indone-sia (Aprisindo) yang menyampaikan kabar muram itu, akhir Mei lalu, yang intinya: Jawa Timur kekurangan tenaga kerja terampil menjahit sepatu dan sandal.
Imam langsung khawatir, ihwal ini bi-sa mempengaruhi investasi yang telah dibenamkan delapan investor sepatu asal Cina, Taiwan, Korea, dan Vietnam. Apalagi, dalam tiga bulan terakhir, produsen sepatu itu sudah memindahkan pa-briknya ke Sidoarjo, Pasuruan, dan Gre-sik. ”Mereka bekerja sama dengan perusahaan sepatu lokal,” kata Ketua Aprisindo, Eddy Widjanarko.
Dengan nilai investasi US$ 80 juta, mereka diharapkan bisa menambah mo-dal kerja dan kapasitas produksi hingga 500 ribu pasang sepatu per bulan. Itu sebabnya, kata Eddy, pabrik lokal di Jawa Timur membutuhkan 4.000 hingga 6.000 buruh baru yang terampil menjahit se-patu. Dengan jumlah itu, barulah terpenuhi kebutuhan investor asing, yang biasa mendapat pesanan dari prinsipal sepatu dunia seperti Adidas, Lacoste, Lotto, Puma, dan Timberland.
Tak mengherankan bila beberapa pa-brik di Sidoarjo gencar membuka lowongan. Di gerbang PT Golden Foot-wear In-dotama (GFI), misalnya, terbentang span-duk dan poster: dibutuhkan tenaga jahit untuk sandal dan sepatu. Hal serupa dilakukan PT Fortune Mate Industri Tbk dengan menaruh papah putih di gerbang pabrik. Tapi, ”undangan” itu tak serta-merta mendapat sambutan hangat.
Edi Indarto, Kepala Bagian Persona-lia dan Sumber Daya Manusia PT GFI, mengatakan selama enam bulan perusahaannya baru mendapat 45 peker-ja baru dari 105 yang dibutuhkan. ”Te-naga jahit sangat langka,” katanya. Sa-king langka-nya, bekal pengala-man tak menjadi syarat utama bagi pela-mar. ”S-yukur-syukur kalau ada yang ber-pengalaman atau pernah kursus dasar men-jahit,” kata Indarto.
Soalnya, semua pabrik sepatu di Si-doarjo kini bersaing keras mendapat-kan tenaga kerja baru. Padahal, tak sedi-kit pelamar yang belum pernah bersen-tuh-an dengan mesin jahit. Karena itu, Se-la-sa pekan lalu, Imam Utomo meme-rintahkan Dinas Tenaga Kerja, bersama Dinas Perindustrian dan Perdagang-an Jawa Timur, membuka pelatihan men-jahit sepatu secara massal. Pelatihan akan dilakukan bergelombang hingga ti-ga bulan ke depan. Setiap calon karya-wan dilatih selama dua minggu.
Langkah itu diambil Imam dalam mengantisipasi investor Cina yang mungkin terus berdatangan. Apalagi, per 1 April lalu, sepatu asal Cina—bersama Vietnam, India, dan Ekuador—terkena bea masuk antidumping hingga 20 per-sen bila masuk ke pasar Eropa. Kabar itu sudah menggelinding sejak tahun lalu. Akibatnya, banyak merek sepatu du-nia menunda bahkan membatalkan pesanan dari pabrik-pabrik di Cina. Ini yang membuat banyak pabrik sepatu di Cina terkapar.
Sejak awal 2006, sudah seperempat dari 4.000 pabrik sepatu di Wenzhou gulung tikar. Di Jianzhou, kata Eddy, 1.500 pabrik sepatu bangkrut. Padahal selama ini sepatu Cina menguasai 72,08 persen pasar Eropa, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya 6 persen. Pangsa pa-sar sepatu Indonesia juga masih kalah ke-timbang Vietnam, yang merambah 13 persen pasar Eropa.
Itu sebabnya banyak produsen sepa-tu di Cina ingin memindahkan pabrik-nya. ”Ada sekitar seribu pabrik yang akan direlokasi,” kata Eddy. Untuk merelokasi pabrik, para pengusaha itu mendapat pinjaman dari pemerintah Cina, de-ngan bunga 4 persen per tahun. Beberapa ne-gara tujuan relokasi sudah dibidik oleh pengusaha Cina, antara lain Indonesia. Kebetulan sepatu asal Indonesia- mendapat keringanan bea masuk di pa-sar Eropa, dari 17 persen menjadi 13,6 persen.
Kesempatan ini tak disia-siakan Aprisin-do untuk menjaring lebih banyak pengusaha sepatu Cina. ”Kami berharap mereka mau merelokasi pabriknya atau bekerja sama dengan perusahaan sepatu di sini,” kata Eddy. Aprisindo pun sudah berkunjung ke sentra penghasil sepatu di negeri Tirai Bambu itu, April lalu. Hasilnya, sekitar 20 pengusaha yang ter-gabung dalam asosiasi sepatu dari Guang-zhou, Jianzhou, dan Wenzhou, akan ke Indonesia pada Juli mendatang.
Kunjungan balasan ke tiga kota itu akan dilakukan para pengusaha sepatu Indonesia pada bulan berikutnya, dilanjutkan de-ngan kun-jungan ke Shang-hai pa-da Sep-tember. Dengan cara ini, Eddy berharap mengga-et 50 pabrikan sepatu asal Cina hing-ga akhir 2006. Ia memper-kirakan bakal ada dana US$ 150 juta yang bisa ditanam di Indonesia bila me-reka jadi merelokasi pabriknya.
Bagi Nugraha Sukmawidjaya, Direk-tur- Industri Aneka Departemen Perindustrian, kebijakan antidumping yang di-terapkan terhadap Cina dan Vietnam membuka peluang Indonesia mengisi pangsa pasar sepatu Eropa. ”Inilah saat-nya mendorong kembali industri sepatu dalam negeri,” katanya.
Selama ini, ekspor sepatu Indonesia- memang mentok. Tujuh tahun lalu, ni-lai- ekspor Indone-sia mencapai US$ 1,6 miliar. Tapi, pada 2002, nilainya anjlok menjadi US$ 1,15 miliar. Baru pada 2005 lalu, nilai ekspor mulai merangkak ke US$ 1,5 miliar.
Setelah 1999, banyak prinsipal sepatu merek dunia menghentikan pesanan dan mengalihkannya ke Cina dan Vietnam. Akibatnya, ada 29 perusahaan mati suri: mesin utuh dan masih bisa beroperasi, tapi produksi berhenti. Kini Nugraha ber-harap, perusahaan yang mati suri itu bisa dihidupkan kembali. ”Caranya, ya dikawinkan dengan perusahaan Cina yang ingin pindah ke sini,” katanya.
Bila itu terjadi, nilai ekspor sepatu- pa-da tahun ini, yang diproyeksikan peme-rintah US$ 1,8 miliar, akan tercapai.- Bah-kan pada 2008 Menteri Perdagang-an Mari Pangestu menargetkan, nilai eks-por menembus US$ 4 miliar. Semudah itukah di lapangan? Bagaimana de-ngan ketersediaan bahan baku kulit yang juga terbatas?
Pada 2004, pasok-an kulit olahan da-lam nege-ri hanya 37.000 ton. Padahal, yang di-butuhkan saat itu 93.600 ton. Ke-ku-rangan itu akhirnya ditutupi dengan meng-impor bahan baku kulit. Persoalan baru muncul ketika kulit olahan yang diimpor masuk karantina. Masa karanti-na yang terlalu lama membuat proses pe-motongan kulit terhambat. Itu sebabnya- Aprisindo meminta masa karantina ha-nya satu minggu—lebih cepat dari bia-sanya tiga minggu.
Hal lain yang mes-ti dicermati- ialah cara peng-usaha Cina men-da-patkan dokumen surat keterangan asal barang. So-alnya, pengalihan barang dari suatu nega-ra ke negara lain melalui pihak ketiga (transshipment) bisa terjadi tanpa- perlu- bongkar muat antarkapal, tapi bi-sa de-ngan memalsukan surat keterang-an asal.
Mengenai soal yang satu ini, sumber- Tempo mengatakan, ada pengusaha Ci-na yang hanya ingin mendapatkan surat keterangan asal dari Indonesia. Tapi b-arang yang dikirim ke Eropa tetap dari Cina. ”Niat itu sempat terucap dari mulut pengusaha di Shenzen,” kata sumber tersebut. ”Tapi kita menolaknya, karena itu tindakan kriminal.”
Tapi, ”Itu hanya salah paham,” kata Eddy. Menurut dia, persoalan itu bermula ketika pengusaha Cina mena-nya-kan biaya mengurus surat keterangan asal, tapi disalahartikan seolah-olah peng-usaha Cina mau membayar orang Indonesia untuk mendapatkan surat ke-te-rangan itu.
Yandhrie Arvian, Sunudyantoro (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo