Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tameng Pelindung Rahim

Vaksin kanker leher rahim ditemukan. Mampu mendongkrak tingkat kekebalan tubuh.

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tamu bulanan itu membuat Lily Darwina cu-kup kerepotan. Selain alir-annya deras, darah- haid itu lebih sering da-tang dari biasa-nya. Dalam se-bulan, misalnya, hanya mengalami masa jeda sepekan.- Se-lebihnya, tiga pekan ber-tu-rutturut dibalut rasa tak nyaman sebagai perempuan dewasa.

Kendati ada yang tak beres dengan mens-truasinya, Lily—saat itu usianya 38 tahun—enggan memeriksakan diri ke dokter. Ia malah menyimpan rapat-rapat kasus perdarahan- yang dialami-nya pada Februa-ri 1998 itu, termasuk juga pada keluarga.

”Saya takut mengetahui apa yang sebe-narnya terjadi,” kata Lily. Ia menga-ku-, sebelumnya ia merasa tak ada gejala dan ke-luhan apa pun. Karena sela-lu mengganggu dan tak lagi ter-tahankan, toh akhirnya ia menyerah dan pemeriksa-an dok-ter pun terpaksa dilakukan.

Hasilnya, ibu satu anak itu dinya-ta-kan positif mengidap kanker leher rahim (serviks) stadium IIb. Keluarga- yang men-dengar berita itu pun mulai cemas. Upaya pengobatan melalui jalur alternatif segera dilakukan, termasuk menenggak jamu herbal. Dan benar, keluhannya menjadi jauh berkurang. Lily yang enggan melakukan tes Pap Smear itu tentu merasa lega.

Oleh sebab terapi alternatif yang di-ra-sa jitu itu, Lily menjadi tak abai men-ja-lani radiasi di rumah sakit—tin-dak-an yang seharusnya dia lakukan. Pe-ngecekan ulang yang dilakukan 2-3 bulan kemudian menunjukkan sel kan-kernya makin meruyak. Stadiumnya meningkat menjadi IVa. Kandung kemihnya kena dan robek. Air seninya sering menetes tanpa terkontrol. Dokter menye-but, penyakit Lily—kini 45 tahun—berhubungan dengan kebiasaannya merokok sejak sekolah menengah atas.

Diagnosis kanker serviks juga pernah menimpa Yuri Sutedja—kini 61 tahun. Selain mengalami keputihan sekitar dua tahun, ibu tiga anak yang sudah menopause itu tiba-tiba mengalami perdarahan pada akhir 2000.

Pemeriksaan medis menunjukkan, Yu-ri mengidap kanker serviks stadium- IIIb, hampir IV. Seperti Lily, sejak dulu, Yuri juga enggan melakukan tes Pap Smear. ”Saya tak mengalami gejala apa-apa. Kalaupun ada keputihan, itu tidak mengganggu,” kata warga Cinere, Jakarta Selatan, ini beralasan.

Derita akibat kanker leher rahim se-per-ti dialami Lily dan Yuri sebentar la-gi agaknya bisa diredam. Kabar baik itu datang dengan ditemukannya vaksin- untuk penyakit ini. Jurnal kesehatan ter-bitan Inggris, The Lancet, awal April me-nyebutkan, vaksin itu diproduksi per-usahaan obat raksasa setempat: GlaxoSmithKline.

Efektivitas ”tameng” rahim bermerek Cervarix itu sudah diuji klinis pada 800-an wanita dan dipantau selama 53 bulan. Responden diambil dari 32 wilayah di berbagai belahan dunia dengan beragam- ras dan etnis. Hasilnya, vaksin- mampu melin-dungi rahim hing-ga 4,5 tahun terhitung sejak digunakan.

Cara kerja vaksin ini adalah men-dongkrak tingkat kekebal-an tubuh untuk- melawan human papilloma virus (HPV) tipe 16 dan 18. Sejumlah sumber- menyebutkan, dua tipe virus ini menyumbang sekitar 70 per-sen terjadinya kanker serviks. Vaksin serupa ternyata juga mam-pu melindungi dari HPV tipe 45 dan 31.

”Ini penemuan yang sangat signifikan dalam pencegahan kanker selama 50 tahun terak-hir,” kata Diane Harper, Direk-tur Gynaecologic Cancer Prevention Research dari Dartmouth Medical School, New Hampshire, Amerika Serikat. Bersama timnya, ia mengawal penemuan vaksin tersebut.

Sebelumnya, Merck, perusa-haan farmasi asal Amerika Se-rikat, juga melansir vaksin- serupa bermerek Gardasil. Se-perti Glaxo, Merck mengklaim efektivitas produknya mencapai 100 persen. Rencananya, Gardasil bakal dilempar ke pasar akhir- tahun ini, sementara Cervarix tahun berikutnya.

”Bagi mereka yang terinfeksi HPV tipe- 16 dan 18, keberadaan vaksin itu a-kan sangat membantu,” kata dr. Bam-bang- Daldiyono, ahli kebidanan-penya-kit- kandungan dari Divisi Kanker- Gi-ne-kologik, Rumah Sakit Kanker Dhar-ma-is, Jakarta. Hal yang sama dialami ba-gi mereka yang terinfeksi HPV tipe 31 dan 45.

Cuma, ia menambahkan, selain ke-empat tipe itu masih ada 11 tipe HPV lain yang bisa memicu kanker leher rahim- dan belum tersentuh vaksin Glaxo dan Merck. Jadi, untuk pasien di Indonesia, ”Sebelum vaksin digunakan, ya, tipe HPV-nya mesti dipastikan dulu,” kata-nya. Sayang, hingga saat ini belum ada penelitian untuk memastikan tipe HPV yang banyak ditemukan di negeri ini. Faktor dana menjadi alasan utama.

Kanker leher rahim merupakan salah satu jenis kanker yang paling sering dialami wanita dan menjadi masalah kesehatan global. Secara medis, kanker ini disebut neoplasia intraepitel serviks. Penyakit ini muncul karena sel dinding (epitel) rahim berkembang tidak normal. Penyebab utamanya adalah HPV yang umumnya ditularkan lewat hubungan sek-sual dan masuk ke sel tubuh lewat perlukaan yang terjadi di leher rahim. Kanker ini biasa menyerang wanita berusia 40-55 tahun.

Setiap tahun, menurut International Agency for Research on Cancer (IARC), di Lyon, Prancis, diperkirakan 470 ribu kaum Hawa di seluruh dunia didiagnosis mengidap kanker leher rahim. Dari jumlah itu, sebanyak 230 ribu menemui ajal. Kanker ini merupakan pembunuh nomor satu pada kalangan wanita -pengidap kanker di negara-negara berkembang.

Data pemeriksaan histopatologik di Indonesia 1999 menunjukkan, kan-ker ser-viks menduduki peringkat pertama kanker yang diidap penduduk Indo-nesia. Setelah itu, berturut-turut kanker payudara, kelenjar getah bening, kulit, dan kanker rektum. Data yang dimi-li-ki RS Kanker Dharmais 1993–2003 -menyebut 12.396 kasus kanker ditangani, 3.800 di antaranya adalah kanker leher rahim.

Jika HPV merupakan penyebab langsung terjadinya penyakit ini, ada sejumlah faktor risiko yang mesti diwaspadai. Misalnya, melakukan hubungan seksual- usia dini (di bawah 20 tahun), gonta-ganti pasangan, faktor pria (perilaku seksual yang suka berganti pasangan), dan merokok. Perilaku seperti itu membuat imunitas lokal pada rahim menurun sehingga tak kuasa menahan gempuran HPV.

Setelah penyebab dan faktor risiko diketahui, barulah pencegahan bisa dilakukan. Langkah yang bisa diambil, antara lain, menunda hubungan seksual dini, berperilaku monogami, dan tidak merokok. ”Intinya, kita perlu memberikan edukasi supaya wanita jangan terkena kanker ini,” kata Bambang.

Setiap tahun, Bambang menangani sekitar 200 kasus baru. Celakanya, sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) datang sudah dalam stadium lanjut II dan III. Kondisi itu terjadi karena kanker- leher rahim tak menunjukkan gejala-gejala khusus pada stadium awal.

Alasan lain, deteksi dini kanker je-nis ini dengan Pap Smear atau Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) belum ter-sosialisasi dengan baik. Maklum, selain takut ketahu-an—seperti diakui Lily—tes seperti itu juga butuh bia-ya. Pap Smear, misalnya, butuh- uang seratusan ribu. Se-mentara, bagi mereka yang berisiko tinggi, tes ini tak cukup dilakukan sekali, tapi mesti dilakukan secara berkala. Bisa saja tes harus dilakukan setahun sekali.

Secara medis, skrining atau penapisan seperti itu sangat penting untuk mengetahui adanya kelainan di rahim. Jika ada ketidaknormalan, maka diagnosis dan tindakan medis secara dini bisa dilakukan. Malah, jika masih prakanker, terbu-ka peluang untuk sembuh total. Jika dikalkulasi, biaya tes jauh lebih ringan di-banding penanganan saat kanker terjadi yang bisa mencapai 200 kali lipat.

Selain biaya, ada keuntungan lain da-lam penanganan pasien stadium dini (I). Bam-bang menyebut, peluang mere-ka- untuk berdaya tahan hidup hingga lima tahun mencapai 96 persen. Sementara itu, jika pasien datang pada stadium lanjut (IIb-IVb), peluangnya anjlok menjadi 49,7 persen.

Penanganan pasien tergantung kondisi dan stadium kankernya. Bisa saja berupa operasi pengangkatan sel kanker,- radiasi, kemoterapi, kemoradiasi, atau terapi paliatif. Lily dan Yuri menjalani radiasi hingga puluhan kali untuk meng-usir penyakitnya.

Selain itu, pengobatan alternatif dili-rik, yakni jamu herbal. Jamu ini mengandung sejumlah ramuan tanam-an, termasuk benalu teh. Ida Listyarini, peneliti Bioteknologi UGM, Yogyakarta, menyebutkan, be-na-lu mengandung sejumlah zat antikan-ker. Misalnya, flavonoid (menekan pertumbuhan sel kan-ker) dan tannin (mencegah metabolisme karsinogen di dalam tubuh).

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus