Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Raden Ajeng dan Yu Ngasirah

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Suryana Sudrajat

Kartini menikah dengan Djojoadiningrat, yang sudah punya tiga istri dan tujuh anak. Bahkan putri tertua suaminya hanya terpaut delapan tahun dari sang Raden Ajeng itu. Perkawinan yang berlangsung pada 8 November 1903 itu praktis menyudahi perlawan-annya terhadap praktek poligami di masyarakat Jawa. Setelah di-boyong ke Rembang menjadi raden ayu di kabupaten, Kar-tini tidak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami, bahkan juga cita-citanya mengenai pendidikan. Sangat boleh jadi ia sudah- ber-damai- dengan lingkungannya. Ini memang aneh: seorang pemberontak bisa menjadi begitu lentuk.

Padahal, bagi Kartini, poligami adalah aib dan dosa ka-rena memperlakukan wanita sewenang-wenang. Itulah serangan-serangannya terhadap praktek tersebut yang amat tajam dan cenderung emosional. ”Bagaimana saya bi-sa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah dan kemudian, bila bosan pada anak-anaknya, ia dapat membawa perempuan lain ke rumah dan menga-wininya secara sah sesuai dengan hukum Islam?” tulis Kar-tini kepada Stella Zeehandelaar. Menurut dia, meskipun hal itu seribu kali tidak disebut dosa dalam pandang-an Islam, selama-lamanya dia tetap menganggapnya begitu. ”Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain, pesaingnya, dan harus diakuinya- sebagai istrinya yang sah?”

Awalnya adalah Ngasirah. Dia yang melahirkan Kartini pada 21 April 1879. Waktu itu ayah Kartini, Sosroningrat, masih wedana. Tapi ketika diangkat jadi bupati,- ia menikah dengan Raden Ajeng Moerjam, keturunan bangsawan Madura. Moerjam-lah yang kemudian menja-di raden ayu Bupati Jepara, bukan Ngasirah yang telah melahirkan de-lapan anak. Ngasirah, anak kiai yang pedagang kopra dari Desa Mayong, Jepara, tergusur. Dia hanya seorang selir dan tidak berhak tinggal di rumah utama kabupaten. Ia harus memanggil anak-anaknya sendiri ndoro (majikan),- sementara mereka memanggil dirinya yu (panggilan untuk- orang kebanyakan atau kakak perempuan). Bahkan Ngasi-rah masih harus merangkak-rangkak dan membungkuk-bungkuk di depan putra-putrinya sendiri.

Menurut Kardinah, adik Kartini, yang juga dipaksa ka-win dengan seorang patih yang sudah beristri dan punya anak, Kartini tidak malu mengaku ibunya dari rakyat biasa. Tapi yang disebut Kardinah itu meragukan. Sebab, meski tidak malu, Kartini sama sekali bungkam mengenai itu. Misalnya ketika ada yang mencoba menanyakannya. Ia juga tidak pernah menuturkan ihwal ibunya yang tragis itu dalam surat-suratnya. Malahan J.H. Abendanon, yang menerbitkan Door Duisternis tot Licht atawa Habis Gelap Terbitlah Terang, tidak menyebut jelas siapa ibu Kartini, selain tidak mengatakan apa-apa tentang kehidupan rumah tangga Sosroningrat. Persoalan ibu kandung Kartini baru muncul setelah pada 1954 H. Boumen menyebutnya secara eksplisit.

Kritik Kartini kepada Islam yang mendukung poligami- me-mang keras. Ia juga sempat meminta fatwa kepada- Snouck Hurgronje, via Abendanon, tentang hak dan ke-wa-jiban perempuan dan anak perempuan dalam hukum Islam-. Sebulan kemudian dia mendapat jawaban: ”perempu-an- di Jawa dalam soal perkawinan baik-baik saja adanya.” Ia kecewa ”orang besar” itu telah menentang perjuang-annya. ”Masih adakah orang yang dengan tenang menga-takan bahwa ’keadaan mereka baik-baik saja’ kalau mere-ka melihat dan mengetahui semuanya yang telah kami li-hat dan alami?” tulis Kartini kepada Abendanon. Kartini tak tahu bahwa Snouck, yang sewaktu bermukim di Mekah bernama Abdul Ghaffar, bukanlah ”teladan” dalam perkara yang satu ini. Orientalis itu kawin dua kali dengan gadis pribumi yang baru 13 dan 17 tahun, yang tidak diakuinya di depan hukum Belanda. Keturunannya kini bermukim di Bandung.

Kartini sering merasa sendiri dan putus asa soal poliga-mi. ”Saya tidak mau. Mulutku menjerit, hatiku menggema-kan jeritan itu ribuan kali.” Baginya, beristri lebih dari sa-tu itu adalah sebuah kejahatan raksasa dan biang keterpurukan perempuan Jawa. Dan bukan tatanan feodalistik masyarakat Jawa yang jadi biang keterpurukan perempuan yang sebenarnya.

Kartini seperti tidak melihat sistem yang sebenarnya bertanggung jawab dalam menghinakan dan menindas perempuan itu, lebih-lebih perempuan kebanyakan seper-ti Ngasirah, ibunya. Ia punya keterbatasan untuk melihat bahwa poligami bisa tampak begitu menjijikkan justru karena ia menjadi bagian dari poligami, sistem yang Kartini sendiri cukup bahagia menjadi bagiannya. Toh, akhir-nya dia sendiri menikah dengan jenis laki-laki yang tidak dihormatinya itu.

Betulkah hanya karena tidak kuasa melawan? Di Rembang, ia tidak bicara tentang kedudukan wanita, tapi ber-suara lantang dan bagus tentang rakyat yang miskin akibat pajak dan politik candu pemerintah. Ia malahan bangga menceritakan usaha suaminya memberantas candu, yang mendapat tentangan dari seorang anggota -Dewan Hindia yang menyatakan bahwa pemerintah masih- butuh uang. Pada 10 Agustus 1904 ia menulis kepada Ny. Abendanon: ”Tengoklah, jadi bukannya rakyat yang tak mau berhenti mengisap candu, tapi pemerintah. Pahit, tapi benar, kutuk terhadap orang Jawa adalah suatu kekuatan hidup bagi pemerintah.”

Anehnya pula, kepada sahabat-sahabat Belanda-nya ia mengatakan hidupnya bahagia di tengah tiga selir (yang bernasib seperti Ngasirah, ibunya sendiri) dan tujuh anak mereka. Kebahagiaan, kalau benar, yang hanya sebentar- dikecapnya. Ia wafat 17 September 1904, empat hari se-te-lah melahirkan anak laki-laki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus