Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepucuk surat dari Sekretaris- Mah-kamah Agung, Mohamad Rum- Nessa, dikirim ke Sekretaris- Jen-deral Komisi Yudisial, Muzay-yin Mahbub. Surat tertanggal 20 Ma-ret 2006 itu diterima sehari kemudian- vi-a kurir, dan oleh Muzayyin langsung diserahkan kepada Busyro Muqqodas, Ketua Komisi Yudisial.
Isi surat itu singkat saja, yakni Mahka-mah- Agung (MA) memberi tahu Komisi yang antara lain bertugas menetapkan ca-lon hakim agung itu bahwa ada tiga hakim agung yang akan pensiun pada tahun 2006. Mereka sudah memasuki usia 67 tahun. Artinya, sudah pernah diperpanjang masa dinasnya alias tak mungkin diangkat lagi. Hakim agung tersebut adalah Chairani A. Wani, Arbijoto, dan Usman Karim.
Menurut Undang-Undang Komisi Yudisial (UU Nomor 22 Tahun 2004), Komisi harus segera melakukan seleksi calon hakim agung setelah mendapat pembe-ritahuan dari MA. Mereka punya waktu enam bulan untuk tugas itu.
Komisi yang ingin melakukan kocok ulang hakim agung itu—dengan dalih memperbaiki kualitas Mahkamah Agung—merasa pemberitahuan tersebut adalah peluit aba-aba memulai seleksi- hakim agung. Mereka ingin mengisi seluruh kekosongan hakim agung yang ada. Selain tiga orang yang pensiun itu, kursi Hakim Agung Abdul Rahman Saleh juga kosong karena yang bersangkutan menjadi Jaksa Agung. Satu kursi- lagi, milik Sunardi Padang, lowong karena sang hakim meninggal dunia.
Menurut Undang-Undang Mahkamah- A-gung (UU Nomor 5 Tahun 2004), lem-ba-ga kekuasaan kehakiman tertinggi i-tu diizinkan memiliki hingga 60 hakim- a-gung. Tapi selama ini jumlah hakim a-gung hanya 51 orang. Kini bahkan su-sut- menjadi 49 orang. Dengan tungga-k-an- perkara lebih dari 15 ribu kasus, tak e-lok bila jumlah itu tak digenapi. ”Bila semua kursi hakim agung terisi, proses perkara akan lebih cepat,” kata Busyro.
Menurut perhitungan Komisi, meski- surat pemberitahuan Sekretaris MA hanya menyebut tiga nama, mereka harus mengisinya lebih dari jumlah itu. ”Setidaknya kita harus menyeleksi untuk posisi 14 hakim agung,” kata Mustafa Abdullah, anggota Komisi Yudisial- yang menjadi Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Agung.
Tapi otak-atik angka ini masih membuat Komisi ragu. Mereka butuh ”bekal” lebih untuk menyeleksi hakim agung yang berjumlah sedikit lebih banyak ketimbang tim sepak bola itu. Tak ada informasi di posisi keahlian apa hakim agung sebanyak itu diperlukan.
Karena itulah, Komisi kemudian me-ngirim dua surat ke MA, akhir April la-lu. Surat pertama, yang ditandatanga-ni Sekjen Komisi, berisi dua pertanyaan, yakni tentang jumlah perkara yang diselesaikan tahun 2005 dan, kedua, permintaan nama-nama hakim aktif dan ke-ahliannya. ”Kita ingin tahu apakah yang masih diperlukan itu hakim agung agama, tata usaha negara, perdata, atau apa,” kata Busyro.
Surat tersebut disusul surat kedua, yang diteken oleh Ketua Komisi Busyro- Mu-qqodas, yang berisi permintaan audi-en-si dengan Ketua MA membica-rakan peng-isian kekosongan hakim agung yang pensiun, meninggal, atau mendapat ja-batan lain, dan mencukupkan hingga 60 orang. ”Kita ingin ta-nya, berapa sih per-sisnya yang harus- di-isi,” kata advokat -se-ni-or dari -Yogya ini.
Kedua su-rat ini agak-nya belum- di-balas. -Me-nurut- Se-kre-ta-ris MA, Moha-mad Rum- Nessa-, lembaganya-—me-nurut Undang-Undang Komisi Yudisial—hanya berkewajiban memberi tahu hakim yang akan pensiun. ”Kalau ada yang meninggal atau diberi jabatan lain, itu kan rahasia umum. Tidak perlu diberi tahu,” kata pria asal Sulawesi Selatan ini.
”Soal jumlah perkara dan latar bela-kang keahlian hakim, sedang dikumpul-kan-,” kata Rum Nessa. Ia tidak bisa men-ja-wab kapan surat balasan akan di-ki-rim-, karena datanya sedang dikumpul-kan-. ”Tapi prosesnya sudah hampir sele-sa-i,” ka-ta dia. Sementara untuk soal te-mu- mu-ka-, ia mengatakan itu hak Ketu-a MA Ba-gir Manan. ”Suratnya sudah saya terus-kan ke pimpinan,” Rum menambahkan.
Menurut sumber Tempo yang dekat de-ngan petinggi MA, surat Komisi tak dibalas karena ”alergi” pimpinan lembaga peradilan tertinggi tersebut. Sikap ini tak terlepas dari kinerja Komisi yang terus mem-pertanyakan kredibilitas para hakim agung. Kedua lembaga itu kini malah ”berseteru” di Mahkamah Konstitusi. Sejumlah 31 hakim agung ”me-nafsirkan” Komisi tak punya wewenang mengawasi mereka.
Ketua MA Bagir Manan ka-barnya mengeluh atas surat Komisi. ”Kalau hakim agung yang sudah puluhan tahun bekerja- masih ditanya keahliannya, kita harus jawab apa ?” kata sang sumber mengutip omongan Bagir. Bahkan dalam rapat pimpinan MA pekan lalu, soal dua surat Komisi itu tak dibahas.
Karena saling diam itulah, kedua lem-ba-ga hukum ini malah melanggar undang-undang. MA, misalnya, melanggar- ba-tas waktu- pengajuan daftar nama hakim yang ha-rus- diganti. Menurut Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahka-mah- seharusnya mengajukan daftar na-ma tersebut- minimal enam bulan se-belum masa pensiun. Dari tiga na-ma hakim yang diajukan, Chairani A. Wani ternyata akan pensiun bu-lan- Mei depan. ”Memang itu perin-tah- undang-undang. Tapi kalau kita ci-cil, kan susah, tidak efisien,” kata Jo-ko Sarwoko, hakim agung yang ju-ga juru bicara MA, mencoba berdalih. Karena menunggu ”kode” dari MA, Komisi juga terlambat membuka pen-daf-taran. Seharusnya 15 hari setelah su-rat- MA diterima, sudah ada pengumuman di koran. Nyatanya baru pekan ini akan dikorankan. ”Ya, kemarin kan banyak hari liburnya,” kata Mustafa- ber-ki-lah-. Komisi akhir-nya- menetap-kan membuka se-leksi untuk mengisi posisi li-ma hakim agung. ”Tapi bi-sa bertambah bila nanti ada kesepaka-tan- baru dengan MA,” kata pria Palembang ini.
Komisi tampak bersemangat menyi-apkan tim seleksi calon hakim paling ter-hormat tersebut. Mereka melibatkan para pakar hukum, organisasi profesi dokter, dan lembaga psikologi sebuah perguruan tinggi. Karena seleksi hakim a-gung cukup rumit, persiapan itu -bahkan- sudah dilakukan beberapa bu-lan- se-belumnya. Menurut Undang-Undang Ko-misi Yudisial, ada lima tahap yang ha-rus dilakukan dengan jadwal wak-tu ke-tat.
Setelah pengumuman di koran, sela-ma- 15 hari, loket pendaftaran untuk ca-lon- hakim dari internal MA, pemerintah-, dan masyarakat—atau istilahnya jalur ka-rier dan nonkarier—hanya dibuka se-la-ma hari itu pula. Setelah seleksi admi-nis-trasi, para calon yang lulus akan di-u-mum-kan ke khalayak untuk mencari ma-sukan. Kali ini waktunya sebulan. ”Ka-lau perlu, kita akan terjun langsung meng-investigasi calon hakim agung,” kata Mustafa.
Di tahap ini, calon yang lulus menjalani seleksi kualitas dan kepribadian selama sebulan. Mereka diwajibkan membuat makalah sesuai dengan studi kasus yang diberikan. Nama calon lantas diperas untuk diajukan ke DPR. Ada tiga nama untuk setiap satu posisi hakim agung. ”Kita akan ajukan para calon yang memiliki kualitas dan inte-gritas setara,” kata Mustafa.
Jatah waktu DPR cuma satu bulan. Padahal, jika ada 14 kursi hakim agung, berarti ada 42 calon yang harus menjalani uji kelayakan (fit and proper test). Kandidat terpilih lalu dimajukan ke meja presiden untuk disahkan.
Tapi, rupanya, antara Komisi dan Mahkamah terjadi ”salah paham” di lapangan. ”Lho, harusnya Komisi hanya mengisi yang diminta saja. Yang paling tahu kebutuhan hakim kan MA,” kata Joko Sarwoko. Menurut dia, penambah-an jumlah hakim agung tidak diperlukan. ”Jumlah sekarang sudah cukup. Kalau ditambah, kursinya malah kurang,” Joko menjelaskan. Dengan hakim agung yang sekarang saja, jumlah kasasi yang bisa diputus mencapai 14 ribu perkara setahun. Tunggakan perkara bahkan me-nurun drastis hingga tinggal sekitar 8.000 perkara. Tahun depan, kata Joko, tunggakan perkara bakal habis.
Malah, dalam perencanaan MA, jum-lah hakim agung akan dikurangi. ”Ke-lak MA hanya perlu 15 orang hakim agung,” ia menjelaskan. Pengurang-an akan dilakukan sejalan dengan renca-na penyem-purnaan hukum acara. ”Se-ka-rang permohonan kasasi membludak ka-rena tidak ada pembatasan,” kata Jo-ko.
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo