KORBAN cacar yang terakhir jatuh di daerah Jawa Barat bulan
Januari 1972. Tiga dari 34 penderita ketika itu meninggal dunia.
Dua tahun setelah musibah itu tak kedengaran lagi serangan
penyakit yang bisa mematikan atau paling tidak membikin muka
bopengan. Jangka waktu itu sudah cukup menjadi alasan badan
kesehatan dunia (WHO) untuk menerima proklamasi bebas-cacar di
Indonesia tahun 1974.
Peperangan yang dilancarkan terhadap penyakit itu sengit juga.
Bayangkanlah, sampai tahun 1968 masih tercatat 17.280 penderita
di seluruh Indonesia, 10% di antaranya meninggal. Tapi dengan
kerja keras plus dana Rp 800 juta ditambah bantuan WHO setengah
juta dollar untuk 5 tahun, akhirnya virus penyakit tadi kalah
juga.
Minggu lalu pernyataan bebas-cacar itu hampir saja batal, ketika
harian Pelita tanggal 9 Oktober memberitakan meninggalnya 16
orang di Lampung karena serangan wabah cacar. Berita itu tidak
bergema di sini. Namun pada sore harinya seorang staf dari
kantor pusat WHO di Jenewa kontan menelpon dr Ig. Setiadji, yang
mengurus penyakit epidemologi di Departemen Kesehatan.
Di rumahnya, Setiadji cukup mujur ketika menerima telepon itu.
Sebab pada siangnya sudah ada laporan masuk dari daerah yang
diberitakan terkena wabah. "Tidak benar. Yang benar di daerah
Telukbetung, Panjang, Lampung Selatan sedang berjangkit penyakit
muntah-berak dan mengakibatkan kematian. Di samping itu di sana
sedang berjangkit pula penyakit campak yang sering menyerang
anak-anak," jawabnya.
Nasib belasan anak-anak itu tak tertolong karena sarana
lalu-lintas yang parah. Menurut Effendy Sa'at, pembantu TEMPO di
Tanjungkarang, sejak kemerdekaan Kampung Sukarame yang terserang
campak dan muntah-berak itu belum pernah dijangkau sarana
perhubungan darat yang memadai. "Kalau hujan datang jalan menuju
ke kampung itu bagai kubangan," tulisnya dalam laporan. Penduduk
yang penghasilan utamanya palawija dan pisang membawa hasil
cocok tanam itu dengan memikulnya ke Tajungkarang sejauh 5 km
atau berkuda. Kampung yang berpenduduk 3600 jiwa itu sekitar
tahun 1975 memiliki sebuah pos kesehatan, tapi entah mengapa
sekarang petugasnya tak pernah nongol. Penduduk hanya
mengharapkan kunjungan petugas Puskesmas dari Panjang yang
datang 4 bulan sekali. Amboi lamanya!
Penantian
Tentang kematian itu sendiri Kepala Suku Blok III Kampung
Sukarame, Ratim, 35 tahun, asal Banyumas (dia transmigran
dulunya) tegas-tegas mengatakan lingkungan yang kotor sebagai
penyebabnya. Rumah penduduk tak ada yang memiliki jamban. Buang
hajat seenaknya. Hingga kuman muntah-berak gampang menyebar.
Sedangkan bantuan obat-obatan tak kunjung datang.
Soal penyakit campak yang menyerang bersamaan, sebagaimana
dikatakan Wakil Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung
Selatan, Drs Djohan M. Bakri, tidak berbahaya. "Asal dijaga anak
yang terserang jangan kena angin," katanya.
Kematian 16 anak di Desa Sukarame, Kecamatan Telukbetung,
Panjang, itu untung saja, bukan karena cacar sebagaimana
dinyatakan pihak Departemen Kesehatan. Sebab justeru pada bulan
inilah dunia sedang menunggu pernyataan bebas-cacar untuk
seluruh dunia. Karena kasus penyakit yang terakhir ditemukan 26
Oktober 1977 di Somalia, ketika perang sedang bergelora antara
negara itu dengan Ethiopia. Sampai sekarang, sudah dua tahun
persis tak ditemukan lagi kasus penyakit cacar di sana. Di
negara lain pun tidak. Dengan masa penantian yang 2 tahun itu
yang menjadi kriteria WHO, sudah saatnya dunia dinyatakan
bebas-cacar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini