Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA indah: demensia. Tapi "sengatannya" sangat berbahaya: merusak jaringan otak. Akibatnya: pikun. Dan penyembuhannya sungguh mahal. Di Indonesia hanya tersedia satu obat untuk mengatasi kerusakan daya intelektual yang disebabkan rusaknya jaringan otak itu. Obat itu pun, Aricept namanya, berharga Rp 30 ribu-Rp 60 ribu sebutir dan harus ditelan sekali sehariitu pun tak menyembuhkan, hanya mencegah kerusakan lebih parah.
Bukan hanya mahal, demensia juga mengancam nyawa seseorang. Ancaman paling besar adalah datangnya alzheimer, salah satu jenis demensia yang jumlah penderitanya sekitar 60 persen, terbanyak dari jenis itu. Catatan statistik penyakit ini memang tidak ada di Indonesia. Namun, di Amerika Serikat dan Eropa, alzheimer adalah penyebab kematian keempat setelah jantung, kanker, dan stroke. Tak mengherankan bila negara-negara makmur itu melakukan banyak penelitian tentang alzheimer. Menurut penelitian terbaru, demensia ternyata bisa dicegah dengan cara yang mudah dan sederhana: tetap berpikir. Hal itu, seperti ditulis Reuters Health, dibuktikan oleh Dr. C. Edward Coffey dari Henry Ford Health System.
Demensia adalah penyakit yang banyak menyerang orang berusia lanjutmakin tua makin besar kemungkinan terserang demensia. Penyebabnya adalah berubahnya struktur otak karena beberapa kondisi. Ada demensia akibat penurunan kualitas sel otak, rusaknya sistem pembuluh darah (stroke), racun, benturan, dan infeksi. Tapi yang paling sering menyerang adalah alzheimer, dementia lewy bodies (DLB), pick's dementia, dan vascular dementia. Tiga yang pertama terjadi akibat turunnya kualitas sel otak dan yang terakhir diakibatkan oleh rusaknya pembuluh darah.
Pada penderita demensia, terjadi gangguan fungsi intelektualnya, termasuk pula kemampuan mengingat, terutama ingatan jangka pendek. Penderita demensia juga sulit berpikir abstrak, sukar mengolah informasi baru atau mengatasi persoalan. Kepribadian seorang penderita demensia, misalnya respons emosionalnya, juga bisa berubah. Dalam beberapa kasus alzheimer, gejala itu bisa menjadi kronis dan progresif sehingga penderita kehilangan seluruh kemampuan intelektualnya.
Menurut penelitian Coffey, pendidikan bisa menciptakan semacam lapisan penyangga yang melindungi dan mengompensasi perubahan otak. Hal itu dibuktikannya dengan meneliti struktur otak 320 orang berusia 66 tahun sampai 90 tahun yang tak terkena demensia. Yang ditelitinya adalah volume cairan otak yang disebut cerebrospinal fluid (CSF). Coffey menemukan, semakin banyak pendidikan yang dikenyam seseorang, makin besar pula CSF yang dimilikinya. Ia juga membuktikan, orang yang punya umur sama, jenis kelamin dan ukuran tempurung otak sama, ternyata bisa berbeda volume CSF-nya kalau masa sekolahnya berbeda. "Yang bersekolah selama 16 tahun, volume CSF-nya 8-10 persen lebih besar dibandingkan dengan mereka yang cuma empat tahun," kata Coffey.
Ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono, juga sependapat. "Orang-orang yang sudah berusia 90 tahun otaknya bisa masih cemerlang karena dipakai terus. Sebaliknya, orang yang baru berusia 50 tahun, pensiun, menganggur, enggak melakukan apa-apa, dan depresi, otaknya akan menyusut. Itu karena jalur-jalur jaringan sel otaknya enggak terpakai lagi," kata Mahar.
Penjelasannya kurang lebih begini. Sel-sel otak itu saling berhubungan sehingga bila otak sering dipergunakan untuk berpikir, akan terjadi semacam aliran listrik. Makin sering berpikir, hubungan antarsel akan makin banyak. Sebaliknya, jika tidak dipakai berpikir, hubungan antarsel bisa rusak. "Makin banyak kita belajar, hubungan antarsel itu makin rimbun. Makin rimbun, kalau kena demensia alzheimer, relatif akan sedikit yang terkena ketimbang orang yang tidak rimbun selnya. Jadi, masih banyak hubungan antarsel yang masih bisa berlangsung," kata Prof. Dr. Sidiarto Kusumoputro, neurolog FKUI-RSCM.
Penelitian Coffey dengan demikian memperkuat keyakinan para dokter bahwa kemungkinan menderita demensia pada orang yang banyak belajar lebih kecil dibandingkan dengan yang malas belajar dan mandek belajar. Sidiarto bahkan yakin, dengan aktivitas pun demensia bisa dicegah. "Enggak usah dengan pendidikan, yang artinya harus sekolah lagi. Aktivitas pun bisa, misalnya baca-baca buku atau majalah. Kalau sudah pensiun, ya, bekerja di LSM, nonton televisi. Pokoknya, enggak diam saja, leha-leha terus." Nah, ingatlah, semakin banyak leha-leha, itu berarti Anda semakin cepat pikun.
M. Taufiqurohman dan Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo