Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Fikih Gus Dur dan Soeharto

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Mustofa Bisri Pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin Barangkali saking judeknya bahwa Pak Harto, yang diyakini banyak orang sebagai mbahnya korupsi, tak kunjung tersentuh, orang pun lalu neko-neko usulnya. Usulan penyelesaian korupsi sang penguasa tunggal selama 32 tahun itu pun bermunculan. Konon Gus Dur mengusulkan agar penyelesaian korupsi Pak Harto melalui pendekatan fikih saja. Bagi mereka yang terbiasa terlalu serius memperhatikan pernyataan-pernyataan ketua Pengurus Besar NU dan deklarator Partai Kebangkitan Bangsa itu atau mereka yang memang suka kagetan, boleh jadi, usulan itu dianggap aneh. Seperti biasa, mereka pun lalu menanggapi dengan berbagai analisis yang ndakik-ndakik (dari bahasa Arab daqieq?). Seandainya mereka mau agak santai, seperti Gus Dur dan umumnya para pakar politik Ibu Kota, mungkin mereka tidak perlu begitu pusing-pusing menanggapi usulan tokoh yang dicalonkan oleh poros tengah sebagai presiden alternatif itu. Apalagi, Gus Dur itu—seperti mungkin sudah diketahui banyak orang—sense of humor-nya tinggi sekali. Ini yang sering dilupakan orang, apalagi pada saat banyak orang petentengan seperti sekarang ini. Kecuali itu, mestinya orang Indonesia tidak perlu kaget bila mendengar orang berbicara menggunakan istilah-istilah. Istilah-istilah di Indonesia kan bisa berarti apa saja, bergantung pada yang menggunakannya. Istilah fiqh pun sudah mengindonesia dengan ejaan fikih, yang oleh kamus kita diartikan ilmu tentang hukum Islam. Jika yang dimaksud Gus Dur dengan pendekatan fikih itu pendekatan ilmu hukum Islam, lalu apa artinya? Menurut kamus kita, hukum Islam ialah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab Quran (ada yang merinci dan melengkapinya dengan tambahan sunah Nabi, ijmak, dan qiyas). Jadi, hakikatnya sama saja. Artinya, Gus Dur juga menghendaki penyelesaian korupsi Pak Harto didasarkan atas asas keadilan. Sebab, bukankah hukum Islam itu inti dan dasarnya adalah keadilan? Terutama dalam fikih mu'amalah, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan intinya adalah untuk menjaga agar tak ada pihak yang merasa dirugikan. Pelanggar ketentuan dan peraturan fikih dapat menerima hukuman ganda, di dunia dan akhirat. Hukuman di dunia lebih bergantung kepada pihak yang dirugikan, sedangkan hukuman di akhirat tentu saja terserah Tuhan, mau mengampuni si pelanggar atau tidak. Sebab, pelanggaran terhadap peraturan dan ketentuan tersebut ada yang menyangkut haq Adami, berkaitan dengan hak sesama manusia, dan haq Allah, berkaitan dengan hak Allah. Minum khamr, minuman keras, yang dibeli oleh si peminum dengan uangnya sendiri, misalnya, merupakan pelanggaran yang menyangkut hak Allah. Apabila di dunia sudah dihukum sesuai ketentuan Allah, diyakini di akhirat yang bersangkutan sudah bebas dari hukuman. Apabila pelanggaran itu tidak ketahuan, sehingga yang bersangkutan tidak terkena hukuman di dunia, nasibnya terserah Allah, apakah ia akan menghukumnya atau mengampuninya. Ini berbeda, misalnya, dengan melalimi orang lain yang merupakan pelanggaran menyangkut hak manusia. Dalam hal ini, pihak yang dilalimi sangat menentukan. Apabila yang berbuat lalim tidak meminta halal (istihlaal) dan yang dilalimi tidak menghalalkan atau memaafkan, hukuman akan tetap mengancamnya. Nah, seandainya yang dimaksud Gus Dur itu agar rakyat Indonesia yang merasa dilalimi dan dirampas haknya oleh Pak Harto mau memaafkan atau menghalalkan saja, supaya persoalan tinggal antara Pak Harto sendiri dengan Allah, ini kan perlu pengakuan Pak Harto. Jika Pak Harto tidak merasa bersalah, tidak merasa melalimi siapa-siapa, dan karenanya tidak merasa perlu minta maaf atau meminta halal. Lalu, bagaimana? Sebaliknya, jika Pak Harto mengaku bersalah dan menyatakan tobat, dalam aturan fikih ada yang namanya raddul madhaalim. Jika Anda menggasab hak orang lain untuk bebas dari tuntutan hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, Anda tidak cukup hanya meminta maaf. Selain meminta maaf, Anda harus juga mengembalikan yang Anda gasab itu. Atau Anda melukai orang, misalnya, penyelesaiannya tidak sekadar Anda meminta maaf. Ada yang namanya diyat, semacam tebusan luka, yang harus Anda bayar kepada orang yang Anda lukai. Waba'du, terlepas dari persoalan politik, menurut hemat saya, roh atau jiwa peraturan dan ketentuan fikih, hukum Islam, adalah untuk kepentingan manusia terutama di kehidupan abadi kelak. Dalam kaitan ini, saya memahami bahwa hukuman di dunia pun—yang sesaat sifatnya—pada hakikatnya adalah demi kepentingan yang lebih hakiki dan kekal. Dengan pemahaman seperti ini, saya melihat bahwa mereka yang menginginkan agar Pak Harto diadili dan—bila terbukti bersalah—dihukum di dunia ini, pada hakikatnya, jauh lebih menyayangi Pak Harto ketimbang mereka yang membiarkan Pak Harto terkatung-katung dalam hujatan berkepanjangan. Akhirnya, sehubungan kita sudah berbicara soal hukum Islam, kiranya perlu saya kutipkan kembali hadis sahih, muttafaq 'alaih, yang bersumber dari istri Nabi Muhammad saw. sendiri, sayyidah 'Aisyah r.a. Orang-orang Qureisy susah memprihatinkan perkara seorang wanita Makhzumiah, salah satu suku terhormat di Qureisy, yang mencuri. Maka, salah seorang berkata, "Siapa kiranya yang bisa berbicara dengan Rasulullah mengenai dirinya?" Orang-orang menjawab, "Siapa lagi yang berani kecuali Usamah bin Zaid, dia itu kesayangan Rasulullah saw." Maka, Usamah pun berbicara dengan Nabi. Dan Rasulullah saw. kemudian bersabda, "Apakah kamu memintakan syafaat (meminta tolong untuk diberikan dispensasi) dari ketentuan yang sudah digariskan Allah?" Lalu Rasulullah pun berdiri dan berpidato, ia bersabda, "Sesungguhnya yang membuat rusak orang-orang sebelum kalian adalah mereka dulu apabila ada orang terhormat di antara mereka mencuri, mereka biarkan, dan apabila orang lemah yang mencuri, mereka hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." Wallahu a'lam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus