Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku agenda adalah barometer kesibukan Hasjim Djalal, 83 tahun. Nyaris tak ada rumpang di buku skedul miliknya. Tiga tajuk acara yang ditulis tangan-termasuk wawancara dengan Tempo-menyesaki kolom jadwal pada Senin pekan lalu. Dua kegiatan lainnya adalah peluncuran buku Makarim Wibisono, mantan Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Kementerian Luar Negeri, serta rapat di Kementerian Kelautan dan Perikanan-tempat Hasjim menjadi penasihat menteri.
Hasjim, mantan Duta Besar Indonesia di Jerman dan Kanada, seperti bukan orang lanjut usia (lansia) pada umumnya. Ketika orang sebayanya mulai sakit-sakitan atau menghuni panti jompo, dia masih energetik melayani pelbagai undangan, baik di dalam maupun luar negeri. Dua hal saja jadi penanda tubuhnya yang renta: rambut perak dan alat bantu dengar di kuping kanan. "Saya memang sudah ’retire’," katanya Senin pekan lalu. Kemudian ia berseloroh, "Tapi artinya bukan pensiun, melainkan pasang ban baru."
Rupanya, resep awet muda Hasjim ada tiga, yakni membaca, olahraga, dan diskusi. Pagi hari, enam koran dibacanya. Petang menjelang, giliran kanal berita televisi jadi sumber informasi. Ditambah perpaduan antara olahraga jalan kaki dan rutin bertukar ide dalam forum-forum seminar, tubuh doktor lulusan University of Virginia, Amerika Serikat, ini tampak bugar.
Franz Magnis-Suseno, 80 tahun, punya cara lain yang membuat tubuh dan pikirannya tetap segar meski sudah sepuh. Siasat padri Jesuit ini bahkan terbilang canggih untuk ukuran orang seusianya. Dia bergabung dengan beberapa grup WhatsApp dan mailing list. Di forum maya itu, Romo Magnis tekun mengikuti perkembangan berita, juga terlibat aktif dalam diskusi.
Sesekali dia berselancar di dunia maya mencari kiat bugar bagi lansia. Meski begitu, Romo Magnis enggan menyebut Internet sebagai rujukan utama. Dia lebih suka membaca buku sebelum tidur atau di dalam taksi ketika menembus kemacetan Jakarta. Diskusi rutin di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-di sana dia mengajar dua kali sepekan–juga membuatnya tetap merasa muda di tengah mahasiswa. "Saya tak mau berhenti belajar dan mengorek informasi," kata doktor lulusan Universitas Maximilian München, Jerman, ini pada Selasa dua pekan lalu.
Ada persamaan antara Hasjim dan Romo Magnis selain wajah keriput dan uban. Mereka telah melampaui rerata usia harapan hidup penduduk Indonesia, yakni 70,8 tahun. Pun sama-sama pernah mengenyam pendidikan doktor, getol membaca, dan haus informasi. "Pendidikan tinggi, sehat, dan produktif berkarya menentukan angka harapan hidup seseorang," kata Turro Selrits Wongkaren, Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia, awal Maret lalu.
Makin tinggi pendidikan, lansia dinilai makin cakap mencegah penyakit. Alasannya, menurut Turro, mereka punya kemampuan mengakses dan mencerna informasi yang terserak di buku atau Internet, terutama soal advis kesehatan.
Lansia terdidik yang tinggal di kota bahkan punya angka harapan hidup lebih panjang ketimbang yang berdomisili di desa. Kepadatan penduduk di kota memungkinkan penyebaran informasi mengalir lebih cepat. "Penduduk yang terpencar dan literasi yang rendah menghambat akses informasi lansia di desa, khususnya mengenai kesehatan," ujar Turro, doktor lulusan University of Hawaii at Manoa, Amerika Serikat.
Data Kementerian Kesehatan menegaskan penjelasan dalil Turro. Lima daerah dengan angka harapan hidup tertinggi di Indonesia didominasi provinsi yang punya kota metropolitan, yaitu Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Jakarta, dan Jawa Barat. "Daerah urban berhubungan dengan tingkat pendidikan dan literasi penduduk yang tinggi," Turro menjelaskan.
Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia pada 2013 membuat eksperimen tentang kaitan literasi dan perilaku yang bisa memperpanjang angka harapan hidup. Para lansia menjalani serangkaian tes sebelum dan sesudah bergabung dengan lembaga itu. Durasi eksperimennya enam bulan.
Para manusia lanjut usia (manula) ini diminta menjawab ragam pertanyaan, dari kesehatan fisik, mental, hingga antisipasi bila jatuh sakit. Secara simultan, tim riset juga mencekoki anjuran-anjuran kesehatan. Hasilnya, ikhtiar lansia mencegah penyakit fisik dan mental meningkat seiring dengan bertambahnya pengetahuan kesehatan yang diberikan di tengah penelitian. "Bila pengetahuan itu ditransformasikan jadi perilaku hidup sehat, peluang harapan hidupnya bisa naik," kata Tri Budi Rahardjo, Direktur Centre for Ageing Studies.
Korelasi pendidikan dengan angka harapan hidup bisa dijelaskan dengan kacamata medis. Menurut Diatri Nari Lastri, dokter spesialis neurologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, proses belajar yang kian kompleks-sebagaimana tergambar lewat strata pendidikan-membuat semakin banyak neuron yang saling terhubung pada otak. "Koneksi antarneuron menentukan cadangan kognitif seseorang," kata Diatri, Jumat dua pekan lalu.
Cadangan kognitif adalah kecakapan dan keefektifan seseorang mengolah dan menyimpan informasi di otaknya. Orang berpendidikan tinggi, Diatri menjelaskan, hampir pasti menyimpan cadangan kognitif besar, dan berlaku sebaliknya pada mereka yang tak mengenyam pendidikan.
Cadangan kognitif ini menentukan manakala terjadi apoptosis-kematian sel saraf yang terprogram karena faktor umur-pada otak. Berkurangnya jumlah neuron, kata Diatri, mempengaruhi daya ingat dan kemampuan memproses informasi baru. Pada lansia yang punya cadangan kognitif besar, kematian sel saraf di usia senja tak berpengaruh signifikan. "Manula terdidik biasanya cekatan membuat ’jembatan keledai’ untuk menghubungkan daya ingat berbekal cadangan kognitif yang masih tinggi," ujar alumnus Universitas Indonesia itu.
Adapun pada manula berpendidikan rendah, jarang terjadi pelepasan zat neurotransmiter sebagai konsekuensi minimnya asupan pengetahuan. Zat neurotransmiter adalah senyawa yang bertugas menghubungkan sel saraf pada otak. "Pada lansia yang tak berpendidikan cukup, cadangan kognitifnya pasti rendah," Diatri menjelaskan.
Tinggi-rendahnya cadangan kognitif, menurut Diatri, ikut mempengaruhi kondisi psikologis lansia. Meski daya ingat agak menurun, orang-orang sepuh yang masih punya cadangan kognitif relatif baik cenderung tetap energetik dalam beraktivitas. Sebab, mereka merasa tak ada degenerasi tubuh dan kecerdasan yang signifikan dibanding saat masih muda. "Lansia berpendidikan rendah menjurus tak berdaya dan butuh topangan orang lain ketika tahu daya ingatnya menurun drastis," kata Diatri.
Dokter yang bertugas di Poliklinik Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini menjelaskan, lansia yang tetap beraktivitas di usia senja niscaya menikmati kualitas hidup lebih baik. Alasannya, ada garansi gerak fisik-entah sekadar berjalan kaki-yang membuat tubuh tetap fit. Pikiran juga tetap bekerja sembari mengolah informasi baru yang ringan. Hasjim dan Romo Magnis sudah membuktikannya.
Raymundus Rikang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo