Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, langit Berlin tumpah hujan. Sepekan lalu, di kawasan Schonhauser Alle, di pinggir Berlin, ada sebuah pesta besar di dalam ruang sempit restoran Intersoup. Mereka menikmati soto ayam dan berbagai kudapan Indonesia yang aromanya bercampur dengan asap rokok. Ini sesuatu yang langka, karena sudah tak banyak kafe di Eropa yang mengizinkan orang bisa merokok dalam ruangan sesudah Uni Eropa menetapkan larangan merokok di dalam kafe sejak tahun lalu.
Beberapa poster film Indonesia, seperti Laskar Pelangi, Pertaruhan, dan Pintu Terlarang, memenuhi dinding ruangan. Inilah sebuah pesta untuk sinema Indonesia di Berlin dalam rangka Berlinale 2009. Terlihat sutradara Riri Riza, Edwin, Joko Anwar, Ucu Agustin, dan Ani Setyawati serta produser Mira Lesmana, Nia Di Nata, dan Abduh Aziz di antara 21 orang delegasi Indonesia di Berlin tahun ini (jumlah delegasi terbesar yang pernah ada). Tamu yang datang umumnya kenalan lama sineas Indonesia. Ada Gertjan Zuilhof dari Rotterdam Film Festival dan Kenji Ishizaka (Tokyo International Film Festival) serta Jin-Park dan Jongseuk Thomas Nam (Puchon International Fantastic Film Festival). Suasana hangat dan saling sapa terasa akrab.
Pesta ini sungguh akrab dan sederhana dibanding pesta malam sebelumnya yang diselenggarakan delegasi Taiwan di Crown Plaza. Di hotel bintang lima paling dekat dengan pusat kegiatan festival di Postdamer Platz itu, delegasi Taiwan menyewa ballroom besar beratap tinggi. Mereka menyediakan mirror ball dan DJ serta layar superbesar untuk memutar trailer film-film Taiwan yang diputar di Berlinale. Para bintang filmnya berdandan dengan gaun punggung terbuka dan menari bersama para tamu. Anggur dan makanan kecil tak henti mengalir.
Pesta glamor dan kedatangan artis Taiwan itu sepenuhnya dibiayai pemerintah mereka. Padahal film Taiwan yang diputar di ajang ini bisa dibilang kalah dalam jumlah dan gengsi dibandingkan dengan film Indonesia. ”Indonesia memang sedang jadi tren tahun ini,” kata Weiland Speck, direktur seksi Panorama. Menurut Weiland, Berlinale, khususnya seksi Panorama, memang kerap menjadi semacam barometer untuk tren film secara regional—termasuk ketika film Iran atau Korea menjadi pusat perhatian dunia.
Namun, jika dibandingkan dengan Taiwan, ke mana pemerintah Indonesia yang filmnya sedang diperhatikan itu? Mira Lesmana mengaku sempat meminta bantuan kepada Menteri Perdagangan Mari Pangestu untuk keperluan promosi di EFM Berlinale. Namun, karena promosi itu memang agak mendadak, tak ada dana dari pemerintah untuk keperluan ini. Mari—yang peduli pada industri kreatif—akhirnya berhasil melobi sebuah kelompok perusahaan media untuk menyumbangkan sekitar 5.000 euro atau Rp 75 juta.
Tapi, di pihak lain, ada juga hikmahnya. Delegasi Indonesia justru bersyukur, karena tak ada campur tangan pemerintah, pesta bisa berlangsung lebih santai dan jauh dari formal. Perkenalan—tujuan utama pesta ini—lebih bisa tercapai. Maka tak aneh jika pesta untuk film Indonesian itu terasa jauh berbeda dengan pesta sinema Taiwan. Salah seorang programer dari Puchon Film Festival, Jin-Park, berkata bahwa pesta Indonesia ini jauh lebih menarik ketimbang pesta orang-orang film Taiwan itu. ”Minimal di pesta ini bisa merokok dalam ruangan,” kata Jin-Park sambil tertawa terbahak.
Dana promosi yang keluar untuk acara ini mencapai Rp 200 juta. Kekurangan dana itu ditalangi oleh empat perusahaan film yang melakukan promosi di sana: Kalyana Shira, Lifelike Pictures, Miles + Mizan Cinema, dan Komodo Pictures. Hasilnya? Tak buruk, kata Mira Lesmana. Menurut produser film Laskar Pelangi ini, filmnya sudah mendapat kepastian distribusi di Hong Kong (Laskar juga mendapat beberapa nominasi di Hong Kong International Film Festival yang akan diadakan pada Maret mendatang) dan sedang menunggu kepastian dari Amerika Serikat, Swedia, dan Taiwan.
Eric Sasono (Berlin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo