Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dunia merayakan Global Running Day pada 6 Juni.
Banyak pelari pemula melakukan kesalahan dengan mengutamakan estetika dalam memilih sepatu lari.
Tak semua merek populer cocok dengan karakter kaki mayoritas orang Indonesia.
Tania Effendy, 27 tahun, menapaki setiap jengkal lintasan beton di luar pagar Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta Pusat dengan sepatu lari Under Armour hitam. “Ini satu favorit saya,” ujar Tania di lokasi, Rabu, 7 Juni 2023—bertepatan dengan Global Running Day.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasut itu dibeli Tania sekitar dua bulan lalu. Menurut dia, tak mudah mendapatkan sepatu lari yang nyaman, khususnya bagi perempuan. Sebelumnya, dia pernah beli beberapa pasang, tapi tak pas di kaki. Dengan sepatu hitam itu, Tania, yang joging dua kali sepekan, mengaku tidak pernah lagi pegal-pegal saat berlari. “Aku jogging bisa satu jam-an masih nyaman, sprint juga nyaman banget,” kata desainer interior tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petualangan memilih sepatu yang nyaman juga turut dirasakan Adhie Artur, 34 tahun. Ditemui di pinggiran Stadion Utama Gelora Bung Karno, dia mengenakan sepatu andalannya, Nike Zoom X.
Pegiat lari ini membeli sepatu itu saat meliput Tokyo Marathon pada Maret lalu. “Sesuai ekspektasi, Nike yang baru ini bagus dan lebar,” ujarnya. Desain tersebut, menurut Adhie, cocok untuk mayoritas kaki orang Indonesia.
Tak Cuma untuk Bergaya
Lari, yang dikenal sebagai induk semua cabang olahraga, memang merupakan olahraga paling sederhana: hanya butuh sepatu—meski ada sebagian kecil orang yang terbiasa berlari nyeker. Meski demikian, mendapatkan sepatu yang cocok dengan kaki tidak sesimpel itu. Kebanyakan pelari butuh mencoba, tentu saja dengan membeli, banyak pasang sebelum mendapatkan sepatu yang paling pas di kaki.
Ali Hidayat, pehobi lari, telah menjajal hampir semua merek sepatu populer, tapi merasa ada saja ganjalan di kaki. Pada 2017, seorang rekan menyarankannya mencoba Saucony, merek yang jarang terdengar di telinga orang Indonesia. Tapi, karena saran datang dari pelari yang mengkhatamkan lomba maraton terkemuka di Jepang, dia ikuti.
Tak mudah mendapatkan produk dari perusahaan Amerika Serikat yang hanya membuat sepatu lari tersebut di Jakarta. Ali mengubek-ubek mal demi mal dan baru mendapatkannya di satu toko di Jakarta Utara. Begitu mencoba, sekali memasukkan kaki, langsung cocok. "Ternyata ini yang selama ini saya cari," ujarnya.
Ilustrasi pelari. PEXELS
Yasha Chatab, pentolan Indo Runners—komunitas lari independen terbesar di Indonesia—mengatakan bahwa pelari perlu mengenali bentuk kaki masing-masing. Menurut dia, kebanyakan kaki orang Indonesia lebar. Maka perlu mempertimbangkan sepatu yang juga lebar.
Dia mencontohkan satu merek terkenal asal Amerika Serikat yang desain sepatunya cenderung ramping. "Tapi tetap populer di Indonesia karena dianggap fancy," ujar Yasha. Menurut dia, banyak pelari pemula yang lebih mengutamakan keindahan ketimbang fungsi saat memilih sepatu lari. "Seharusnya kenyamanan dan keamanan didahulukan."
Pelari pemula perempuan, Yasha melanjutkan, juga kerap melakukan kesalahan dengan memakai sepatu berukuran lebih kecil. "Mereka tak mau kakinya terlihat besar," kata dia. Praktik ini membahayakan karena dapat mencederai kaki.
Yasha mewanti-wanti agar pelari memilih sepatu yang sesuai dengan besar kaki. Saat membeli sepatu, kita wajib mencobanya. Tak cukup hanya dipakai lalu mematut diri di depan kaca. Harus dijajal berlari. "Kalau memungkinkan, cari toko sepatu yang menyediakan treadmill," ujar Yasha.
Ilustrasi sepatu untuk lari. Pexels
Sepatu lari terdiri atas tiga varian, tergantung medan pemakaian. Sepatu untuk lari di lintasan atletik beralas tipis dengan pul karet yang membantu penapakan di bidang karet yang berpori. Varian kedua adalah trail atau lintas alam dengan ciri outsole beralur banyak, memiliki pencengkeram agar tak mudah terpeleset di medan berbatu dan berlumpur, dan berbahan tahan air. Jenis ketiga, yang paling populer, sepatu lari untuk jalan raya. "Tapaknya tak banyak alur, cenderung rata, dan materialnya ringan," ujar Efri Ritonga, pehobi lari.
Sepatu lari, yang biasanya juga kerap dipakai sehari-hari karena pertimbangan model dan kenyamanan, memiliki batas pemakaian. Mengutip situs Runners World, limitasinya bukan waktu, melainkan jarak pemakaian, yaitu antara 480 dan 800 kilometer. "Jika outsole-nya sudah tipis, lebih baik ganti sepatu," kata Efri. Memaksakan diri menggunakan sepatu dengan sol tipis meningkatkan risiko terjatuh karena daya cengkeram sepatu jauh berkurang.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo