Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
'Cola' dan Risiko Patah Tulang |
BUAT kebanyakan remajaterutama remaja kota besarminum minuman ringan yang mengandung cola agaknya sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Padahal, konsumsi cola terlalu banyak mungkin bukan gaya hidup menyehatkan. Sebuah riset memperlihatkan, gadis remaja yang terlalu gemar menenggak minuman ber-colaasalnya dari tanaman asli Afrika yang satu famili dengan tanaman cokelatdiduga cenderung gampang menderita patah tulang dan osteoporosis (keropos tulang).
Riset itu, seperti dilaporkan Reuters Health, dua pekan lalu, dilakukan oleh perkumpulan penggemar minuman ringan bersoda (soft drink). Grace Whysak, dari Harvard Medical School, salah satu periset, menyebar kuesioner kepada 460 gadis berusia 9-10 tahun. Pertanyaan kuesioner meliputi pola diet, kebiasaan olahraga, dan riwayat kesehatan tulang. Ternyata, gadis penggemar minuman ber-cola tercatat hampir lima kali lipat terkena patah tulang ketimbang gadis yang tak suka minuman cola. Sementara itu, gadis penggemar minuman ringan (tidak khusus cola) mengalami angka patah tulang tiga kali lipat dibandingkan dengan gadis yang tidak minum soft drink.
Tim peneliti menduga cola, yang punya kandungan zat fosfor (P) tinggi, berperan menghambat tubuh menyerap kalsium (Ca). Padahal, kalsium adalah faktor vital dalam pembentukan tulang. "Akibatnya, pembentukan tulang di masa remaja terganggu," kata Neville Golden, dokter spesialis anak rumah sakit anak-anak Schneider, sebuah pusat kesehatan masyarakat Yahudi di Long Island, New York, Amerika Serikat.
Ini bisa jadi soal, mengingat di kalangan remaja minuman ringan jauh lebih populer ketimbang sususalah satu sumber kalsium. Golden mengingatkan, masa remaja adalah periode kritis pembentukan tulang. "Sekitar 40-60 persen tulang dibentuk saat usia belasan tahun," katanya. Alhasil, dalam jangka panjang, remaja yang proses pembentukan tulangnya terganggu sangat mungkin terkena osteoporosis. Memang, osteoporosis adalah penyakit kaum lanjut usia. Namun, kemunculan penyakit ini dirintis oleh kebiasaan hidup sejak masa kecil.
Efektivitas Sabun Antiseptik |
SABUN antiseptik boleh gencar beriklan. Namun, khasiat sabun antiseptik tampaknya tak sehebat klaimnya. Keraguan ini datang dari organisasi kedokteran Amerika Serikat, The American Medical Association's (AMA). Menurut AMA, sabun antiseptik tak lebih efektif ketimbang sabun biasa.
AMA, dengan 300 ribu anggota, dalam sebuah pertemuan di Chicago, Amerika Serikat, menuntut pemerintah mengakhiri rekomendasi penggunaan sabun, lotion, atau pengharum napas yang mengklaim diri manjur melawan bakteri. Alasannya, "Sampai sekarang, belum ada bukti bahwa produk antiseptik bisa berfungsi efektif," kata Myron Genel, dokter spesialis anak dari Universitas Yale, yang juga salah satu pemimpin AMA.
Bahkan, menurut Genel, seperti dikutip Reuters Health, pekan lalu, penggunaan produk antiseptik justru berdampak buruk. Alasannya, produk ini dijual bebas tanpa pengawasan dosis yang ketat. AMA khawatir, produk antiseptik bukannya membunuh mikrobe, tapi malah meningkatkan resistansi atau kekebalan bakteri.
Padahal, resistansi inilah problem besar kesehatan dewasa ini. Bila itu terus berlanjut, bakteri semakin kebal terhadap obat-obatan dan ragam penyakit makin tak terkendali. Menurut perkiraan AMA, ada sekitar 50 juta resep antibiotik per tahun yang diberikan dokter tanpa alasan yang tepat. Nah, yang dikhawatirkan, produk-produk antiseptik bakal memperparah penggunaan zat melawan bakteri yang tidak pada tempatnya.
Infeksi Gusi dan Kelahiran Prematur |
IBU-IBU hamil sebaiknya jangan menganggap enteng gusi yang bengkak. Penyakit gusi tak hanya mengganggu gigi, tapi juga bisa mengusik kenyamanan janin di dalam kandungan. Gangguan pada gusi bisa mendorong janin melongok dunia sebelum waktunya.
Marjorie Jeffcoat, dari Fakultas Kedokteran Universitas Alabama, Birmingham, Amerika Serikat, meneliti kaitan antara infeksi dan kelainan beberapa sistem tubuh, termasuk kelahiran prematur. Ada 2.000 perempuan hamil800 di antaranya sudah melahirkanyang kini sedang dalam penelitian Jeffcoat. "Sekitar 17 persen dari mereka terkena infeksi gusi," kata Jeffcoat kepada Reuters Health, dua pekan lalu.
Menurut penelitian Jeffcoat, bayi dari para ibu yang terkena infeksi gusi itu cenderung bermasalah. Mereka lahir prematur, berbobot rendah, dan berisiko terkena periodontal (jenis penyakit gigi) tiga sampai delapan kali lipat.
Belum gamblang betul bagaimana infeksi gusi mempengaruhi proses kelahiran prematur. Dugaan sementara, infeksi membuat gusi bengkak dan memacu tubuh meningkatkan produksi hormon prostaglandin. Selama ini, prostaglandin diketahui membuat kontraksi otot rahim. Itu sebabnya prostaglandin sering dipergunakan dalam mempercepat proses kelahiran. Dalam dunia kedokteran, prostaglandin juga dikemas dalam bentuk obat untuk menggugurkan kandungan. Jadi, "Cukup masuk akal bila ada kaitan antara infeksi gusi dan kelahiran prematur," kata Jeffcoat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo