Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Qodari
Alumni Psikologi UI
BEBERAPA pakar yang diwawancarai media massa menilai bahwa tindakan massa menghabisi dan membakar pelaku kejahatan yang marak belakangan ini merupakan simtom dari masyarakat kita yang tengah "sakit". Saya ingin mendevil's advocate anggapan yang dikemukakan para pakar ini.
Saya khawatir penilaian "sakit"-nya masyarakat itu hanya datang dari orang seperti dosen sosiologi, ahli hukum, atau psikolog sosial yang tidak paham betul bagaimana lapisan terbesar dalam piramida masyarakatyakni kelas bawahmenjalani kehidupan sehari-harinya. Selama ini, kita jarang menyadari bahwa pemahaman manusia akan realitas selalu didominasi oleh tokoh otoritas tertentu yang sebetulnya datang dari golongan terkecil dalam masyarakat. Golongan masyarakat terakhir inilah yang selalu mendiktekan gambaran mereka tentang realitas kepada khalayak banyak yang dipersepsikan umum dan naif. Dengan mediasi media massa, kaum elite yang dipilih oleh media selalu mengeluarkan hujjah dan fatwanya. Ini benar, itu salah. Masyarakat kita sehat, masyarakat kita sakit. Bagaimana mungkin pakar bisa menilai "pengadilan massa" sebagai gejala masyarakat yang sakit? Bagi masyarakat kelas bawahyang sering membantai dan membakar tersangka penjahatpengadilan massa merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Bagaimana kita akan mengatakan masyarakat sakit bila masyarakat mempercayai pengadilan massa sebagai cara untuk mengatasi persoalan yang tidak dapat ditanggulangi oleh aparat dan institusi negara? Seperti diakui sendiri oleh para pakar itu, masyarakat tak lagi percaya bahwa institusi resmi seperti kepolisian, pengadilan, dan bahkan negara itu sendiri bisa menghentikan pelaku kejahatan. Sekarang ini, masyarakat telah berpikir bahwa rasa aman itu harus direbutdan bukan menunggu diberikan oleh negara, apalagi menunggu kemurahan hati para penjahat! Masyarakat sedang berupaya menciptakan rasa aman bagi diri mereka sendiri. Rasa aman, bukankah ini simtom masyarakat yang sehat? Menurut saya, tiap masyarakat harus dianggap "sehat" atau normal, sejauh fungsi-fungsinya berjalan dengan baik, dan bahwa patologi hanya dimengerti sejauh berhubungan dengan ketidakmampuan para individu menyesuaikan diri terhadap cara hidup masyarakatnya. Cara pikir yang sama dapat kita terapkan pada beberapa tingkah laku kolektif lain yang juga dinisbat sebagai simtom patologi masyarakat. Sebutlah di sini praktek korupsi serta konflik sosial. Korupsi terus berlangsung sampai sekarang, tidak berkurang, malah berlebih-lebihkarena korupsilah orang Indonesia bisa bertahan. Orang yang ekonominya subsistensiseperti pegawai negeri rendahanmenjalankan korupsi agar bisa mempertahankan kebul asap dapurnya di tengah malaise ekonomi seperti saat ini. Harga-harga membubung tinggi, padahal gaji resmi yang diterima hanya cukup untuk ongkos transportasi. Pegawai kecil cuma bisa melakukan korupsi kecil-kecilan. Mereka berpikir, kalau atasannyapara pejabat tinggibiasa dengan korupsi "roti", mengapa mereka tak boleh mendapat sekadar "remah-remah"-nya? Dalam korupsi sistemis birokrasi, pegawai kecil yang tak mau ikut korupsi akan disingkirkan. Setidaknya, ia akan mendapat sanksi sosial. Dicibir teman-temannya sok suci, dialah manusia yang "sakit". Sekarang tentang konflik sosial. Konflik sosial terus meletus di berbagai penjuru negeri ini karena, bagi berbagai golongan di masyarakat, inilah cara terakhir untuk meraih keadilan sosial. Konfrontasi fisik berguna untuk menyeimbangkan ketimpangan sosial-ekonomi yang membentang di antara kelompok masyarakat. Para pendatang kaya, pribumi miskin. Umat Kristen berkuasa, umat Islam disisihkan. Para pakar lagi-lagi suka mengklaim dialog sebagai jalan penyelesaian terbaik. Terbukti, toh, kata-kata tak mampu menggeser pendulum timbangan sosial. Konfrontasi fisik belum tentu berujung dengan pembalikan keadaan. Masyarakat tentu saja memahami peribahasa "menang jadi arang, kalah jadi abu." Peribahasa, kita maklum, adalah intisari kearifan orang kebanyakan. Tapi konfrontasi fisik setidaknya mampu membuat kelompok masyarakat yang menuntut keseimbangan merasa telah melakukan tindakan yang konkret, riil, dan kolektif. Dalam perang antar-suku atau agama, misalnya, tua-muda, pokoknya yang masih bisa mengayunkan pedang, akan mengangkat senjata. Semua berjuang mengubah nasib. Yang tidak turut akan merasa terhina. Dialah yang "menyimpang". Bukankah dengan cara ini masyarakat telah memfungsikan komponen-komponennya untuk mencapai tujuannya? Kembali ke tindak pengadilan massa. Wartawan melaporkan dari lapangan, baik di Bekasi maupun di Kampungrambutan, tak satu pun warga yang terlibatsetidaknya menyaksikanpembantaian dan pembakaran tersangka penjahat memperlihatkan ekspresi sedih atau muram. Mereka tersenyum, bahkan berebut menyaksikan mayat penjahat yang hangus, sambil berucap kalem, "Biarin, biar kapok." Saya sempat bertanya kepada seorang tukang batu yang kebetulan tinggal di Bekasi, di lokasi empat tersangka pencuri sepeda motor disiram bensin lalu disulut api, "Bensinnya dari mana, Mas? Emang-nya beli?" "Siapa yang beli, Pak? Wong, warga rebutan ngasih," jawabnya sambil tertawa. Di masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara, Erich Fromm pernah menggunakan jumlah rata-rata bunuh diri, pembunuhan, dan alkoholisme sebagai simtom untuk mengukur tingkat sakitnya masyarakat. Apakah pengadilan massa, korupsi, dan konflik sosial akan dijadikan ukuran di Indonesia? Namun, pertanyaan yang saya kira lebih penting adalah siapakah yang berhak menentukan ukuran-ukuran kesehatan masyarakat. Masyarakat sendiri atau para elite? Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |