Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

PON Terpidana

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arswendo Atmowiloto
Pengamat sosial

PENGACARA bukan singkatan ''pengangguran banyak bicara", melainkan profesi yang sekarang ini membuat orang jadi terkenal, banyak duit, dan pintar berkelit. Mereka hafal soal pasal, kenal tokoh-tokoh andal, dan kantong pun menjadi tebal. Kini mereka menjajal menggugat bangsa Indonesia, khususnya media massa yang memanjakan Euro 2000 dan para petaruh pertandingan. Mereka yang bergabung dalam ''Pengacara Olahraga Nasional XV" mengajukan gugatan tersebut karena merasa prihatin: kok, bangsa kita tak tertarik pada pekan olahraga nasional? Ini berarti kurang menghargai prestasi anak bangsa. Padahal, di sini lebih banyak jenis pertandingan—juga protes dan keributan—dibandingkan dengan hanya satu jenis: sepak bola. Di sini ada 26 kontingen yang ikut, bukan hanya 16. Di sini nonton tak perlu begadang, dan tak usah kesulitan menghafal nama. Soal ''bonek" di sini lebih meyakinkan. Di sini ada ratusan anak jalanan yang agar tidak berkeliaran diberi uang Rp 5.000 per hari dan kaus PON, walau nyatanya uangnya terlambat dan jadinya tetap berkeliaran tanpa kaus PON. Bahkan dana APBD dari Jawa Timur sebesar Rp 35 miliar—sama jumlahnya dengan dana dari Sapuan—tidak menimbulkan sensasi. Dana pemerintah dari KONI Rp 10 miliar juga tak menimbulkan pertanyaan walaupun dihabiskan untuk pembukaan. Lebih dari itu semua, di sini ada tema: prestasi, pemersatu. Pemersatu sangat mungkin, karena sebagai proyek pastilah bisa menyatukan mereka yang punya kepentingan sama: bagaimana memanfaatkan dana yang sudah disetujui jumlahnya. Itu bukan pekerjaan yang terlalu sulit, sudah seperti hafalan untuk pelbagai proyek seperti yang sudah-sudah. Sedangkan tema abstrak seperti pemersatu, perekat bangsa, mudah diomongkan. Tak perlu dibuktikan karena tidak ada tolok ukurnya. Lain halnya dengan prestasi. Di sini ada data, ada angka, ada perbandingan. Semua serba konkret dan nyata. Tak perlu adu argumentasi bahwa atlet tak mencapai prestasi karena sedang sakit, atau menunda pertandingan sebab belum terima surat panggilan. Walhasil, prestasi adalah kemenangan, adalah pemecahan rekor. Tanpa itu, jangan harap bakal menarik perhatian. Penyulutan api PON pun tak banyak menarik perhatian karena sumber api bisa di jalanan, di toko, dan tempat-tempat lain yang lebih spektakuler. Penonton tak peduli apakah Jawa Timur atau DKI atau Jawa Barat yang jadi juara, kalau mereka tak menjadi tegang, tak larut dalam emosi, tak membuat mereka berbincang sendiri dengan analisisnya seolah pelatih beneran. Dengan kata lain, mereka perlu tontonan, hiburan. Terus terang, ini yang tak ada dalam PON kali ini. Kalau cuma protes keputusan wasit atau main keroyokan, tak usah ada olahraga nasional. Jangan juga berharap ada jawara yang mengesankan, karena yang ada hanyalah tokoh-tokoh PON dulu yang kini merana dan perlu disantuni. Sebetulnya salah kalau kita membandingkan PON dengan Euro 2000 hanya karena kebetulan waktunya bersamaan. Kalaupun yang dipertandingkan saat ini sepak bola di Amerika Latin, nasib PON pun tetap tak dilirik. Dibandingkan dengan tinju atau basket atau voli—apalagi bulu tangkis—tetap tak ditengok. Bahkan dalam keterlibatan emosi, pertandingan ala 17-an yang biasa berlangsung di kampung lebih menggulung emosi, untuk ikut berteriak hingga serak. Lalu di mana salahnya PON XV sehingga menjadi terpidana? Sama dengan PON XVI sampai XX, kalau tak mau mengubah orientasi. Pertandingan olahraga haruslah dilihat dengan ukuran olahraga. Bukan demi persatuan atau kesatuan atau perekat atau lem. Sebab, hal ini akan menjadi ''pengaman" kalau prestasi gagal. Sekarang bukan zaman membualkan ''memasyaratkan PON, mem-PON-kan masyarakat". Idiom sekarang adalah yang menjadi sifat alami dari dunianya. Dalam pertandingan olahraga, ya, prestasi, bukan temanya apa. Dalam lawak, ya, harus lucu, bukan misinya apa. Orang bisa jualan misi, tapi pembeli memilih bukti. Akan halnya pengacara yang memang dibekali talenta banyak cara, kalau tak bisa menggugat bangsa, ya, balik menggugat penyelenggara. Kalau perlu melaporkan pelecehan PON ke PBB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum