REPUTASI tim ahli bedah jantung Amerika Serikat, yang mencoba memperkenalkan teknik bedah pintas koroner yang efisien di Indonesia, jatuh. Tujuh pasien dari delapan pembedahan yang dijalankan dalam Jangka waktu dua minggu, meninggal tanpa sebab yang jelas. Mortalitas memang risiko yang sulit ditawar dalam bedah jantung. Namun, besarnya persentase kematian itu membuat ikhtiar alih teknologi bedah jantung itu berbuntut panjang. Dua pekan lalu, kasus itu dipertanyakan di Komisi VIII DPR. Yang mengundang rasa ingin tahu wakil-wakil rakyat itu, mengapa mortalitas begitu tinggi. Departemen Kesehatan, yang membawahkan RSJantung Harapan Kita, tempat operasi dilakukan, mengakui tingkat kematian itu memang terhitung tinggi. Penyebabnya, kata mereka, hingga kini masih diselidiki - dan ini sering kali memakan waktu lama. Sementara itu, Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat, seusai menghadap Presiden, pekan lalu, mengutarakan kepada pers penyelidikan mencari sebab itu dilakukan Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Bagian Mikrobiologi Universitas Indonesia. Yang diteliti, semua peralatan yang digunakan dalam pembedahan. Misalnya, kata Menteri Kesehatan, cairan dan obat-obat yang digunakan atau disuntikkan ke pembuluh darah. Kepala Jurusan Mikrobiologi UI Dr. Usman Chatib Warsa membenarkan, beberapa bagian penelitian pencarian sebab musibah di RS Jantung Harapan Kita memang dilakukan di jurusan yang dipimpinnya. Namun, menurut Warsa, penelitian itu belum seluruhnya selesai. "Kami masih harus mengadakan serangkaian penelitian lagi untuk sampai pada kesimpulan," katanya. Rektor Universitas Indonesia Prof. Sujudi, yang juga ahli mikrobiologi, membenarkan beberapa bagian penyelidikan itu memang sudah selesai, tapi la menolak memberikan keterangan. "Yang berhak memberikan keterangan adalah RS Harapan Kita," katanya. Dr. Soerarso Hardjowasito, Wakil Direktur Medis RS Harapan Kita, juga mengelak memberikan keterangan. Alasannya, bila kesimpulan sudah lengkap, keterangan akan diberikan Dirjen Pelayanan Medik Depkes, dr. Mohammad Isa. Tapi, dua dokter ahli jantung RS Harapan Kita, yang tak mau disebut nama, mengatakan, ada kontaminasi air steril pada bedah jantung yang nahas itu. Air steril ini dikenal dengan nama akuabidestilasi - air suci hama yang didapat dengan penyulingan dua tingkat. Air itu, kata salah seorang ahli Jantung tersebut, bersama larutan heparin digunakan untuk memantau tekanan darah pasien. Maksudnya, antara lain untuk mengukur daya pompa jantung. Pada proses ini, akuabidestilasi, yang berfungsi menambah volume darah, dan larutan heparin, yang berfungsi mencegah pembekuan darah, dimasukkan ke dalam pembuluh darah melalui pipa-pipa karet dari dua tabung yang berbeda. Melalui derasnya darah, daya pompa jantung diukur. Sementara itu, rekannya menegaskan, kuman-kuman yang mencemari akuabidestilasi itu adalah EterobacterAgglomerans dan Eterobacter Clocae. "Kuman ini sangat berbahaya," ujar dokter itu pada wartawan TEMro Moebanoe Moera. "Ia mengakibatkan kekacauan pada sistem pertahanan tubuh, terutama sistem pembekuan darah." Keduanya menolak menyebutkan sumber yang membuat mereka sampai pada kesimpulan itu. Tapi, bila benar akuabidestilasi itu tercemar, akibatnya memang bisa fatal. Pada bedah pintas koroner (yang dikenal menggunakan teknik cardio pulmonary bypass, yang di dalamnya fungsi jantung dan paru-paru dalam proses pembedahan digantikan oleh mesin) ketika darah menjalani sirkulasi melalui mesin, akuabidestilasi merupakan satu medium penting bagi kelancaran peredaran darah. Ahli jantung RS Harapan Kita dr. Hafil Abdulgani, yang juga anggota tim bedah pintas koroner itu, tak sependapat dengan kedua rekannya. "Kontaminasi merupakan salah satu kemungkinan," katanya. "Ada faktor lainnya yang diduga menjadi penyebab kegagalan operasi tersebut." Diungkapkan, paling tidak ada sekitar 40 faktor yang sedang diteliti. Dan kegagalan, katanya, tak mungkin akibat faktor tunggal. Menurut Hafil, jika terjadi kontaminasi, pasien paling lama mampu bertahan dalam 48 jam. "Tapi kebanyakan pasien yang dioperasi beberapa waktu lalu itu meninggal setelah 24 jam dioperasi," katanya. Diduga penyebabnya, membanjirnya darah di jantung, akibat banyaknya pendarahan dan terganggunya pembekuan darah oleh kuman. Betulkah? Hafil menolak menjelaskan apakah keadaan itu yang terjadi. Namun, bila banjirnya darah pada jantung yang menimbulkan kematian, karena beban pompa jantung terlampau berat, seharusnya hal itu bisa segera terdeteksi pada perawatan intensif sesudah operasi - yang dikenal sebagai postop. PT Harsen, yang memproduksi akuabidestilasi, ketika ditemui wartawan TEMPO Happy Sulistyadi, menyangkal keras produksinya tercemar kuman. "Lebih dari 10 tahun kami memproduksi akuabidestilasi, tidak pernah ada masalah," ujar Harjoseno, direktur perusahaan itu. Sementara itu, seorang stafnya mengungkapkan, tiap setengah tahun sekali seluruh proses produksl dl perusahaan itu diperiksa Bagian Farmakologi dan Mikrobiologi UI. Dan, perusahaan itu juga menyatakan bersedia diperiksa, misalnya terdapat indikasi ke arah kontaminasi. Dirjen Pelayanan Medik Depkes, dr. Mohammad Isa, mengutarakan, semua hasil penelitian masih memerlukan cross check. "Kita tidak bisa mempercayai hasil penelitian satu pihak saja," katanya. Seperti Menkes, Isa mengutarakan penyelidikan akan dilakukan tuntas untuk bahan pertimbangan dan perbaikan bedah pintas koroner di Indonesia. Hal yang mungkin patut dipertimbangkan adalah frekuensi pembedahan. Pada 1984, RS Houston, Texas, asal tim dokter tamu diundang, dikritik Institut Nasional jantung dan paru-paru AS, karena terlalu cepat mengambil keputusan melakukan bedah jantung koroner - yang dinilai mengejar jumlah dan berlatar belakang komersial. Hasil penelitian institut itu menunjukkan, 10% dari pasien yang menjalani bedah pintas itu kembali mengalami penyumbatan pembuluh koroner. Bahayanya, operasi pintas untuk kedua kalinya tak mungkin dilakukan. Jim Supangkat, Laporan Toriq Hadad & Gatot Triyanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini