Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Wajah film kita, di pasar atau...

Adanya sk. menpen no.53 menyebabkan banyak produser membuat film asal jadi. kesuksesan tidak hanya tergantung dari sutradara, bintang atau skenario, tapi juga importir, distributor, wartawan & badan sensor. (sd)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JURI Festival Film Indonesia pernah mengajak orang-orang film "mencari wajah Indonesia". Sutradara, pemain-pemain juga para penulis skenario mengejap-ngejapkan mata lalu menelan ludah. Mereka mengerti, faham, tapi mungkin juga bosan. Soalnya produksi film nasional memang hasil cakaran tangan mereka. Cuma saja sering dilupakan, mereka yang langsung menguasai arahnya, adalah para produser. Golongan ini kata orang terdiri dari kaum pedagang tulen. "Pokoknya sampai nanti kalau masyarakat tinggi penilaiannya pada film, baru kami akan membuat film-film bermutu. Sekarang biarlah kami disebut produser film konyol," kata Thamin dari Adhiyasa Film terus terang. Produser ini membuat film untuk masyarakat tertentu yang berkubang di bioskop-bioskop kelas kambing. Kesenangan-kesenangan kelompok itulah yang digarapnya, sebagai acuan arah produksi. Akibatnya ia tidak pernah berusaha untuk bikin film berdasarkan cerita novel yang kwalitasnya dapat dipertanggungjawabkan. "Mana ada sih novel yang konyol, sedang film kita selalu konyol," ujarnya. Cinta Adhiyasa adalah sebagian dari produser film yang lahir akibat adanya SK Menteri Penerangan (Mashuri) no. 53 dahulu. Pada mulanya ia adalah importir. Produksi film memang akhirnya hanya merupakan semacam tanda kutip kerja paksa, untuk meloloskan 3 film impornya. Idealisme dari produksinya tentu saja supaya perdagangan impor film terus licin. "Pokoknya asal perusahaan tidak rugi saja, itu sudah cukup," katanya tenang-tenang. Insantra Film yang sama idealismenya dengan Adhiyasa menjelaskan bahwa membuat film sebenarnya "sukar" rugi. "Asal sedikitnya tiga buah film," kata Yudha Suryoso mewakili Insantra. Produser ini pernah membuat film cinta dengan biaya Rp 80 juta, yang kemudian untung tiga kali lipat. Tapi rata-rata laba filmnya yang lain tidak begitu besar. Berapa? "Dua puluh lima juta untuk satu produksi, sudah lumayan," ujarnya. Baik Thamin maupun Suryoso menyetujui syarat untuk menjadi pedagang film yang baik yaitu sedikitnya tiga film harus diproduksi dalam satu tahun. Investasi ini makan waktu 6 sampai 9 bulan sebelum membawa hasil. Kurang dari satu film akan rugi, karena mereka berproduksi dengan kredit bank dengan bunga tiga prosen yang jalan terus. Kalau produksi bisa sambung menyambung sampai film ketiga selesai digarap, film pertama sudah memasuki "musim bunga". Paling tidak setiap film bisa membawa keuntungan Rp 15 juta -- menurut Adhiyasa. Tetapi itu memerlukan jaringan penjualan yang baik. Karena tidak semua film begitu jadi langsung laku. Kadang-kadang harus dijajakan. Babak ini merupakan soal yang cukup rumit, setelah begitu banyak keruwetan dalam proses produksi. Untuk melicinkan bisnis dengan kwalitas miring itu produser harus banyak akal. Suryoso misalnya mengaku punya taktik mengajak para wartawan untuk berpartisipasi sebagai konco. Artinya kadangkala ia bisa titip pesan-pesan khusus, sambil tersenyum penuh arti. "Bung, kritiklah film saya, tapi kalau terlalu jelek lebih baik tidak usah ditulis. Kecuali kalau menulis beritanya saja. oke?" Sementara itu kuping pun terpaksa ditajamkan ke arah sensor. Setiap kali berproduksi, dia selalu memperhitungkan agar jangan sampai keserempet gunting. Caranya gampang. Setiap saat harus sedia waktu untuk kongko-kongko dengan para anggota sensor. Menanyakan film apa yang bisa lancar dan adegan bagaimana yang kira-kira pasti selamat. Jadi praktis para anggota sensor itu menjadi sutradara bayangan atau supervisor di balik layar. Ini juga sebagian dari bukti bahwa film Indonesia tidak hanya tergantung pada para sutradara, bintang atau skenarionya. Setiap produksi, terpaksa dijejalkan unsur "pendidikan" di samping unsur-unsur "komersial", tepat atau pun janggal. "Tidak benar produser bergelimang uang dan wanita," kata Thamin. Suryoso melanjutkan bahwa di samping uang, wanita merupakan persoalan serius seorang produser. Soalnya menurut dia bukan hanya masyarakat, tapi juga bintang film sendiri menganggap produser dikelilingi wanita. Mereka menganggap seakan-akan produser bisa dijinakkan dengan tubuh kaum hawa. Sekali peristiwa muncul calon bintang yang melirik-lirik genit dan langsung mengatakan ia bersedia dicoba apa saja. "Itu ancaman buat produser. Kalau wibawa sudah turun, kebangkrutan di ambang pintu," kata produser itu. Tatkala SK Menteri No. 53 masih berlaku, tak kurang dari 137 orang produser yang tercatat. Sepuluh prosen di antaranya pribumi, sisanya India dan keturunan Cina. Dari sepuluh prosen pribumi banyak yang sebenarnya bukan produser sejati. Mereka hanya pajangan untuk cukong yang bersembunyi di belakangnya. Ada juga yang lahir dan berstatus sebagai pemborong untuk melaksanakan tugas para importir film yang tidak berpengalaman berproduksi sendiri -- hanya untuk memenuhi SK Menteri. Produser Murni Sekarang setelah film seret, tak tahu berapa produser yang telah mampus. Salah satunya adalah Tuty Mutia dari Tuti Mutia Film. Wanita itu kita kenal sebagai produser murni -- artinya berproduksi bukan hanya untuk mendapatkan jatah impor. Tapi sejak tahun lalu ia berhenti. Kenapa? "Apalagi kalau bukan karena nggak ada duit," kata Tuty. Wanita ini telah membuat film-film antara lain Anjing-Anjing Geladak, Laki-laki Pilihan, Semalam di Malaysia, Prahara, Ita Anak Pungut, Yang Jatuh di Kaki Lelaki dan Lonceng Maut. Sekarang ia terjun menjadi pemain. "Jelas lebih enak main," katanya membandingkan. "Untuk jadi produser banyak hal yang mesti difikirkan. Terutama pemasarannya." Tuty terus terang mengaku lemah di bidang pemasaran. "Kenop-15 sendiri tidak banyak pengaruhnya. Lagi pula mosok hal itu yang dipakai alasan terus-terusan kenapa film kita lesu," ujarnya. Ia mengatakan produser murni sulit bersaing dengan para importir yang banyak menguasai cara pemasaran dan terutama karena mereka memiliki bioskop. "Karena itu Perfin yang mengatur peredaran film nasional mesti ditunjang sepenuhnya untuk kepentingan film nasional dan produser murni," katanya berkampanye. Thamin dari Adhiyasa tak sependapat dengan Tuty. Meskipun importir, ia merasa babak pengedaran film sesuatu yang rumit. Para distributor harus dipikat terlebih dahulu dalam "malam perdana". "Seringkali juga distributor tidak sudi, terpaksa pengedarannya digenjot sendiri," kata Thamin. Ini berarti harus ada promosi dengan biaya tidak kecil. Apalagi kalau harus menunda untuk menjaga jangan sampai bentrok dengan film impor sejenis yang mungkin lebih kuat. "Kembali uang bisa terlambat sampai sekitar satu tahun," katanya. Berbeda dengan Tuty Mutia, Sutopo lladi dari bagian produksi Safari Film mengaku produksi Safari sampai sekarang tetap lancar. Perusahaan ini sudah membuat 19 buah film. Mereka sempat meledak dalam beberapa produksi antara lain Bing Slamet Cowboy Cengeng dan Kampus Biru. "Mungkin karena modal Safari kuat dan tidak tergantung dari kredit bank," kata Sutopo. Tapi ia sempat menyebut juga salah satu film Safari terakhir yang sampai sekarang tak lolos sensor, meskipun sudah menelan biaya Rp 150 juta. "Secara bisnis itu jelas rugi. Kalau modal tidak kuat, pasti gulung tikar," kata Sutopo. Bencana terganjal di sensor setelah susah payah kerja tidak hanya menimpa Safari. Bersamaan dengan film Safari ada dua film lain yang juga ditolak yang tentunya menyebabkan produser bisa nangis. Mau diedit lagi stok tidak ada. Mau diperbaiki, para artis entah di mana, biaya tambah sedang sensor belum tentu juga licin. Ini berarti bahwa skenario lolos masih belum ada jaminan film lancar. Main mata dengan pihak sensor harus terus dilancarkan. Barangkali "wajah Indonesia" mcmang ada di kamar sensor pada saat ini. "Tambah lama saya jadi tambah takut bergerak di film ini," kata Tuty Mutiah mengeluh. "Berkali-kali saya dapat pengalaman yang tak menggembirakan serta tahu betul betapa rumitnya segala urusan." Ia bermaksud dalam satu dua tahun mendatang ini tetap tidak berproduksi. Tak kurang dari 7 produksi yang diikutinya sebagai pemain. Untuk itu ia mendapat satu sampai sepuluh juta untuk satu film. Jumlah yang memang menggiurkan juga mengingat produser hampir selalu terlibat dengan perang urat syaraf, meskipun barangkali uangnya lebih banyak. Perang urat syaraf juga pernah dialami oleh almarhum Usmar Ismail dan almarhum Brigjen Sofyar ketika bekerja sama dengan perusahaan Itali membuat film di Bali. Kedua produksi itu sama-sama berkepanjangan, sehingga lebih banyak merupakan arena benturan antara produser pribumi dengan produser Itali. Film Usmar kemudian tak sempat beredar di Indonesia. Sedangkan film Sofyar tidak begitu laku. Padahal entah berapa duit sudah keluar untuk semua itu. Tentu saja produser akan ramai-ramai memampuskan dirinya kalau memang dunia ini memang lebih banyak duka. Buktinya sampai sekarang masih ada saja yang mau berproduksi. Dan untunglah tidak semuanya ngebet memperdagangkan "selera rendah" sekelompok penonton. Mungkin karena memang punya sedikit idealisme, kegendengan, atau juga kebetulan. "Kami tidak menekankan faktor komersialnya saja. Dipikirkan juga tema-tema yang punya pesan," kata seorang produser -- meskipun kedengarannya sulit dipercaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus