Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Supaya Pulau Jawa Jangan Kering

Ramalan para ahli dinas PU, th 2000 P. Jawa bakal kering. Anton Sujarwo dari Yayasan Dian desa mengusulkan membuat bak-bak air tadah hujan dari ferrocement sebagai pemecahannya.(ling)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Hotel Indonesia Sheraton, Jakarta, pekan lalu berakhirlah Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup Dihadiri oleh 200 peserta yang terdiri dari pejabat pemerintah dan cendekiawan di dalam dan di luar universitas. Seminar akhirnya menghasilkan sejumlah pendapat yang dibacakan oleb Menteri Negara PPLH (Pengawasan Pembangunan & Lingkungan Hidup). Tak banyak yang baru dari sana, seidaknya bagi para pembaca masalah lingkungan. Tapi menarik juga sebuab pendapat dari ir. Anton Sudjarwo, dari Yayasan Dian Desa serta Unit Teknologi Desa BUTSI di Yogya. Ia berbicara tentang cara pemecahan krisis air tanah dan aliran mantap yang konon akan menimpa P. Jawa s/d Nusa Tenggara akhir abad ini: PULAU Jawa bakal kering di tahun 2000. Bagaimana? Menurut taksiran para ahli Dinas Pekerjaan Umum dalam Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup pekan lalu, perhitungannya begini. Potensi air dan aliran mantap yang sekarang masih 560 m3/jiwa/tahun, di akhir abad ini -- tak sampai 25 tahun lagi -- akan turun dari 436 m3/jiwa/tahun. Sementara itu, kebutuhan akan air untuk pemukiman, perkantoran, industri dan pertanian akan naik dari 403 m3/jiwa/tahun sekarang ini menjadi 702 m3/jiwa/tahun di tahun 2000 nanti. Itu sebabnya, Kelompok Teknologi yang diketuai ir Anton Sudjarwo dari Gajah Mada sudah mengusulkan pembuatan bak-bak air tadah hujan dari ferro-cement, agar orang di kota dan di desa tak terus menyedot air tanah di Jawa yang semakin langka. Anton dulu adalah pekerja sosial di Gunung Kidul yang tandus itu. Waktu itu ia masih kuliah di Gajah Mada. Tergugah hati untuk memecahkan krisis air yang sudah kronis di sana, ia bersama penduduk setempat membuat pipa bambu yang mengalirkan air dari sumber di puncak bukit ke perkampungan di bawah. Namun kemudian dia punya ide lain, setelah menemukan bahan baru yang dianggapnya masih cukup murah bagi penduduk desa: ferro-cement. Kawat kasa penghalang nyamuk kalau dipoles semen sebelah-menyebelah ternyata dapat menjadi bak air yang ringan, kuat, dan tak mudah bocor. Dengan bahan itulah dibuatnya bak air tadah hujan, yang kemudian ditiru oleh penduduk Gunung Kidul. "Ini lebih sesuai dengan persepsi mereka tentang air, daripada mengajarkan mereka membuat sumur bor," tuturnya kepada TEMPO. Maksudnya: karena harus menggali terlalu dalam di tanah yang keras, penduduk Gunung Kidul biasa berpasrah menanti jatuhnya air dari langit. Pabrik Mobil Yang menarik ialah bahwa menurut Anton, orang bisa mencobanya di kota. Dalam kertas kerjanya, insinyur ini mengusulkan agar pabrik besar pun membangun atap ferro-cement yang sekaligus berfungsi sebagai bak air tadah hujan. Pabrik mobil yang memprodusir 10 mobil setiap hari, membutuhkan 50-100 ribu gallon air sehari. Jika luas atap 50 x 60 m, maka air hujan sudah dapat mengisi 20% dari kebutuhan airnya. Contoh itu menunjukkan, kata Anton Sudjarwo, "bagaimana dengan memotong siklus hidrologi kita dapat meringankan beban air tanah di suatu daerah industri." Sehingga lebih banyak air tanah yang bebas untuk pertanian. Apalagi bila di wilayah pemukiman pun lebih banyak air ditadah dari langit pula. Gagasan ini, yang menurut Anton dipetik dari kebiasaan rakyat Kalimantan menyediakan gentong kayu raksasa di samping rumahnya guna menampung curahan hujan, merupakan salah satu pemecahan -- dan sekaligus pencegahan -- bahaya eksploitasi air tanah secara berlebihan. Tapi bagaimana pemecahan krisis kayu bakar -- "krisis enerji rakyat desa" yang sudah tak perlu menanti tahun 2000 lagi? Ketika soal ini ditanyakan oleh Ketua Seminar, Prof. Emil Salim dalam sidang pleno terakhir, Anton sudah siap pula dengan jawahannya: alat pencerna gas-bio (methane, CH4) dengan bahan baku kotoran ternak. Atau penggunaan alkohol sebagai bahan bakar, yang disuling dari aren, tetes tebu atau sumber nabati lainnya. Ketimbang cuma diminum sebagai arak. Kayu Bakar: Defisit Emil Salim memang tampak lebih prihatin terhadap soal krisis kayu bakar itu, ketimbang krisis bahan bakar di kota. Hal itu memang selaras dengan kesimpulan Loka Karya Enerji 1978 yang baru diselenggarakan di gedung Pertamina Pusat, akhir Mei lalu. Di sana disimpulkan, bahwa sumber enerji yang dapat diandalkan untuk daerah pedesaan untuk Repelita III, bukanlah minyak tanah. Tapi, kembali ke kayu bakar dan limbah pertanian. Hal itu memang tak perlu lagi dianjurkan. Konsumsi enerji kayu bakar dan limbah pertanian sejak 1967-1976 toh sudah naik dari 33 juta ton jadi 58 juta ton. Sedang di Jawa saja, naik dari 21 juta ton menjadi 37 juta ton. Dan walaupun saham total kayu bakar dan limbah pertanian dari seluruh konsumsi enerji turun dari 67,5% (1969) menjadi 51,7% (1976), di Jawa dan Bali saja tercatat ada "defisit kayu bakar" sebanyak 10,3 juta ton alias 14,42 juta meter kubik (1974). "Penggunaan kayu bakar, tak dapat dihapus secara total. Tapi bisa sebagian disubstitusi oleh gas bio dan alkohol. Ditambah lagi dengan pengembangan tungku sederhana yang dapat menghemat kayu bakar," kata Anton Sudjarwo menjelaskan. Hal ini memang dibenarkan oleh beberapa ahli pertanian dalam seminar, sebab pengembangan gas bio membutuhkan ternak, dan ternak membutuhkan padang rumput. Dengan persaingan yang kian menajam antara ternak, pertanian, hutan lindung, dan 1001 kebutuhan manusia, jumlah ternak yang bisa dipelihara untuk dibakar tahinya, tentunya ada batasnya. Apalagi kalau disadari bahwa pemakan kayu bakar yang terbesar bukan dapur orang desa itu, tapi tungku pabrik-pabrik pembakaran kapur, batu bata, penyulingan minyak atsiri, dan sebagainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus