PARA muballigh di masa ini senang sekali mengutip ucapan Nabi:
"Beramallah bagji (kepentingan) duniamu seolah-olah kau
benar-benar akan hidup selamanya dan beramallah untuk
(kepentingan) akhiratmu seolah-olah engkau benar-benar akan mati
esok." Dengan ucapan itu kemudian dibuktikan bahwa Islam
memandang urusan duniawi sama pentingnya dengan urusan ukhrawi.
Tetapi ada akibat sampingan dari penafsiran diktum di atas
secara demikian itu. Keinginan untuk menghilangkan tekanan
terlalu besar atas urusan ukhrawi dan mengembalikan perhatian
kepada soal-soal duniawi dalam proporsi yang wajar, akhirnya
mengakibatkan dikotomi dalam sikap dan pandangan hidup muslim
modern. Dikotomi itu terutama mengambil bentuk pemisahan antara
soal-soal duniawi dan soal-soal ukhrawi, di mana sikap dan
pandangan si muslim modern itu menjadi berjarak sangat jauh
dalam menangani antara keduanya.
Kalau si sufi kolot melandaskan hidupnya pada sikap sarwa
beribadat karena diktum tarekatnya yang berbunyi "Kebajikan
adalah memuja Allah seolah-olah engkau melihatNya, apabila
engkau tak melihatNya, justeru Ia-lah yang senantiasa
memandangimu," maka si muslim modern merasa memperoleh kebebasan
penuh untuk mengatur kehidupan duniawinya. Secara perlahan-lahan
tetapi pasti kehidupan duniawi itu lalu membentuk sikap dan
pandangan hidupnya, bukan sebaliknya. Keterpukauan dengan
soal-soal materi menggantikan kedalaman rasa tunduknya kepada
kebesaran Allah, karena kebesaran itu sendiri terlalu abstrak
dan bersimpang jauh dari wawasan hidupnya yang serba mondaan.
Secara kolektif modernisme parsiil di kalangan kaum muslimin
ini, yang sudah berkembang kurang lebih seabad, akhirnya
menghasilkan moralitas-ganda yang dewasa ini dapat kita amati
manifestasinya dalam berbagai bentuk. Ia ada dalam kegairahan
membangun mesjid Istiqlal yang tidak disertai kepekaan yang
cukup kepada penderitaan sesama manusia, dalam kerajinan
memelihara frekwensi ritus keagamaan tanpa merasa malu
memperagakan kemewahan hidup di tengah-tengah merajalelanya
kemeralatan dan kemiskinan, dalam kepongahan para pemuka agama
untuk mengerahkan massa mereka bagi tujuan-tujuan duniawi yang
bersifat pribadi, dan lebih-lebih lagi dalam kepatuhan dan
kealiman di muka umum yang menyembunyikan kesenangan kepada
maksiyat dalam kehidupan pribadi.
Banyak lagi contoh lain dapat dikemukakan, tapi dari manifestasi
di atas itu saja sudah tampak nyata betapa telah mendalamnya
cengkaman moralitas ganda itu atas sikap dan pandangan hidup
kaum muslimin dewasa ini. Herankah kita jika agama Islam belum
menampakkan diri sebagai pendorong pembangunan dalam arti yang
sesungguhnya? Kesibukan "kegiatan agama dengan pembuatan
sarana-sarana lahiriah seperti mesjid, kepadatan 'kehidupan
beragama' dengan acara ritus-ritus semu seperti M.T.Q., kepuasan
'mengabdi kepada agama'" dengan berbagai kerja penyiaran agama,
kesemuanya itu menutup mata kaum muslimin pada umumnya dari
tugas utama agama: mengangkat derajat manusia dari kemiskinan
dan kehinaan. Kalau diingat betapa eratnya ajaran Islam berkait
dengan upaya meringankan beban si miskin dan si yatim, akan
ternyata betapa jauhnya suasana kehidupan kaum muslimin di
mana-mana dari inti agama mereka.
Untuk memperbaiki kepincangan di atas, jelaslah kaum muslimin
harus mampu dan berani mengadakan koreksi atas moralitas yang
mereka hayati selama ini. Mereka tidak boleh bersikap masa bodoh
terhadap kerusakan berat yang ditimbulkan dalam sikap dan
pandangan hidup mereka oleh moralitas ganda yang ada. Membiarkan
terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan
ritus-ritus hanyalah akan berarti membiarkan berlangsungnya
proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju. Sikap pura-pura
tidak tahu menahu tentang upaya menegakkan hak-hak asasi
manusia, untuk dicukupkan bersantai-santai dengan manifestasi
keagamaan yang bersifat lahiriyah belaka, tidak lain hanya
berarti semakin tertundanya proses perataan kemakmuran.
Dengan demikian, moralitas yang harus ditumbuhkan haruslah
memiliki watak utama yang berupa keterlibatan kepada perjuangan
si miskin untuk memperoleh kehidupan yang layak dan penghargaan
yang wajar atas hak-hak asasi mereka. Hanya dengan cara
demikianlah derajat agama itu sendiri ditunjang oleh para
pemeluknya. Semakin tinggi martabat manusia yang menjadi
pemeluknya, semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri.
Moralitas yang sedemikian penuh dengan keterlibatan kepada upaya
mengangkat martabat manusia inilah yang dikehendaki dari kaum
muslimin sekarang ini, bukannya moralitas cengeng yang penuh
dengan persoalan-persoalan sampingan seperti kehiruk-pikukan
sekitar bahaya narkotika, rambut gondrong dan sebagainya.
Moralitas Islam adalah moralitas yang merasa terlibat dengan
penderitaan sesama manusia, bukannya yang justeru menghukumi
mereka yang menderita itu.
Kalau kita sudah memahami arti moralitas yang dibawakan agama
sebagai rasa keterlibatan yang digambarkan di atas, nyata pula
bahwa moralitas yang seperti itu harus memiliki keutuhan dalam
dirinya, tidak terpecah-pecah menjadi dua kepingan masing-masing
untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Keutuhan moralitas itu
akan membawa integritas yang tinggi dalam sikap dan perbuatan,
yang menjadi pertanda dari ketinggian martabat seseorang.
Sayang sekali, masih sedikit tokoh-tokoh agama di kalangan kaum
muslimin yang memiliki sikap yang utuh. Kalau orang-orang tidak
beragama seperti Andrei Sakharov, Pyotr Grigorengko, Andrei
Amalrik, dan Yuri Orlov mampu menumbuhkan integritas moral yang
tinggi untuk menghadapi maut dan kesengsaraan dalam diri mereka,
untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia di Uni Soviet,
integritas seperti itu justru sedikit sekali ditemui di kalangan
kaum muslimin di mana-mana.
Bukan atas nama agamalah para eksponen manikebu menghadapi
bahaya di zaman Orla di negeri kita, demikian juga tergesernya
beberapa ilmiawan dari jabatan ilmiah mereka dalam lingkungan
establishment ilmu pengetahuan kita baru-baru ini, karena berani
memprotes terjadinya pemasungan kreativitas. Tak heranlah kalau
kita bertanya-tanya, benarkah agama mampu menjadi pendorong bagi
pembangunan bangsa yang penuh dengan keharusan berani berkorban
untuk kepentingan masa depan?
Jawaban atas pertanyaan di atas masih ditunggu-tunggu dari
kalangan pemuka agama khususnya dan kaum muslimin umumnya. Kalau
mereka mampu menumbuhkan integritas sikap dan perbuatan yang
didukung oleh keutuhan moralitas agama yang merasa terlibat
dengan upaya membela si miskin dan memperjuangkan hak-hak asasi
manusia, barulah agama Islam akan menjadi relevan dengan
pembangunan bangsa. Dalam keadaan demikian eksistensi Islam
sendiri menjadi terjamin, karena ia lalu menjadi kebutuhan bagi
manusia yang membangun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini