Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Yang alami juga perlu diuji

Departemen Kesehatan berusaha meningkatkan jumlah jamu & obat tradisinal yang dikenal sebagai fitoterapi. Dari 3.000 jamu yang terdaftar, hanya 10 yang berhasil mendapat pengakuan sebagai obat fitoterapi.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA produser obat tradisional tak pernah lupa menyatakan bahwa jamu-jamuan diramu 100% dari bahan-bahan alami karena itu, aman, tanpa dampak samping seperti halnya obat modern yang terbuat dari bahan-bahan kimia aktif mujarab tapi mengandung risiko. Toh khasiat jamu tak pernah diuji di laboratorium. Ramuan alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, atau bahan-bahan mineral ini begitu saja diakui, karena sudah dimanfaatkan turun-temurun puluhan tahun. Bila tidak aman, tentu tidak digunakan berkepanjangan. Karena itu pula Departemen Kesehatan tak melihat alasan untuk melarang peredaran jamu dan obat tradisional. Lagi pula, konsumennya di pedalaman sangat besar. Namun, belakangan ada gejala baru: ada jamu atau obat tradisional yang diiklankan sebagai obat modern atau, paling tidak, dicanangkan mendapat pengakuan ilmu kedokteran. Djoko Hargono, Direktur Pengawasan Obat Tradisional Ditjen POM Departemen Kesehatan, menegaskan, promosi semacam ini tidak proporsional. Soalnya, terkesan ada maksud menipu, dan bisa menimbulkan salah pengertian. Pengakuan farmakologi terhadap obat tradisional memang ada, dan ini justru sedang diprogramkan Departemen Kesehatan. Lingkup bidang farmakologi yang khusus meneliti khasiat jamu dan obat tradisional dikenal sebagai fitoterapi. Arti sebenarnya adalah: penyembuhan dengan obat-obat alami. Bagi Depkes, fitoterapi adalah sarana untuk mencari legitimasi, sekaligus peningkatan derajat obat-obat tradisional itu. "Pada prinsipnya, fitoterapi ini merupakan peningkatan manfaat obat-obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal," ujar Djoko Hargono. Upaya itu bertujuan pula meningkatkan peran obat tradisional dalam menembus pasar, melalui dokter. Sebabnya, "Selama ini jarang sekali dokter-dokter menyarankan pasiennya untuk memanfaatkan jamu," tambah ahli farmakologi lulusan UGM itu. Tapi suatu ramuan tradisional baru bisa digolongkan ke fitoterapi bila sudah memenuhi beberapa persyaratan. "Kelompok obat fitoterapi adalah obat-obat dengan bahan baku alami yang sudah terbukti khasiatnya. Karena itu, jamu atau obat tradisional yang mau mendapat pengakuan harus melalui uji manfaat juga," ujarnya. Persyaratan umum: sekurang-kurangnya terdaftar selama dua tahun sebagai obat tradisional. Selanjutnya bahan bakunya mengacu ke buku Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia, dan Ekstra Farmakope Indonesia - daftar bahan-bahan ini dikeluarkan oleh Depkes. Juga diperlukan uji klinis dan uji farmakologis. Melalui pengujian farmakologis, diharapkan khasiat suatu ramuan dapat diformulasikan. Beberapa bahan jamu yang kini sudah tergolong ke fitoterapi, misalnya rimpang kuning atau temulawak (Curcuma xanthorrhiza), yang terbukti berkhasiat menyembuhkan gangguan empedu. Di pasar obat temulawak ini dikenal sebagai kapsul cholagocum. Produk lain: tablet orthosiphon diuretik, yang sebenarnya adalah ekstrak kumis kucing (Orthosiphon aristatus). Ada lagi, rauwolfia - tablet antihipertensi yang sebenarnya ekstrak akar pule pandak. Khasiat obat-obat fitoterapi memang diakui dalam ilmu kedokteran. Belakangan fitoterapi bangkit lagi, karena obat-obat kimia terungkap punya banyak dampak sampingnya. Oleh karena itu, "Promosi obat fitoterapi ini memang harus melalui dokter," ujar Djoko. Bangkitnya fitoterapi inilah yang membuat banyak produsen jamu melihat peluang memasarkan produknya. Pada label, mereka cantumkan "bisa menyembuhkan sejumlah penyakit" - padahal dalam ilmu kedokteran sendiri, masih misterius. Contohnya jamu untuk melawan penyakit kuning, yang menggunakan nama Icterna yang baru saja memasuki pasar. Menurut penemunya, jamu temuannya ini terbukti paling sedikit menyembuhkan 50 pasien pengidap penyakit kuning, sejak tahun 1967. "Jelas 'kan, obat temuan saya ini bisa mengobati penyakit hepatitis," ujar Rimbagia, si penemu, di pabriknya di Tangerang. Namun, ketika ditanya, Rimbagia menorak menyebutkan formula temuannya itu. "Dari sejenis tanaman perdu," ujarnya singkat. Pada kemasan obat tercantum: mengandung Ochrosia herba 40% yang sama sekali tak dirinci. Juga tak disebutkan formula mana yang dapat menghancurkan virus perusak organ hati, yang memang belum ditemukan pembasminya dalam ilmu kedokteran. Depkes sendiri belum bisa bicara banyak tentang keampuhan Icterina, kecuali obat itu memang diizinkan beredar sebagai obat tradisional untuk sakit kuning. Catat: bukan hepatitis. "Karena penyakit kuning belum tentu disebabkan virus hepatitis, penyumbatan pada saluran ginjal pun bisa juga menimbulkan penyakit kuning, yang berindikasi sama dengan hepatitis," tutur Djoko Hargono. Karena itu, Djoko menilai, klaim jamu penyakit kuning itu terlalu dini. "Kalau sampai muncul di iklan, ini yang kita cemaskan," katanya. Kekhawatiran Djoko justru karena Depkes menyambut baik upaya Icterina meningkatkan formulanya/ dari obat tradisional ke golongan obat fitoterapi. "Apakah betul obat ini berkhasiat terhadap hepatitis, itu masih harus diteliti dulu, kita tunggu saja hasilnya nanti," tambah Djoko. "Sampai sekarang kami belum mendapat laporan." Konon, Icterina memang sedang menjalani penelitian farmakologis. Menurut Djoko Hargono, peningkatan jumlah obat fitoterapi sampai kini masih jauh dari yang diharapkan. Sejak digiatkan tiga tahun lalu, dari 3.000 jamu yang terdaftar, hanya 10 yang berhasil mendapat pengakuan sebagai obat fitoterapi. Sebabnya, lamanya masa penelitian, juga "besarnya biaya yang harus dikeluarkan produsen jamu untuk itu," ujarnya. Paling tidak, uji manfaat dan penelitian laboratorium makan dana 5 juta sampai 6 juta rupiah. Sayang, karena, "Banyak sekali bahan obat tradisional yang layak diusulkan untuk obat fitoterapi," tambah Djoko. Sekitar 50 jenis tanaman yang banyak digunakan untuk jamu dan obat tradisional tercatat dalam buku Obat Kelompok Fitoterapi yang diterbitkan Depkes pada tahun 1985. Moebanoe Moera, Yusroni H. (Jakarta), Riza Sofyat, Agung Firmansyah (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus