Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi Kerakyatan

13 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Dawam Rahardjo
Ketua Dewan Pakar Infid

EKONOMI Kerakyatan adalah istilah yang relatif baru. Istilah ini mulai diperkenalkan oleh Prof Sarbini Sumawinata, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pada 1985, dalam artikelnya di majalah Prisma. Dalam penjelasannya, Ekonomi Kerakyatan bukanlah suatu ideologi atau konsep sistem ekonomi, melainkan suatu gagasan mengenai cara, sifat, dan tujuan pembangunan, dengan sasaran utama perbaikan nasib rakyat yang umumnya hidup di pedesaan. Asumsinya pada waktu itu adalah 80 persen penduduk Indonesia hidup di pedesaan, 40 persen di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan.

Konsep Ekonomi Kerakyatan dalam pandangan Sarbini adalah bagian dari ideologi Sosialisme Kerakyatan, yang dicetuskan pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sutan Sjahrir, pada 1947. Ekonomi Kerakyatan adalah komponen ekonomi dari ideologi Sosialisme Kerakyatan yang mencakup berbagai sektor kehidupan, bertolak dari suatu konsep politik kebudayaan yang berintikan kebebasan, pembebasan, dan kemajuan—yang menganggap Marxisme dan Komunisme adalah ajaran yang ketinggalan zaman. Penganut utama ideologi ini antara lain adalah Soedjatmoko, Sarbini, dan muridnya, Dr Sjahrir.

Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan adalah suatu konsep strategi pembangunan dalam konteks Indonesia. Inti konsep ini adalah pembangunan pedesaan dan industrialisasi pedesaan dalam arti luas, yang mencakup mekanisasi pertanian dalam rangka pemberantasan kemiskinan, melalui penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan rakyat kecil dalam pengertian petit peuple atau wong cilik. Namun rakyat kecil ini bukan hanya sasaran atau pelengkap penderita dalam pembangunan, melainkan juga pelaku ekonomi aktif. Hanya, yang bertugas menggerakkan pembangunan ini adalah negara atau pemerintah. Hal itu dilakukan melalui alokasi anggaran khusus dan berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat dan yang menghilangkan hambatan yang merintangi kegiatan produktif rakyat—yang terkandung dalam sistem kapitalisme pasar bebas dan monopoli korporasi.

Dalam konsep ini, Sarbini tidak memasang target kuantitatif pertumbuhan ekonomi, namun mensyaratkan besaran investasi. Misalnya, ia memperkirakan bahwa untuk menciptakan lapangan kerja, setiap orang membutuhkan investasi US$ 5.000 guna membangun 5.000 desa per tahun, dan dalam jangka waktu 10-15 tahun untuk membangun 50-60 ribu desa di seluruh Indonesia. Dana yang sekarang disebut stimulus fiskal itu diarahkan untuk membangun sektor pertanian dan kelautan, yang disertai dengan pengembangan industri kecil yang menyerap tenaga kerja 10-15 orang per unit usaha atau kelompok.

Dalam konsep itu, ia tidak memikirkan dan bahkan menentang subsidi yang menimbulkan moral-hazard. Dana itu harus dipergunakan untuk memberdayakan pelaku ekonomi kecil melalui kredit. Untuk itu, diperlukan pembentukan lembaga bank yang khusus. Ia juga tidak setuju dengan pelaksanaan pembangunan melalui birokrasi, melainkan melalui dan untuk membentuk civil society. Peranan lembaga ekonomi rakyat semacam koperasi, lumbung desa, dan LSM dipandang sangat strategis.

Konsep Ekonomi Kerakyatan ini bagaikan pisau bermata dua. Ia melawan dominasi korporasi kapitalis monopoli, tetapi juga menentang Sosialisme-Stalinis, di mana negara mendominasi perekonomian masyarakat. Ia melawan sistem pasar bebas, tapi juga menentang etatisme. Dalam dikotomi Sosialisme-Kapitalisme, Ekonomi Kerakyatan Sarbini sebenarnya mengikuti teori Ekonomi Keynesian, yang memandang penting peranan negara melalui stimulus-fiskal.

Tentu ada persamaan dan perbedaan antara Ekonomi Keynesian dan Ekonomi Kerakyatan. Persamaannya adalah keduanya bertujuan menciptakan lapangan kerja baru, melalui peningkatan pendapatan, menciptakan daya beli, dan permintaan efektif (effective demand). Keduanya adalah juga skema ekonomi ”Dorongan Besar” (Big Push) seperti dipikirkan oleh Hirshman.

Perbedaannya, dalam Keynesian seperti dilaksanakan pada program New Deal AS dan pemulihan ekonomi Eropa Barat pasca-Perang Dunia II, lapangan kerja diwujudkan melalui pembentukan unit ekonomi skala besar yang didukung teknologi tinggi. Sebaliknya, dalam Ekonomi Kerakyatan kegiatan ekonomi digerakkan oleh usaha-usaha skala kecil dengan dukungan teknologi madya melalui industrialisasi pedesaan yang mencakup juga mekanisasi pertanian. Perbedaan lain adalah bahwa fokus Ekonomi Keynesian adalah penciptaan lapangan kerja dan permintaan efektif untuk menggerakkan industri yang telah mencapai kelebihan produksi, sedangkan Ekonomi Kerakyatan lebih bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (basic needs) yang berorientasi pada pasar domestik.

Bagi Mubyarto, Ekonomi Kerakyatan adalah ekonomi yang sudah dan masih hidup dalam masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-20. Namun, Ekonomi Rakyat itu berada dalam bahaya karena datangnya sistem, struktur, dan politik ekonomi kapitalis neo-kolonial. Sebagaimana dianjurkan Hatta, Ekonomi Rakyat itu harus diberdayakan melalui koperasi. Maka, ketika Ginandjar Kartasasmita diangkat menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan kemudian Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Mubyarto ditunjuk menjadi staf ahli Menteri Koordinator Bidang Pemerataan Pembangunan dan Pemberantasan Kemiskinan.

Sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Ginandjar memusatkan perhatiannya pada segi pemerataan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi rakyat ketimbang pertumbuhan ekonomi. Pada 1993, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Sebenarnya, IDT sejalan dengan konsep Ekonomi Kerakyatan Sarbini. Hanya, sementara sasaran konsep Sarbini adalah semua desa di Indonesia, IDT lebih fokus pada 28.223 desa yang masih tertinggal dengan 3,4 juta kepala keluarga miskin dalam pola Gerakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan.

Ada tiga komponen dalam program nasional itu, yakni pembangunan prasarana desa, pinjaman bergulir, dan pendampingan oleh sarjana yang bekerja purna-waktu. Di sini pemberantasan kemiskinan bukan hanya suplemen pertumbuhan ekonomi, melainkan program pokok. Pertumbuhan ekonomi hanyalah salah satu dampak atau hasil, bukan tujuan utama. Strateginya adalah penciptaan lapangan kerja sebagaimana disarankan Mahbub ul Haq dari UNDP.

Ciri pembangunan Ekonomi Kerakyatan versi Ginandjar-Mubyarto ini adalah fokus pada pemberantasan kemiskinan, dan dilaksanakan melalui desentralisasi sebagai wujud dari pemerataan pembangunan. Kesamaan dengan Sarbini adalah keduanya mengambil sasaran spasial, yaitu satuan desa. Kedua, menempuh strategi pemberdayaan kelompok-kelompok ekonomi rakyat. Ketiga, memerankan lembaga-lembaga civil society, meski dengan dukungan dan kerja sama dengan birokrasi. Keempat, negara berperan aktif yang terbatas, yaitu melalui stimulus fiskal dan pendampingan di lapangan. Pola peranan negara adalah Negara Aktif (Active State), tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip liberalisme yang menekankan peran civil society.

Program yang mendasarkan diri pada pengertian mengenai ”kemiskinan struktural” yang didukung program pembangunan infrastruktur pedesaan ini kemudian mendapat reaksi dari Haryono Suyono, sosiolog yang juga Kepala BKKBN, yang memusatkan perhatian pada aspek kependudukan dan keluarga, terutama perempuan. Dalam survei sosiologinya melalui Ikatan Sosiologi Indonesia, ia menemukan bahwa pemberantasan kemiskinan struktural skala desa ini tidak bisa mencakup semua orang miskin, terutama di desa-desa yang tidak tergolong tertinggal. Di desa-desa yang sudah maju pun ternyata masih ada kantong kemiskinan. Sebagai alternatifnya, ia mengusulkan program yang fokus pada keluarga miskin di semua desa. Melalui BKKBN, ia meluncurkan program pengembangan ekonomi keluarga yang lebih berdimensi gender, di mana perempuan memainkan peranan sentral dalam kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan keluarga.

Berbeda dengan konsep Sarbini dan Ginandjar-Mubyarto, Haryono Suyono tidak memanfaatkan dana stimulus fiskal, melainkan dana Corporate Social Responsibility (CSR), yang dikumpulkan lewat keputusan presiden yang mengharuskan perusahaan yang memiliki laba minimal Rp 100 juta per tahun menyisihkan 6 persen labanya untuk pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Program utamanya adalah pemberian pinjaman, kegiatan produksi, dan tabungan kelompok masyarakat. Instrumennya adalah Kukesra (Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat) dan Takesra (Tabungan Kesejahteraan Rakyat).

Dampak dua versi program Ekonomi Kerakyatan itu baru muncul justru setelah munculnya krisis keuangan dan ekonomi pada 1997. Terutama di bidang agribisnis dan usaha mikro, serta industri kreatif, yang tidak dilihat dalam konsep Ekonomi Kerakyatan Sarbini. Dampak lain adalah berkembangnya lembaga keuangan mikro sebagai simbol swadaya rakyat di bidang permodalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus