Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Yang penting basa-basi

Suka duka dan pengalaman awak kapal "prinsendam" yang 90% adalah orang indonesia, a.l: menyatakan bahwa mereka selalu rindu keluarga, walaupun uang mudah didapat.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL Prisendam, sejak 31 Oktober yang lalu mencari mangsa di Indonesia. Untuk jangka waktu 6 bulan, kemewahan yang ada di geladak, di perut kapal, dipersembahkan kepada mereka yang ingin menghabiskan Rp 352 ribu dalam 5 hari. Kapal pesiar ini bertolak dari Tanjung Priok langsung menuju ke Bali, nonstop selama 2 hari. Di pulau turis itu menanam jangkarnya selama satu setengah hari. Selanjutnya balik kembali ke Jakarta lewat Surabaya. Dalam pesantaian terapung, tersedia banyak kenikmatan yang bagi orang kebanyakan seperti mimpi. Ada kolam renang, bioskop, salon, diskotik, toko suvenir dan tentu saja angin laut. Kata orang, untuk dapat tempat di sini, mereka harus pesan 1 sampai 2 bulan sebelumnya. Alhamdulillah orang Indonesia yang melongok dari dekat keajaiban ini cukup banyak. Ada yang sebagai penumpang terhormat, ada pula yang bekerja di kapal itu sebagai pelayan. Istilah kerennya steward. Bina Ria Disebut pelayan sebetulnya memang tidak pantas - mengingat pendapatan orang-orang ini bisa mencapai Rp 300 ribu sebulan. Tukiman, yang menjabat sebagai cabin steward, sebenarnya resmi menerima gaji $ 122,93. Kalau lembur bisa mencapai $ 175 itu paling banter sekitar Rp 73.500 (kalau $ 1 dianggap Rp 420). Tapi karena ia bekerja membersihkan kamar penumpang, ia banyak terima tip. Apalagi kerja di bagian sun deck - kelas satu - dengan pelayan-pelayan yang benar-benar pilihan. Paling tidak para penumpang memberi tip $ 2. Bahkan banyak di antaranya sampai 10 atau 12 dolar. Maklum lagi senang-senang. Tukiman berusia 32 tahun. Waktu masih sekolah di SMA, dia sudah bekerja di percetakan uang Kebayoran. Pekerjaan itu memberinya jodoh, tapi bukan hari depan. Karena itu sambil membiarkan terus isterinya bekerja di tempat yang sama, ia sendiri mengembara ikut kapal. Penukaran arah itu menyebabkan ia sempat melihat wajah negeri-negeri lain. Di kawasan sana pulalah ia berhasil menabung banyak tip. sehingga sampai sekarang tabungannya mencapai Rp 1,5 juta. Apa nggak ngiler. Tapi bagi Tukiman, uang akhirnya bukan satu-satunya tujuan. "Kalau ada kerja yang gajinya bisa sama, mau aja." ujarnya "daripada jadi crew kapal kayak gini. Materi memang menang, tapi bobrok di dalam." Bahagia bagi orang kapal ini adalah, bila ia berkumpul kembali dengan keluarga. Selama Prinsendam di Indonesia setiap hari Senin pada minggu kedua ia memperoleh waktu bebas antara pukul 10.00 sampai pukul 17.00. Waktu inilah ketiga anaknya menggelayut minta dimanjakan. Tukiman pun membuka dompet lebar-lebar, ambil taksi menuju ke Bina Ria. Makan kenyang di restoran, minum es serta bersantai bagai penumpang Prinsendam yang biasa ia layani. Yang sedikit terhambur, ngak apa. "Di situlah kebahagiaan saya, kalau lihat anak isteri seneng diajak jalan. Habis jarang sekali sih !" Tak heranlah, setiap kapal merapat pelabuhan pada hari hari kesempatan ini, ia gentayangan kehilangan konsentrasi. Kerjanya dikebut. "Tempat tidur penumpang dibersihin kilat, karpet digosok-gosok aja, meja dikebut-kebut aja biar cepet beres supaya nggak ada lembur, lalu langsung lari pulang nemuin anak-isteri," katanya terus terang. Kecuali nasibnya lebih mujur, pelayan kapal juga sama saja dengan pelayan hotel. Hidupnya di bawah hidung para tamu. Orang-orang berduit itulah raja dan sekaligus tambang tip. Pelayanan tidak boleh tanggung, pakai ilmu jiwa juga sedikit-sedikit. Misalnya, bila ada penumpang yang makan buah di kamar bahwa dia mesti mengambil piring kecil, serbet, pisau. Tanpa diminta, katakanlah sebelum diminta. Yahudi Lalu kalau perjalanan kemudian berakhir, maka Tukiman harus memilih pertanyaan-pertanyaan yang cerdik. Misalnya saja: "Bagaimana perjalanannya, bagus kagak?" Menurut Tukiman, inilah yang menelurkan tip. Penumpang-penumpang asing terutama sangat lemah terhadap keramahan semacam ini. Tukiman seringkali dapat kartu Natal, meski pun dia Islam. Bahkan ada penumpang yang menjadi sentimentil, menangis pada akhir perjalanannya. "Pokoknya," kata Tukiman lagi, "yang penting harus banyak basa-basi dengan penumpang." Tetapi setelah membelah laut di Indonesia, dengan penumpang tetap selama 5 hari atau 14 hari (Jakarta, Penang, Belawan, Sibolga), pendapatan Tukiman sebenarnya mel1yusut - karena tipnya hanya satu kali. Berbeda dengan tatkala kapal beroperasi di sekitar Amerika. Dari Alaska biasanya Tukiman selalu bawa satu kopor pakaian. Sepatu untuk isteri saja bisa sampai 7 pasang. Lewat pelabuhan Surabaya segalanya akan lancar. Berbeda dengan pelabuhan Tanjung Priok yang mesti pakai semir-semiran. Di sini juga ada beberapa buah pos yang hams ditembus para keluarga yang ingin ketemu. Tiap pos adakalanya minta persen Rp 1000. "Sedih juga. Mana isteri anak lagi kangen, waktu hanya sedikit, dibikin susah untuk ketemu lagi" kata Tukiman. Untunglah sekarang jaian sudah lebih rata, mungkin sedang takut kena cakar Opstib. Di Prisendam, 90 prosen awak kapal adalah orang Indonesia. Jumlahnya 110 orang. Mereka bekerja keras, meskipun sempat ikut nonton sana nonton sini. Tak heran kalau Marlan, 33 tahun dan kepala steward yang mendapat julukan 'Marlon Brando,' sempat mengeluh. "Kalau misalnya hari ini ada kerja di darat yang lebih enak, hari ini juga saya turun dari kapal ini." Mungkin terdorong oleh rasa trenyuh: satu ketika, tatkala ia pulang, anak pertamanya yang berusia 5 tahun tak mau digendong. Habis tak kenal bapaknya. Sementara kesempatan bertemu hanya 2 sampai 3 jam. "Sedih sekali," kata Marlan. Yang juga menyedihkan adalah menghadapi tamu yang cerewet. Jenis ini justru paling banyak. Maklum tamu sadar bayar mahal. Menurut Marlan, terutama orang Yahudi benar-benar menjengkelkan. "Bayangin aja, kalau minta kopi panas harus yang panaaaasss, kalau dingin harus yang dingiiiinnn. Pokoknya kita digencet terus. Sialan," kata Marlan sambil tertawa keras-keras. Mungkin ia tiba-tiba sadar: menghadapi berbagai macam bangsa -- kadangkala 17 bangsa sekaligus -- ia bisa dapat banyak belajar warna lokal. Jerman misalnya, menonjol maunya yang serba cepat. Sehingga Marlan merasa tiba-tiba diperlakukan sebagai robot. Marlon Brando gadungan ini juga sama dengan Tukiman: paling sayang anak dan bini. Orang Batak ini mengaku tidak pernah main begituan. Perkara cinta keluarga katanya dipegangnya kuat-kuat, tidak seperti yang diceritakan orang tentang pelaut pada umumnya. Ini ada contohnya. Satu saat ia berada di kapal kargo, tabrakan di muka Hongkong. "Hanya satu yang saya ingat," kata Marlan, "Saya ikat cincin kawin ini kuat-kuat, supaya nanti kalau jadi mayat, isteri tahu bahwa ini mayat suaminya." Bangkrut Duit bukan satu-satunya tujuan awak kapal. Agustinus Hartono, pemuda Jawa yang manis tingkah dan manis wajahnya, memasuki kapal untuk dapat melihat langit mancanegara. Lelaki usia 24 tahun dan tinggi 1.70 Cm ini anak seorang ABRI. Mulanya berminat masuk perguruan tinggi di Jerman, kemudian ia lebih tertarik bekerja di Rotterdam untuk bisa keliling Amerika. Baru awal tahun ini ia dikontrak Prinsendam. Kedudukannya sekarang bagus, head steward. Termasuk awak yang paling disukai. Gesit, rajin, mukanya kekanak-kanakan, meskipun matanya agak cekung akibat bergadang. Tono rata-rata tidur pukul 1 malam untuk siap lagi pada pukul 6 pagi. Cerita seorang bujangan di kapal, tentu saja lain dari mereka yang sudah berkeluarga. Keramahtamahan serta ketenangan Tono sudah dibawanya sejak ia berada di kapal lain. Seorang Amerika sempat tertarik pada anak muda ini. Tono dijamu di rumahnya. Dikenalkannya kepada anaknya. Kebetulan seorang nona yang aduhai, sehingga terjalin cinta. Tak sempat menjadi perkawinan, karena Tono merasa tidak cocok. "Biar bagaimana pun kehidupan kita dengan mereka tidak cocok. Terlalu bebas," kata Tono. Alasan lain, mungkin: pemuda ini adalah tumpuan keluarganya yang memiliki 4 anak. "Saya tidak mau berhenti bekerja di laut sebelum kawin," ujar Tono kepada Linda Djalil dari TEMPO. Bulan Desember ini kontraknya berakhir. Dia bisa cuti 2 bulan. Pelayan-pelayan lain yang kontraknya habis juga bisa cuti. Lalu bisa teken kontrak lagi. Bagi mereka yang tak suka kerja kantor dengan udara yang beku, dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung rutin, inilah agaknya pekerjaan yang pantas. Ada duit, ada cinta kalau mau, ada juga gelombang yang bisa bikin tunggang-langgang. Sering pula ada pengalaman lucu. Misalnya tatkala Tono satu ketika maki-maki menghadapi tamu bangsa Belanda yang bawel. "Aduh, ini orang makannya banyak bener sih," desisnya. Tak dinyana tamu itu kontan menjawab dalam bahasa Indonesia: "Tidak, saya tidak makan banyak!" Yang penting, asal bos-bos jangan terlalu sering ulang tahun. Baru-baru ini misalnya Tono dan Marlon Brando Batak itu terpaksa patungan untuk membelikan bosnya hadiah ulang tahun berupa jam tangan Omega. Harganya tidak tanggung-tanggung: $ 185. "Bangkrut kalau ada yang terus-terusan ulang tahun," kata pemuda yang kalem itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus