KAPAL Prisendam, sejak 31 Oktober yang lalu mencari mangsa di
Indonesia. Untuk jangka waktu 6 bulan, kemewahan yang ada di
geladak, di perut kapal, dipersembahkan kepada mereka yang ingin
menghabiskan Rp 352 ribu dalam 5 hari. Kapal pesiar ini bertolak
dari Tanjung Priok langsung menuju ke Bali, nonstop selama 2
hari. Di pulau turis itu menanam jangkarnya selama satu setengah
hari. Selanjutnya balik kembali ke Jakarta lewat Surabaya.
Dalam pesantaian terapung, tersedia banyak kenikmatan yang bagi
orang kebanyakan seperti mimpi. Ada kolam renang, bioskop,
salon, diskotik, toko suvenir dan tentu saja angin laut. Kata
orang, untuk dapat tempat di sini, mereka harus pesan 1 sampai 2
bulan sebelumnya. Alhamdulillah orang Indonesia yang melongok
dari dekat keajaiban ini cukup banyak. Ada yang sebagai
penumpang terhormat, ada pula yang bekerja di kapal itu sebagai
pelayan. Istilah kerennya steward.
Bina Ria
Disebut pelayan sebetulnya memang tidak pantas - mengingat
pendapatan orang-orang ini bisa mencapai Rp 300 ribu sebulan.
Tukiman, yang menjabat sebagai cabin steward, sebenarnya resmi
menerima gaji $ 122,93. Kalau lembur bisa mencapai $ 175 itu
paling banter sekitar Rp 73.500 (kalau $ 1 dianggap Rp 420).
Tapi karena ia bekerja membersihkan kamar penumpang, ia banyak
terima tip. Apalagi kerja di bagian sun deck - kelas satu -
dengan pelayan-pelayan yang benar-benar pilihan. Paling tidak
para penumpang memberi tip $ 2. Bahkan banyak di antaranya
sampai 10 atau 12 dolar. Maklum lagi senang-senang.
Tukiman berusia 32 tahun. Waktu masih sekolah di SMA, dia sudah
bekerja di percetakan uang Kebayoran. Pekerjaan itu memberinya
jodoh, tapi bukan hari depan. Karena itu sambil membiarkan terus
isterinya bekerja di tempat yang sama, ia sendiri mengembara
ikut kapal. Penukaran arah itu menyebabkan ia sempat melihat
wajah negeri-negeri lain. Di kawasan sana pulalah ia berhasil
menabung banyak tip. sehingga sampai sekarang tabungannya
mencapai Rp 1,5 juta. Apa nggak ngiler. Tapi bagi Tukiman, uang
akhirnya bukan satu-satunya tujuan. "Kalau ada kerja yang
gajinya bisa sama, mau aja." ujarnya "daripada jadi crew kapal
kayak gini. Materi memang menang, tapi bobrok di dalam."
Bahagia bagi orang kapal ini adalah, bila ia berkumpul kembali
dengan keluarga. Selama Prinsendam di Indonesia setiap hari
Senin pada minggu kedua ia memperoleh waktu bebas antara pukul
10.00 sampai pukul 17.00. Waktu inilah ketiga anaknya
menggelayut minta dimanjakan. Tukiman pun membuka dompet
lebar-lebar, ambil taksi menuju ke Bina Ria. Makan kenyang di
restoran, minum es serta bersantai bagai penumpang Prinsendam
yang biasa ia layani. Yang sedikit terhambur, ngak apa. "Di
situlah kebahagiaan saya, kalau lihat anak isteri seneng diajak
jalan. Habis jarang sekali sih !"
Tak heranlah, setiap kapal merapat pelabuhan pada hari hari
kesempatan ini, ia gentayangan kehilangan konsentrasi. Kerjanya
dikebut. "Tempat tidur penumpang dibersihin kilat, karpet
digosok-gosok aja, meja dikebut-kebut aja biar cepet beres
supaya nggak ada lembur, lalu langsung lari pulang nemuin
anak-isteri," katanya terus terang.
Kecuali nasibnya lebih mujur, pelayan kapal juga sama saja
dengan pelayan hotel. Hidupnya di bawah hidung para tamu.
Orang-orang berduit itulah raja dan sekaligus tambang tip.
Pelayanan tidak boleh tanggung, pakai ilmu jiwa juga
sedikit-sedikit. Misalnya, bila ada penumpang yang makan buah di
kamar bahwa dia mesti mengambil piring kecil, serbet, pisau.
Tanpa diminta, katakanlah sebelum diminta.
Yahudi
Lalu kalau perjalanan kemudian berakhir, maka Tukiman harus
memilih pertanyaan-pertanyaan yang cerdik. Misalnya saja:
"Bagaimana perjalanannya, bagus kagak?" Menurut Tukiman, inilah
yang menelurkan tip. Penumpang-penumpang asing terutama sangat
lemah terhadap keramahan semacam ini. Tukiman seringkali dapat
kartu Natal, meski pun dia Islam. Bahkan ada penumpang yang
menjadi sentimentil, menangis pada akhir perjalanannya.
"Pokoknya," kata Tukiman lagi, "yang penting harus banyak
basa-basi dengan penumpang."
Tetapi setelah membelah laut di Indonesia, dengan penumpang
tetap selama 5 hari atau 14 hari (Jakarta, Penang, Belawan,
Sibolga), pendapatan Tukiman sebenarnya mel1yusut - karena
tipnya hanya satu kali. Berbeda dengan tatkala kapal beroperasi
di sekitar Amerika. Dari Alaska biasanya Tukiman selalu bawa
satu kopor pakaian. Sepatu untuk isteri saja bisa sampai 7
pasang. Lewat pelabuhan Surabaya segalanya akan lancar.
Berbeda dengan pelabuhan Tanjung Priok yang mesti pakai
semir-semiran. Di sini juga ada beberapa buah pos yang hams
ditembus para keluarga yang ingin ketemu. Tiap pos adakalanya
minta persen Rp 1000. "Sedih juga. Mana isteri anak lagi kangen,
waktu hanya sedikit, dibikin susah untuk ketemu lagi" kata
Tukiman. Untunglah sekarang jaian sudah lebih rata, mungkin
sedang takut kena cakar Opstib.
Di Prisendam, 90 prosen awak kapal adalah orang Indonesia.
Jumlahnya 110 orang. Mereka bekerja keras, meskipun sempat ikut
nonton sana nonton sini. Tak heran kalau Marlan, 33 tahun dan
kepala steward yang mendapat julukan 'Marlon Brando,' sempat
mengeluh. "Kalau misalnya hari ini ada kerja di darat yang lebih
enak, hari ini juga saya turun dari kapal ini." Mungkin
terdorong oleh rasa trenyuh: satu ketika, tatkala ia pulang,
anak pertamanya yang berusia 5 tahun tak mau digendong. Habis
tak kenal bapaknya. Sementara kesempatan bertemu hanya 2 sampai
3 jam. "Sedih sekali," kata Marlan.
Yang juga menyedihkan adalah menghadapi tamu yang cerewet. Jenis
ini justru paling banyak. Maklum tamu sadar bayar mahal. Menurut
Marlan, terutama orang Yahudi benar-benar menjengkelkan.
"Bayangin aja, kalau minta kopi panas harus yang panaaaasss,
kalau dingin harus yang dingiiiinnn. Pokoknya kita digencet
terus. Sialan," kata Marlan sambil tertawa keras-keras. Mungkin
ia tiba-tiba sadar: menghadapi berbagai macam bangsa --
kadangkala 17 bangsa sekaligus -- ia bisa dapat banyak belajar
warna lokal. Jerman misalnya, menonjol maunya yang serba cepat.
Sehingga Marlan merasa tiba-tiba diperlakukan sebagai robot.
Marlon Brando gadungan ini juga sama dengan Tukiman: paling
sayang anak dan bini. Orang Batak ini mengaku tidak pernah main
begituan. Perkara cinta keluarga katanya dipegangnya kuat-kuat,
tidak seperti yang diceritakan orang tentang pelaut pada
umumnya. Ini ada contohnya. Satu saat ia berada di kapal kargo,
tabrakan di muka Hongkong. "Hanya satu yang saya ingat," kata
Marlan, "Saya ikat cincin kawin ini kuat-kuat, supaya nanti
kalau jadi mayat, isteri tahu bahwa ini mayat suaminya."
Bangkrut
Duit bukan satu-satunya tujuan awak kapal. Agustinus Hartono,
pemuda Jawa yang manis tingkah dan manis wajahnya, memasuki
kapal untuk dapat melihat langit mancanegara. Lelaki usia 24
tahun dan tinggi 1.70 Cm ini anak seorang ABRI. Mulanya berminat
masuk perguruan tinggi di Jerman, kemudian ia lebih tertarik
bekerja di Rotterdam untuk bisa keliling Amerika. Baru awal
tahun ini ia dikontrak Prinsendam. Kedudukannya sekarang bagus,
head steward. Termasuk awak yang paling disukai. Gesit, rajin,
mukanya kekanak-kanakan, meskipun matanya agak cekung akibat
bergadang. Tono rata-rata tidur pukul 1 malam untuk siap lagi
pada pukul 6 pagi.
Cerita seorang bujangan di kapal, tentu saja lain dari mereka
yang sudah berkeluarga. Keramahtamahan serta ketenangan Tono
sudah dibawanya sejak ia berada di kapal lain. Seorang Amerika
sempat tertarik pada anak muda ini. Tono dijamu di rumahnya.
Dikenalkannya kepada anaknya. Kebetulan seorang nona yang
aduhai, sehingga terjalin cinta. Tak sempat menjadi perkawinan,
karena Tono merasa tidak cocok. "Biar bagaimana pun kehidupan
kita dengan mereka tidak cocok. Terlalu bebas," kata Tono.
Alasan lain, mungkin: pemuda ini adalah tumpuan keluarganya yang
memiliki 4 anak.
"Saya tidak mau berhenti bekerja di laut sebelum kawin," ujar
Tono kepada Linda Djalil dari TEMPO. Bulan Desember ini
kontraknya berakhir. Dia bisa cuti 2 bulan. Pelayan-pelayan lain
yang kontraknya habis juga bisa cuti. Lalu bisa teken kontrak
lagi. Bagi mereka yang tak suka kerja kantor dengan udara yang
beku, dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung rutin, inilah
agaknya pekerjaan yang pantas. Ada duit, ada cinta kalau mau,
ada juga gelombang yang bisa bikin tunggang-langgang. Sering
pula ada pengalaman lucu. Misalnya tatkala Tono satu ketika
maki-maki menghadapi tamu bangsa Belanda yang bawel. "Aduh, ini
orang makannya banyak bener sih," desisnya. Tak dinyana tamu itu
kontan menjawab dalam bahasa Indonesia: "Tidak, saya tidak makan
banyak!"
Yang penting, asal bos-bos jangan terlalu sering ulang tahun.
Baru-baru ini misalnya Tono dan Marlon Brando Batak itu terpaksa
patungan untuk membelikan bosnya hadiah ulang tahun berupa jam
tangan Omega. Harganya tidak tanggung-tanggung: $ 185. "Bangkrut
kalau ada yang terus-terusan ulang tahun," kata pemuda yang
kalem itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini