KARYA grafis di kalangan kita memang belum seakrab senilukis cat
di kanvas. Pameran grafis Jerman Barat (di Ruang Pameran TIM 9
s/d 19 Desember, didalangi Dean Kesenian Jakarta dan Goethe
Institut), karena itu sebagaimana pameran grafis yang lain
banyak memberi bahan perbandingan.
Di situ bisa dilihat lebih dari 60 buah karya dari
seniman-seniman yang dianggap punya reputasi internasional.
Bukan hanya sejumlah ide, tapi juga teknik yang mantap.
Perkawinan ide dan teknik itu berlangsung dengan baik, sehingga
di samping kita diberi problem kita tidak disiksa untuk
memaafkan keteledoran pertukangan. Ini menyebabkan karya-karya
itu mudah dinikmati.
Sebuah karya cukilan kayu berwarna bernama The Realist in Art.
Diciptakan oleh Arwerd D. Gorella ( 40 tahun), Di sana tampak
Karl Mar sedang berhadapan dengan Gustave Courbert. Di atasnya
ada sindiran kira-kira berbunyi: "Karl Marx dan Gustave Courbert
berdiskusi tentar realisme, Paul Ceanne (pelukis) sebaliknya
langsung pergi melihat pemandangan alam." Karya ini barangkali
termasuk sebagian dari karya yang bisa langsung dinikmati.
Di bawah ini tulisan Bambang Bujono, seorang kritikus senirupa
yang juga pelukis, memberi informasi di sekitar seni yang di
masa datang bisa dipastikan akan Iebih populer di Indonesia ini.
Mungkin karena ukurannya yang relatif kecil dibanding lukisan
cat minyak atau akrilik, lembaga-lembaga kebudayaan luar negeri
lebih suka memamerkan karya grafis negeri mereka daripada
lukisannya, di Indonesia. Tentu juga karena karya grafis bisa
dicetak banyak, risiko rusak cukup bisa ditanggung.
Kita, Jakarta khususnya, telah sempat menyaksikan karya grafi
Australia Belanda, Swedia, Perancis, Amerika Serikat, Jepang,
Italia, Jerman Barat. Bukan lagi kejutan -- setelah beberapa
seniman kita pulang dari luar negeri membawa informasi dan
terutama buku-buku. Hanya mungkin kita berhak iri. Peralatan
berbagai macam teknik grafis, yang memungkinkan melahirkan karya
grafis yang bisa dijual murah, di sini tidak lengkap.
Misalnya saja untuk cetak batu (lithografi). Konon teknik ini
paling disuka. Soalnya paling luwes: kalau membual gambarnya
memakai cat air, hasilnya, ya, seperti cat air kalau memakai
potlot ya seperti potlot dan seterusnya. Batu untuk keperluan
itu di Indonesia dapat dijumpai di studio grafis Seni Rupa ITB.
Lalu favorit nomor dua jatuh pada cetak saring (silk- screen)
Teknik ini memang cemerlang: kalau mau bikin grafis pakai warna,
dengan cetak saring dianung warna bisa hebat, bersih, manyala.
Juga ini praktis dan komersiil. Poster-poster TIM misalnya, yan
disebarkan ke seantero Jakarta, dicetak dengan teknik cetak
saring. Meskipun pengerjaannya masih "primitif", untuk
mempropagandakan kegiatan TIM lumayanlah. Primitif? Foto-foto
belum bisa menghiasi poster-poster TIM. Sedan cat yang dipakai
agaknya kwalitas bawah. Tapi yang memungkinkan foto dicetak
dengan cetak saring, yang disebut ortho-film, memang tidak
murah.
Yang paling tua dan paling ekonomis adalah cukilan kayu. Bukan
berarti tak bisa mengikuti zanan. Dalam pameran grafis Jerman
Barat ini, HAP Grieshaber menyuguhkan cukilan kayu berwarna yang
hebat. Paling tidak dalam ukurannya yang lebih dari setengah
meter persegi ilu. Dulu, cukilan kayu hanya kecil-kecilan,
kebanyakan seukuran kertas folio. Mungkin bagi mereka yang tak
kenal bagaimana mengerjakan cukilan kayu, melihat karya
Grieshaber biasabiasa saja reaksinya. Tapi yang mengalami
bagaimana mencukil-cukil kayu berukuran lebih setengah meter
persegi, yang nantinya dipakai untuk mencetak grafis berwarna,
akan merasa bagaikan mengerjakan sawah sehektar dengan cangkul -
sendirian.
Respons terhadap teknik, guna memberi kejutan dalam karya
grafis, memang tidak jarang. Saya harap anda masih ingat pameran
grafis Belanda beberapa tahun silam, di TIM juga. Seorang
grafikus hanya membuat komposisi empat garis, tapi dikerjakan
dengan cetak saring -- hitam putih lagi. Ah, rasanya bagaikan
pergi ke Bogor dari Senen Raya naik pesawat jet saja! Tapi
itulah. Menerbitkan dimensi lain, yang menggelitik kepala dan
hati kita, dan menyebabkan kita berseru: wah! Wah itu boleh
kagum dan boleh sebaliknya.
Gambar Wayang
Mestinya kita tak usah jauhjauh melihat. Di beberapa rumah di
Jakarta saja kadang-kadang terpancang di temboknya atau gedeknya
gambar wayang. Dikerjakan dengan cukilan kayu, berwarna, cukup
rapi. Harganya tidak mahal Tetangga saya membelinya dua puluh
lima perak dari pasar. Konon asalnya dari Purwokerto dan
Purworejo di Jawa Tengah. Nah, kesenian rakyat ini tentulah
luput dari perhatian DKJ dan juga LPKJ. Seyogyanya ada riset
untuk lebih mengenalkan karya-karya itu, dan bila mungkin
mengembangkannya. Kalau sekali-sekali ketoprak boleh nongol di
Teater Tertutup, bisa difikirkan grafis wayang ini bisa dibawa
ke Ruang Pameran TIM. Tak perlu sendirian, mungkin bisa digabung
dengan kerajinan rakyat lainnya.
Media grafis juga amat luwes untuk menyesuaikan diri dengan
zaman. asanya seni rupa tak mau ketinggalan menyuguhkan kritik
sosial. Teknik grafis - terutama cetak saring - enak sekali buat
hal itu. Masih ingat pameran Hardi, itu anak muda yang
bersemangat protes? Dari foto dalam koran, atau hasil jepretan
sendiri, ditambah-tambah komentar ini-itu, lalu dicetak saring,
jadilah karya protes yang infonnatif, meski tidak selalu
orisinil.
Tulisan ini sekedar usul: setelah serentetan pameran karya
grafis luar negeri, mustinya kegiatan diimbangi dengan yang
dalam negeri.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini