SIAPA sebenarnya pemilik sebuah Surat Izin Terbit? Pada surat
yang dikeluarkan Departemen Penerangan untuk memperbolehkan
terbitnya sebuah koran (atau majalah), tercantum nama
perusahaan, nama penanggungjawab, pemimpin umum dan pemimpin
usaha. Di antara ke4 nama itu tak jelas benar mana yang paling
berhak sebagai pemegang SIT. Tapi mungkin kasus koran Empat Lima
yang terbit kembali harihari ini bisa merupakan preseden.
Koran ini mulai terbit 1973. Pemirnpin redaksinya Soegeng, kini
48 tahun, pernah bekerja dalam perbagai penerbitan yang dianggap
"pro Orde Lama": Elbahar dan Srikandi,Soegeng kemudian kemudian
memimpin koran mingguan Arena Warta, sejak awal 1969. Di tahun
1973 Soegeng bersedia bekerja sama dengan perwira intelijen,
Kol. Ngaeran. Lahirlah Empat Lima. Penerbitnya PT Inaltu sebuah
perusahaan industri alat tulis yang dipimpin Kol. Ngaeran.
Sebagai pemimpin umum R. Maladi, eks Menteri Penerangan zaman
Bung Karno dulu.
Nopember 1975 pimpinan PT Inaltu memutuskan menghentikan
penerbitan koran itu -- yang nampaknya memang belum berhasil di
pasaran, dengan oplah cuma 10.000. Tapi dua tahun kemudian Empat
Lima muncul lagi dengan pimpinan baru. Sebagai pemimpin umum
adalah Suhadi, 48 tahun, kelahiran Sala Direktur Utama PT
Inaltu, yang menggantikan Ngaeran yang meninggal Oktober 1974.
Sunadi, tamatan Akademi Militer Yogyakarta 1949, didampingi oleh
Zulharman, tokoh PWI Jakarta dan bekas pemimpin redaksi Harian
Kami, koran pelopor "Orde Baru" yang dibreidel setelah peristiwa
15 Januari 1974. Sejak 1 Desember yang lalu, Empat Lima muncul
teratur tiap hari.
Mengingat Sejarah
Tapi orang-orang Empat Lima lama merasa ditinggalkan. Dalam
keterangan kepada Merdeka 2 Desember yang lalu. Soegeng
menyatakan bahwa penerbitan kembali Empat Lima di luar sepenge
tahuannya. Mereka menyatakan diri sebagai "pemegang SIT".
Soegeng, kini ayah dan 5 anak dan kakek dari 3 cucu, kepada
wartawan TEMPO DS Karma menambahkan: "Mengingat sejarahnya, dan
nama saya tertulis dalam SIT, saya termasuk faktor yang tak bisa
ditinggalkan begitu saja dalam perobahan personalia SIT."
Menurut dia, perubahan itu harus disertai pernvataan tertulis
dari orang-orang yang diganti.
Suhadi sementara itu berpendapat lain soal tafsiran. Surat SIT
adalah satu dan dalam kenyataannya pemegang SIT adalah penerbit
yang berbentuk badan hukum, dan dalam hal Empat Lima adalah PT
Inaltu." Departemen Penerangan sejalan saja dengan pendapat ini.
Pejabat Deppen yang Mengurusi soal SIT, Koesoemo Atmoko,
menjelaskan kepada Aris Amiris dari TEMPO: "SIT diberikan bukan
kepada perorangan tapi kepada badan penerbit. Kalau ada ribut-
ribut itu urusan mereka."
Ketua Pelaksana PWI Pusat Harmoko juga berpendapat menyokong hak
penerbit. Soal perlunya surat pernyataan dari wartawan yang
diganti, kata Harmoko, adalah soal intern PT Inaltu. R. Maladi
sebagai orang yang diganti, juga tidak bersikeras nampaknya.
Meski ia tak dihubungi atau diajak bicara soal perubahan Empat
Lima, ia menganggap itu "tak jadi soal". Katanya: "Dulu pun saya
tak minta jabatan."
Tapi beberapa wartawan lama mpat Lima agak kecewa dengan sikap
Maladi, dan merasadisia-siakan oleh penerbit. Sementara itu
Soegeng masih menuntut: "Paling sedikit, harian Empat Lima yang
sekarang harus ganti SIT dan tak boleh pakai nama itu dan saya
dapat SIT lain." Entah bagaimana dia akan berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini