Selama tiga pekan, tubuh tipis Pak Sajuri—bukan nama sebenarnya—telentang tak berdaya di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Oksigen susah masuk ke paru-parunya yang telah dicekik Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) alias penyakit paru-paru kronis. Tim dokter yang merawatnya telah membuat sebuah sayatan kecil di atas pinggang kirinya. Sayatan yang, melalui seutas selang bening, bakal menghubungkan kantong paru-parunya yang malang dengan pemasok udara di luar tubuhnya.
Ketika TEMPO menghubunginya pekan lalu, Pak Sajuri sudah diperkenankan pulang. Namun, mengingat COPD bukan penyakit yang cepat berakhir, dokter mengharuskannya melanjutkan berobat jalan. Pada tahun ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan pengumuman yang memperingatkan kita: 4,8 juta warga Indonesia mengidap penyakit yang menyerang secara perlahan namun mematikan ini. Empat puluh tahun larut dalam kebiasaan merokok nonstop, misalnya, barulah Pak Sajuri mulai merasakan ada yang tak beres dengan sistem pernapasannya.
"Sejak umur 15 tahun," tutur sang Bapak, menggambarkan periode panjang persahabatannya dengan rokok. Umumnya penderita COPD berusia 40 tahun ke atas.
"Sifatnya progresif, ketika fungsi dan kemampuan aktivitas penyuplai udara tubuh tersebut terus memburuk dan tidak dapat pulih kembali normal. Kematian tidak segera datang, tetapi perlahan dengan sisa kehidupan yang diliputi keterbatasan dan kecacatan," tutur Hadiarto Mangunnegoro, seorang pakar paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pengetahuan penderita tentang kondisi paru-paru dan sepak terjang sang penyakit biasanya sangat terbatas. Jika kerusakan fungsi paru-paru mencapai 30 persen saja, penderita bisa menjalani kegiatan kesehariannya secara normal. Nyaris normal sebetulnya. Rasa sesak, batuk berat yang tak kunjung henti, dan sejumlah gejala serius lainnya mulai muncul manakala 50 persen dari paru-parunya tak berfungsi. Lantaran pasokan oksigen berkurang, pada periode ini dada si penderita berdebar-debar, napas terasa berat, dan tubuh gampang capek. Praktis, tanpa suplai oksigen yang cukup, energi yang didapat pun berkurang.
Jejak COPD memang tak gampang tercium. Tapi dunia kedokteran mendapati dua titik sasaran serangan COPD dalam sistem pernapasan manusia. Pertama, lewat bronkitis kronis atau infeksi pada cabang saluran napas yang mempunyai bulu-bulu getar penyaring benda asing. Karena reaksi radang ini, bulu getar rusak dan kelenjar-kelenjar di sepanjang saluran itu banyak mengeluarkan lendir. Sampai di sini, COPD kelihatan seperti asma. "Dalam hal ini pasien gampang terkena infeksi. Terkena flu sembuhnya lama dan ada infeksi lanjutan," kata Hadiarto Mangunnegoro.
Titik lemah kedua adalah jaringan paru itu sendiri. Jaringan paru jadi sasaran COPD setelah asap rokok menimbulkan kerusakan pada jaringan yang bersangkutan. Meski jalan napas tetap tak tersentuh, dalam keadaan begini sistem pernapasan mudah kolaps. Gejala paling parah di periode ini adalah kempisnya paru-paru sebagaimana yang dialami Sajuri tersebut.
Asap rokok sendiri terdiri dari partikel gas dan partikel bahan kimia—termasuk yang tergolong karsinogen alias beracun. Dalam keadaan normal, tubuh mempunyai mekanisme tersendiri buat menetralkan racun. Namun, model pertahanan seperti ini tidak bekerja dengan baik bagi para perokok, orang yang sistem penetral racunnya rusak lantaran terus-menerus tergerogoti asap rokok.
Pengidap COPD di kalangan perokok kini diperkirakan mencapai 5,7 persen. Angka itu didapatkan dari perhitungan simulasi berdasarkan model di Amerika Serikat. WHO mencatat sekitar 2,75 juta jiwa meninggal dunia akibat COPD tiap tahun dan terdapat kurang lebih 600 juta populasi penderita COPD di seluruh dunia. Pada 1990, COPD masih menduduki peringkat ke-12 penyebab kematian, tapi pada tahun 2020 COPD bakal meroket ke peringkat kelima. Namun kecenderungan COPD di Indonesia meningkat karena konsumsi rokok naik terus.
Sejauh ini dunia kedokteran mengakui bahwa tidak semua perokok mengidap COPD. Namun kemungkinan besar, bila seorang perokok menderita COPD, paru-parunya mengalami cacat yang mustahil disembuhkan. Tapi masalah terbesar dari COPD adalah biaya pengobatan. Sebab, penderita COPD sesak napas terus dan mesti menggunakan oksigen, sehingga ongkos pengobatan membengkak.
Celakanya, orang tidak bisa dicegah supaya tidak merokok. "Orang yang sudah sakit paru-paru megap-megap belum tentu begitu saja berhenti merokok. Kata mereka, satu-satunya kenikmatan, ya, merokok. Apalagi sebagian rokok punya efek adiktif," kata Hadiarto. Padahal, satu-satunya jalan menangkal penyakit ini dengan tidak merokok. Satu-satunya jalan untuk menghindari COPD adalah memutuskan lingkaran "karma" para perokok ini.
Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini