Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Chairil Anwar yang lahir pada 26 Juli 1922, tepat pada 101 tahun lalu adalah seorang penyair terkemuka dengan julukan Si Binatang Jalang (berasal dari karyanya berjudul Aku. Ia lahir dan dibesarkan di Medan oleh orang tua asal Sumatera Barat bernama Toeloes dan Saleha. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, tetapi Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun yang dimiliki.
Berdasarkan alharaki.sch.id, sejak kecil, Chairil Anwar sangat suka membaca. Ia mengenyam pendidikan sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Lalu, ketika berusia 15 tahun, ia berkeinginan kuat untuk menjadi seorang seniman ketika sudah dewasa kelak. Saat sudah berusia 18 tahun, ia tidak meneruskan pendidikannya di sekolah.
Pada usia 19 tahun, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta). Di kota itu, ia berkenalan lebih dekat dengan dunia sastra dan mulai membuat karya tulis berupa puisi serta syair. Kegemarannya dalam membaca sejak kecil membuat Chairil lebih mudah membuat karya tulis. Ia juga kerap mengirimkan karyanya ke beberapa majalah.
Setelah memublikasikan puisi pertamanya pada 1942, penyair ini semakin giat menulis. Hasil tulisan Chairil dipengaruhi oleh karya pengarang internasional dari bacaan sehari-harinya, seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, dan Archibald MacLeish. Akibatnya, secara tidak langsung, tulisan Chairil yang terpengaruh dari tokoh tersebut juga memengaruhi tatanan kesusastraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra usai perilisan puisinya yang berjudul Nisan pada 1942. Namun, ketika pertama kali mengirimkan puisinya di majalah Pandji Pustaka, banyak yang tidak diterima untuk dimuat ke publik lantaran dinilai terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Puisinya mengangkat berbagai tema, di antaranya kematian, pemberontakan, eksistensialisme, individualisme, dan multi-interpretasi.
Sayangnya, gairah Chairil dalam dunia sastra Chairil tidak pernah diimbangi dengan kondisi fisiknya. Akibatnya, sebelum ia menginjak usia 27 tahun, beberapa penyakit telah dideritanya. Lalu, pada 28 April 1949 sekitar pukul 14.30 WIB, ia secara resmi dinyatakan meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, tetapi menurut dugaan cenderung diakibatkan penyakit tuberkulosis (TBC).
Mengacu p2k.stekom.ac.id, Chairil sempat dirawat di Rumah Sakit CBZ dari 22 April sampai 28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Namun, ia sebenarnya sudah lama mengalami penyakit paru-paru dan infeksi sehingga semakin membuat dirinya lemah dan melahirkan penyakit usus.
Penyakit ini membuat ususnya pecah sehingga membuat nyawanya tidak tertolong. Menjelang embusan napas terakhirnya, ia mengigau karena suhu tubuhnya tinggi dan insaf kepada Tuhan dengan mengucap, "Tuhanku, Tuhanku.”
Jenazah Chairil dimakamkan satu hari setelah dinyatakan meninggal, di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Selama hidupnya, Chairil Anwar telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi yang kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh ditulis pada 1949, sedangkan karya paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi.
Pilihan Editor: Ridwan Saidi Dimakamkan di TPU Karet Bivak, Satu Area dengan Benyamin Sueb, Fatmawati dan Chairil Anwar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini