Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

5 Hal Tak Terduga, yang Bisa Dijumpai di Kabupaten Jayawijaya

Kabupaten Jayawijaya terletak di atas ketinggian 1.650 mdpl. Wilayah ini memiliki hal-hal unik, dari becak hingga udang selingkuh.

20 Agustus 2020 | 10.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kabupaten Jayawijaya memiliki destinasi wisata Lembah Baliem yang mendunia. Bahkan ukir-ukiran Suku Dani -- salah satu suku yang mendiami lembah itu -- sudah dikenal hingga ke Eropa. Popularitas Lembah Baliem juga kian mendunia dengan adanya perhelatan tahunan Festival Lembah Baliem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi bukan hanya adat istiadat yang unik, yang bisa dijumpai di Kabupaten Jayawijaya. Selain menghasilkan kopi arabika yang lezat, Kabupaten Jayawijaya memiliki beberapa hal unik, yang bakal membuat wisatawan tak menduganya. Berikut hal-hal unik yang bisa ditemui di Kabupaten Jayawijaya: 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama Bung Karno

Di Jayawijaya ada sebuah distrik yang memiliki nama proklamator Republik Indonesia, Distrik Silo Karno Doga. Bagaimana nama Soekarno bisa sampai ke Jayawijaya?

Ceritanya begini. Silo Doga adalah tokoh penting pada masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Silo Doga kepala suku besar yang paling berpengaruh dalam masyarakat pegunungan tengah, Jayawijaya, Papua. Ia dikenal juga sebagai salah satu pejuang Pepera, yang sejak awal menyatakan kesetiaannya bergabung dengan NKRI.

Pada tahun 1960-an, Silo Doga bersama kepala suku lainnya pernah diundang ke Istana Kepresidenan di Jakarta oleh Presiden Soekarno. Saat itulah para kepala suku dipimpin oleh Silo Doga menyatakan ikrar kesetiaan di hadapan Presiden Soekarno bahwa Irian Barat (nama Papua waktu itu) adalah bagian dari NKRI.

Seorang warga suku pedalaman Papua memotret gambar dengan telepon genggamnya pada Festival Budaya Lembah Baliem di Distrik Wosilimo, Jayawijaya, Papua, (13/8). Festival tersebut diikuti suku Dani, Yali, dan Lani. ANTARA/Widodo S. Jusuf

Silo Doga meminta agar nama Soekarno digabungkan dalam namanya menjadi Silo Karno Doga sebagai simbol persaudaraan, kasih dan kesetiaan. Setelah ke Papua, wilayah ulayatnya dinamakan Distrik Silo Karno Doga. Distrik Silo Karno Doga merupakan distrik dengan wilayah terluas di Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Padi Tumbuh Subur
Makanan pokok warga Papua dulunya adalah sagu. Tapi beras juga disukai warga Jayawijaya. Nah, pemandangan tidak biasa tampak di Kampung Honelama, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, pada ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut, terdapat hamparan sawah dengan tanaman padi yang menguning siap panen. Tanaman padi di sawah ini dibudidayakan oleh Suku Dani.
 
Kepiawaian Suku Dani bercocok tanam sudah didapat sejak zaman prasejarah. Mereka dikenal sebagai petani tangguh, dengan tanaman utama keladi, pisang, ubi jalar dan buah merah. Kini mereka telah menghasilkan padi. Padi merupakan bahan makanan pokok baru bagi Suku Dani.
 
Sebelum mereka mengenal bercocok tanam padi, mereka telah dikenalkan beras, yang didatangkan dari Jayapura, berton-ton menggunakan pesawat kargo. Budidaya tanaman padi ini diperkenalkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Jayawijaya. Sejak kehadiran beras di Wamena, membuat Suku Dani lebih banyak mengkonsumsi nasi, sedangkan kebun keladi dan ubi jalar mereka sebagian dibiarkan begitu saja.
 
Hal ini juga mengkhawatirkan, apalagi dalam budaya memasak dengan cara bakar batu, keladi dan ubi jalar menjadi bahan makanan utama. Beras tidak mungkin diolah dengan cara bakar batu. Babi yang merupakan hewan ternak utama mereka sangat menyukai umbi ubi jalar dan daunnya. Babi tidak bisa makan jerami padi.
 
Hamparan padi milik Suku Dani di wilayah Kabupaten Jayawijaya. Dok. Hari Suroto
 

Apakah posisi ternak babi akan tergantikan oleh sapi yang suka jerami? "Budaya Baliem harus tetap dipertahankan, walaupun sudah dimulai budidaya padi, tetapi ubi jalar dan keladi tidak boleh dilupakan," kata arkeolog Hari Suroto.
 
Becak 
Bila becak mulai dilarang di beberapa kota di Indonesia, di Distrik Wamena, Jayawijaya, becak masih ditemui. Tak dinyana di wilayah di ketinggian 1650 meter dari permukaan laut, becak masih menjadi moda transportasi. Bahkan pemerintah Kabupaten Jayawijaya telah membuat peraturan daerah yang memproteksi becak agar tetap eksis di Wamena.

Wamena terletak di pegunungan tengah Papua, tidak ada jalur transportasi darat yang menghubungkan Kota Jayapura ke Wamena. Untuk menuju Wamena hanya dapat dicapai melalui transportasi udara, sehingga becak-becak ini diterbangkan dari Jayapura menggunakan pesawat kargo.

Mungkin becak di Wamena adalah becak termahal dan satu-satunya becak di dunia yang berada di daerah tinggi. Bentuk becak di Wamena serupa dengan becak-becak yang ada di Kota Makassar -- lebih kecil dibanding becak yang beroperasi di Jawa. Memang becak-becak ini didatangkan dari Makassar pada 1979, kemudian dikirim ke Jayapura menggunakan kapal laut.

Adanya becak ini telah mengubah kebiasaan masyarakat Wamena, yang sebelumnya suka berjalan kaki dalam semua aktivitasnya, kemudian lebih banyak naik becak pergi ke kantor, sekolah atau ke pasar.
 
Kehadiran becak di Wamena, walaupun laju becak ini tidak secepat ojek sepeda motor, sangat membantu warga, serta menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari warga. Becak sudah menjadi salah satu alat transportasi penting dan favorit digunakan masyarakat di Kota Wamena.

 
Ilustrasi becak di Makassar yang mirip becak di Kabupaten Jayawijaya. TEMPO/Iqbal lubis
 
Becak berperan mempercepat mobilisasi warga dan telah menjadi simbol modernitas di Lembah Baliem. Selain itu becak juga mengubah relasi sosial dalam komunitas masyarakat di Lembah Baliem.
 
Ongkos naik becak ini tergantung jarak, untuk jarak terdekat biasanya Rp10.000, selebihnya akan dikenakan kelipatan Rp5000 atau 10.000. Namun untuk mencegah terjadi kesalahpahaman dan kekecewaan, sebaiknya melakukan penawaran dan kesepakatan bersama sebelum naik becak tersebut. Dalam perda yang dibuat oleh Pemkab Jayawijaya, hanya putra asli setempat atau pemuda Suku Dani saja yang boleh menjadi pengayuh becak.
 
Udang Selingkuh
Sungai Baliem memiliki udang endemik, udang selingkuh, yang sebenarnya merupakan sejenis lobster air tawar. Udang ini disebut ‘udang selingkuh’ sebab bentuknya sangat unik, terlihat sepintas seperti udang bercapit besar seukuran capit kepiting. Itulah yang menyebabkan udang itu, disebut udang selingkuh: hasil kawin silang kepiting dan udang. 

Secara ilmiah udang ini termasuk dalam genus Cherax. Terdapat 13 spesies Cherax di pegunungan tengah Papua. Spesies Cherax monticola persebarannya antara lain di sungai-sungai di Lembah Baliem. Di tempat lain, dia disebut lobster air tawar. Suku Dani menyebutnya udi.

Udang air tawar endemik pegunungan Papua ini mahal sekali. Udang ini dibanderol Rp200.000 sampai Rp300.000 per porsi di Kota Wamena.

Harga satu plastik udang selingkuh mentah segar di Pasar Nayak, Kota Wamena lebih mahal lagi. Satu plastik beratnya kurang dari satu kilogram, harganya mencapai Rp.500.000 bila sedang musim dan bila tidak musim maka harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

Bagaimana caranya Suku Dani di Lembah Baliem mendapatkan udang selingkuh ini? Dalam menangkap udang selingkuh di sungai, biasanya dilakukan oleh perorangan atau kelompok.

Udang selingkuh yang ditangkap di Sungai Baliem. Foto: @dgipul

Cara menangkap udang selingkuh yaitu dengan tangan, menggunakan alat atau diracun dengan tuba. Secara tradisional alat yang digunakan untuk menangkap udang yaitu sejenis serok terbuat dari rajutan kulit kayu melinjo.

Gua Alien
Keberadaan alien masih menjadi kontroversi. Terlepas dari itu, keberadaan lukisan-lukisan aneh dengan penggambaran manusia yang aneh, seringkali dikait-kaitkan dengan alien. Tak terkecuali lukisan purba di gua Kontitola di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Papua. 

Gua ini terletak di ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut. Gua Kontilola sudah lama dikenal sebagai destinasi wisata bagi wisatawan yang berkunjung di Lembah Baliem. Gua ini oleh wisatawan dikenal sebagai gua yang di dindingnya terdapat lukisan gambar alien. Tapi benarkah itu gambar alien?

Eksplorasi arkeologi oleh Balai Arkeologi Papua di Gua Kontilola, menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar alien oleh wisatawan ini, sebenarnya termasuk sebagai rock art atau seni gambar cadas yang dibuat oleh manusia prasejarah. Gambar alien yang terdapat di Gua Kontilola sesungguhnya merupakan gambar berbentuk manusia. Pada masa prasejarah, teknik menggambar manusia pada masa itu masih sangat sederhana.

Situs Gua Kontilola sendiri berdasarkan cerita rakyat yang dipercaya oleh masyarakat Kurulu, dulu merupakan tempat tinggal nenek moyang mereka. Eksplorasi arkeologi juga menemukan spesies udang bertubuh transparan berukuran 1 -1,5 cm.

Di dalam ruang gua yang gelap terdapat sumber air tawar, yang merupakan kumpulan air yang menetes dari stalagtit. Di dalam sumber air inilah udang tersebut ditemukan.

Lukisan dinding gua prasejarah di Gua Kontilola di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Papua. (Dok. Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Dari informasi masyarakat di sekitar gua, mereka baru mengetahui jika di dalam gua terdapat udang transparan ini. Udang bertubuh transparan juga sebelumnya ditemukan Balai Arkeologi Papua dalam eksplorasi arkeologi di Situs Gua Togece, Kampung Parema, Distrik Wesaput, Kabupaten Jayawijaya.

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus