Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

AFI, Sang Primadona

Kontes pencarian bintang yang direkam apa adanya (reality show) kini menjadi favorit baru di televisi. Aktor utama sebenarnya bernama SMS.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba saja Indonesia memiliki marga keluarga baru: AFI. Mawar-AFI, Veri-AFI, Tia-AFI, Micky-AFI. Kita bukan saja dirundung demam berdarah, demam hujan, atau…, seluruh khalayak yang sudah bosan dengan penderitaan mendadak saja dilanda demam AFI: Akademi Fantasi Indosiar. Setiap sore, pukul 18.30, anak-anak SD, anak-anak SMP, ibu-ibu, bapak-bapak, se-RT-RW, tumpah-ruah, melupakan dapur, urusan PR, urusan pembersihan got, dan menggusur jam body language untuk satu acara besar: Diari AFI. Malam Minggu pukul 20.00, jangan berani-berani bikin resepsi perkawinan, karena semua keluarga Indonesia lebih suka duduk di depan televisi menyaksikan drama konser eliminasi AFI yang banjir air mata itu.

Yeah, yeah…, AFI sedang menjadi primadona, Bung. Indosiar telah berhasil merebut perhatian seluruh negeri de-ngan sebuah acara kompetisi penyanyi muda yang pemenangnya dipilih dengan cara "demokratis": melalui pilihan rakyat via short message service (SMS). Syahdan, ini sebuah acara yang bermuasal dari Meksiko dengan nama La Academia yang bertujuan menjaring penyanyi muda menjadi bintang. Stasiun Indosiar tertarik menggandeng pemegang lisensi La Academia ini dan menyulapnya menjadi Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Berbeda dengan berbagai kontes penyanyi di masa lalu seperti "Bintang TV dan Radio" yang pemenangnya ditentukan oleh sekumpulan juri—termasuk klausul top "keputusan juri tak bisa diganggu gugat"—AFI tidak memiliki juri yang lazim. Pemilihan dilakukan oleh pemirsa yang mengirim pilihannya melalui SMS atau premium call. Dalam kontes ini hanya ada komentator, seperti Trie Utami, Harry Roesli, Melly Goeslaw, Yana Julio, dan Addie M.S., yang secara bergantian memberikan komentar bagi penyanyi dan bisa menjadi arahan bagi penonton awam. Mereka bukan yang berhak menentukan pemenang.

Maka, sejak Desember 2003, Indonesia memasuki sebuah "era baru" dalam dunia televisi. AFI menginvasi ruang tamu dan ruang pribadi kehidupan keluarga dan perkantoran serta media di Indonesia. Bukan cuma masyarakat awam, para redaktur tabloid hiburan ikut belingsatan dan berpekan-pekan menurunkan laporan utama tentang AFI. Media-media berita politik pun, suka atau tak suka, terpaksa menyediakan halaman untuk menulis berita ini sembari berebutan halaman dengan berita bom bunuh diri di Timur Tengah. Kenapa acara ini begitu membeludak?

AFI, seperti yang dikatakan oleh Trie Utami, adalah "kontes popularitas". Penonton tidak hanya menonton 12 finalis yang setiap pekan dieliminasi satu per satu berdasarkan pilihan pemirsa televisi, tapi juga diajak menjadi "bagian" dari drama melodramatik seluruh peristiwa eliminasi ini. Bayangkan, setiap hari, selama satu jam pemirsa disuguhi keseharian para akademia yang dikarantinakan selama 70 hari di Cibubur tanpa kontak dengan keluarga, pers, dan dunia luar. Penonton ikut menyaksikan semacam reality show (sebuah terminologi televisi yang sedang populer, yang artinya peristiwa yang direkam tanpa skenario) tentang para anggota akademia yang dilatih vokal oleh Bertha atau Ubiet dan dilatih gerak oleh Ari Tulang. Karena mereka semua "calon bintang", soal kejiwaan ditangani Psikolog Rose Mini agar mereka tak bermental cengeng. Maka suasana latihan, pertengkaran, kemesraan, dan kejahilan sesama teman ditonton dan dilahap penonton Indonesia. Mereka seperti menjadi milik pribadi pemirsa.

Tak aneh, jika salah satu anggota dieliminasi pada setiap konser malam Minggu, akan terjadi upacara perpisahan yang sangat emosional. Seperti yang terjadi Sabtu dua pekan silam. Ketika Lia, peserta Bandung, tersisih, para akademia berpelukan. Lia pulang (kopernya sudah disediakan di atas panggung, lo!), tangis berhamburan, penonton menyeka mata mereka yang sembap. Pokoknya, pertunjukan ini tak lagi seperti kontes musik (singing contest), melainkan sebuah fragmen melodramatik tentang seorang anak manusia yang tersisih dan kalah. Dan karena itu mengundang iba.

"Pada acara itu, emosi penonton dirampok habis. Istilah saya menjual victim, menjual korban," ujar pengamat media Arswendo Atmowiloto kepada TEMPO.

Menjual korban atau menyenangkan penonton, yang jelas, setiap Sabtu malam pukul delapan, saat konser eliminasi, rating-nya melejit menjadi sekitar 13 (angka rating satu mewakili 354 ribu orang). Sedangkan pada acara grand final, angka rating menurut survei AC Nielsen melejit hingga 19. Tidak ada stasiun lain yang berani meletakkan acara jagoannya bersanding dengan AFI. Iklan bertumpuk, berjejal.

Bagaimanapun, sebelum AFI menjadi primadona, setahun silam, stasiun Trans TV sebetulnya sudah meluncurkan acara Popstars, tayangan berlisensi internasional pertama yang juga sempat menimbulkan demam baru di kalangan remaja. Bedanya, Popstars menggunakan sistem penjurian biasa dan sudah berhasil menelurkan tiga penyanyi pria dan dua wanita, yang bergabung dalam Sparx. "Fokus kami memang menelurkan sebuah kelompok vokal, bukan penyanyi solo," ujar Iman Sastrotomo, Managing Director Warner Music Indonesia, yang mendistribusikan album perdana mereka yang resmi dirilis Senin pekan ini.

Tapi, ketika AFI lahir, muncul demam baru yang membuat penonton edan. Penonton menjadi raja dan decision maker. Bayangkan, awalnya Mawar, yang memang dijagokan oleh para komentator karena kualitas suaranya, berada di peringkat teratas polling, tapi tiba-tiba kalah oleh Veri, yang sebetulnya mutu suaranya di bawah Mawar. Bagaimana bisa? Ya, itu tadi. Media ikut berperan mengisahkan segala latar belakang setiap akademia. Sikap Veri yang santun dan bersahaja, dan latar belakang keluarganya yang sederhana (sang ayah adalah seorang tukang becak dan sang ibu adalah buruh cuci), membuat penonton berkaca-kaca dan jatuh hati. Soal timbre suara, kemampuan kontrol suara, intonasi, dan teknis nyanyi menjadi persoalan periferal. "Saya melihat adanya Cinderella syndrome di sini. Emosi penonton mudah terpancing oleh hal-hal yang mengundang simpati," kata Trie Utami, yang mengaku belum srek dengan kualitas pemenang AFI 1, Veri Afandi, akademia dari Medan.

Bagaimanapun, AFI belum tentu akan menjadi primadona selamanya. Sejak dua pekan silam, RCTI mulai menayangkan proses audisi Indonesian Idol, versi lokal dari American Idol yang sukses menelurkan penyanyi seperti Kelly Clarkson, Ruben Studdard, dan Clay Aiken.

Sama seperti AFI, pemenang Indonesian Idol akan ditentukan oleh SMS penonton. Bedanya, penonton hanya boleh mengirimkan SMS setelah semua peserta naik panggung, dan periode pengiriman SMS dipatok untuk jangka waktu tertentu. Selain itu, "Pemenang Indonesian Idol akan mewakili Indonesia di ajang World Idol, yang mempertandingkan pemenang dari berbagai negara," ujar Daniel Hartono, Sales and Marketing Director RCTI yang menjadi project director acara ini. Sang pemenang juga akan mendapat kontrak rekaman dari BMG Music, seperti di negeri asalnya.

Tampaknya, RCTI dan panitia Indonesian Idol harus habis-habisan mengerahkan tenaga jika ingin menyaingi AFI, yang sudah telanjur melekat di benak penonton. Dengan menyatakan dirinya "beda" dalam setiap iklannya, setidaknya panitia diwajibkan "mendidik" para komentatornya agar memberikan argumen yang bermutu pada saat membantai calon peserta. Di luar Titi Dwijayati, yang mampu memperlihatkan argumen yang bertanggung jawab, komentator lain (Indra Lesmana, Dimas Jayadiningrat, dan Meuthia Kasim) lebih sering melecehkan daripada mengkritik. Tak mudah menyeleksi ribuan peserta, memang. Tapi, dengan gaya superior seperti itu, acara ini akan dengan mudah membuat penonton jengkel dan berpindah ke stasiun lain. Kalau ngebet ingin menjadi Simon Cowell, juri tajam lidah di American Idol, ketiga komentator ini harus belajar memberikan kritik dengan argumen yang sahih.

AFI pun tak bisa selamanya bertumpu pada sukses Kisah Sedih di Hari Minggu yang menggenjot air mata penonton di setiap eliminasi. Pada akhirnya, meski ini kontes popularitas, Indosiar juga ingin menelurkan penyanyi. Memang benar album debutan Menuju Bintang yang menampilkan kedua belas akademia angkatan pertama terjual hampir setengah juta keping dan sudah berhak mendapat triple platinum (1 platinum untuk penjualan 150 ribu keping). Tapi itu suara hasil rekaman studio. Setiap kali Anda menyaksikan mereka berpentas siaran langsung di berbagai kota, akan terdengar jelas suara siapa yang betul-betul emas, suara siapa yang masih tembaga dan masih perlu digembleng lagi agar telinga tidak sakit.

Alhamdulillah, sejak AFI 2 mulai bergulir, pilihan "rakyat" mulai searah dengan pilihan para komentator. Artinya, peringkat teratas sementara diduduki oleh Tia, akademia dari Semarang, yang selama ini juga dianggap sebagai "penyanyi yang sudah jadi" oleh para komentator. "Saya senang penonton Indonesia sudah bisa memilih," tutur Trie Utami saat memberikan komentar penampilan Tia. Tinggal kita saksikan pada final AFI maupun Indonesian Idol, apakah penonton Indonesia benar-benar sudah melupakan kegemaran menyaksikan Kisah Sedih di Hari Minggu.

Akmal Nasery Basral/LSC, Ali Anwar, Nunuy Nurhayati (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus