Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Asal Mula Kayangan Api di Kota Bojonegoro

Api itulah yang menyala hingga saat ini dan menjadi cikal bakal Kayangan Api di Kota Bojonegoro.

12 Juli 2018 | 11.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Taman wisata Kayangan Api. catatanhariankeong.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bojonegoro - Saya ingin berbagi cerita tentang sejarah atau asal mula Kayangan Api yang berada di Kota Bojonegoro Jawa Timur. Mungkin, banyak wisatawan yang kurang mengetahui asal muasal tempat yang dikunjunginya, oleh sebab itu di sini saya memaparkan cerita dari penuturan warga sekitar tentang asal mula Kayangan Api.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut cerita warga dulu terdapat seorang pembuat benda pusaka Kerajaan Majapahit bernama Mbah Kriyo Kusumo. Setelah bertahun-tahun membuat benda pusaka di perkampungan, Mbah Kriyo Kusumo kemudian bertapa dan tirakat di tengah hutan. Dia membawa api dan menyalakannya di bebatuan, tepat di sebelah tempatnya bersemedi. Api itulah yang menyala hingga saat ini dan menjadi cikal bakal Kayangan Api di Kota Bojonegoro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain ada Kayangan Api di sebelah barat sumber api terdapat kubangan lumpur yang berbau belerang yang biasa di sebut warga Sumur Blekutuk. Menurut kepercayaan saat itu Mbah Kriyo Kusumo masih beraktivitas sebagai pembuat alat-alat pertanian dan pusaka seperti keris, tombak, cundrik dan lain-lain. 

Mbah Kriyo Kusumo atau Empu Supa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pande yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Ada bukti historis penting yang menguatkan kahyangan api dengan ditemukannnya 17 lempeng tembaga yang berangka 1223 / 1301 Masehi. 

Penemuan prasati di Desa Mayangrejo, Kecamatan Kalitidu pada 12 Maret 1992 tersebut, berbahasa Jawa Kuno yang menurut penelitian berasal pada zaman Raja Majapahit I yakni, Kertarajasa Jaya Wardhana. Isi dari prasasti tersebut, adalah pembebasan desa Adan-adan dari kewajiban membayar pajak dan juga ditetapkannya daerah tersebut sebagai sebuah sima perdikan atau swantantra. 

Penghargaan ini diberikan oleh Raden Wijaya terhadap salah satu rajarsi (pungawa, red) atas jasa dan pengabdiannya yang besar terhadap Kerajaan Majapahit saat itu. Dan rajarsi tersebut tidak lain adalah Empu Supa yang lebih masyur dengan sebuatan Mbah Pande.  

Menurut cerita, api tersebut hanya boleh diambil jika ada upacara penting seperti yang telah dilakukan pada masa lalu, seperti upacara Jumenengan Ngarsodalem Hamengku Buwono X dan untuk mengambil api melalui suatu prasyarat yakni selamatan atau wilujengan dan tayuban dengan gending eling-eling, wani-wani dan gunungsari yang merupakan gending kesukaan Mbah Kriyo Kusumo. Oleh sebab itu ketika gending tersebut dialunkan dan ditarikan oleh waranggono atau penembang macapatan, tidak boleh ditemani oleh siapapun. 

Kepercayaan tersebut, dipegang teguh oleh masyarakat Bojonegoro. Ini terbukti, pada acara ritual pengambilan api tersebut juga dilakukan digelar. Terlebih, pengambilan api PON yang pertama dilakukan dipimpin oleh tetua masyarakat yang dipercaya pada saat itu. Sementara untuk prosesi tersebut meliputi, asung sesaji (menyajikan sesaji) dan dilanjutkan dengan tumpengan (selamatan). 

Pada hari-hari tertentu terutama pada hari Jumat Pahing banyak orang berdatangan di lokasi tersebut untuk maksud tertentu seperti agar usahanya lancar, dapat jodoh, mendapat kedudukan dan bahkan ada yang ingin mendapat pusaka. Acara tradisional masyarakat yang dilaksanakan adalah Nyadranan (bersih desa) sebagai perwujudan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa.

Artikel ini sudah tayang di catatanhariankeong

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus