PEMANDANGAN di bar itu sungguh aneh. Tak terdengar suara musik yang biasa mengiringi para koboi main kartu atau mabuk. Juga tak ada meja kursi di sana. Padahal, di dalam bar berkumpul belasan koboi, lengkap dengan pistol tergantung di pinggang dan celana rodeo. Lebih edan lagi, mereka semua nongkrong diatas punggung kuda masing-masing. Sementara itu, sekelompok pemusik country di seberang lapangan mendendangkan lagu-lagu koboi. Bahkan banjo dan biola mereka makin sering bersahutan, sehingga mengundang kaki untuk bergoyang. Mereka tak peduli, meski beberapa meter di hadapan mereka ada kantor sherif. Tiba-tiba para koboi di dalam bar itu melecut kudanya. Disertai pekikan -- maklum koboilah namanya -- mereka berpacu mengelilingi lapangan dengan mengibarkan bendera nasional dan beberapa bendera negara bagian Amerika. Lalu mereka berkumpul di tengah lapangan. Dan musik instrumentalia God Bless America, lagu kebangsaan Amerika Serikat, berkumandang. Begitulah pembukaan pertunjukan Buffalo Bill's Wild West and Rough Riders di Istora Senayan pekan lalu. Sebuah pertunjukan yang mencoba mengingatkan kehidupan para koboi di zaman Wild West, ketika Buffalo Bill di puncak kejayaannya mengamankan bangsa kulit putih dari gangguan perompak dan Indian. Suasana koboi memang terasa di sana. Bukan hanya lantaran pertunjukannya Gedung olah raga itu juga disulap jadi miniatur kota koboi. Hotel, salon, toko, bengkel sepatu kuda, kemah Indian, dan kantor sherif dibangun selayak ukuran aslinya. Tak hanya di gelanggang, bahkan menebar sampai di halaman parkir. Sedangkan gelanggangnya, yang biasanya berlantai kayu, diuruk tanah setengah basah -- nyaris komplet sebagai kota koboi. Tak tanggung-tanggung pula. Kuda, kereta, dan tenda Indian yang ditampilkan diboyong pula dari dari Amerika. "Supaya persis aslinya," ujar Louise Ann Noeth, juru bicara kelompok itu. Jadi, tak mengherankan kalau pertunjukan ini mirip adegan film koboi, kendati disisipi banyolan di sana-sini. Adegan demi adegan disajikan dengan gaya akrobat, tanpa ada kaitan ceritanya. Mirip sirkus. Tapi, bagi mata orang Melayu. cukup untuk sekadar mengetahui betapa kerasnya kehidupan di padang prairi dan bagaimana penghuninya bersantai. Penuh permainan ketangkasan, alkohol, dan baku tembak. Di samping banyak wanita ayu yang doyan berdansa. Dalam pertunjukan kolosal itu, berbagai permainan ketangkasan disajikan seperti adanya. Pasukan kavaleri misalnya, di waktu senggang suka adu cepat menusuk sepoton papan yang tertancap di tanah dengan tombak atau pedang dari atas kuda sambil balapan. Dimainkan oleh empat aktor berseragam kavaleri komplet, biru-biru, dan seorang peniup trompet berseragam merah. Lalu disusul dengan adegan serombongan transmigran spontan yang sedang berjuang keras melawan ganasnya medan. Mereka tampak lelah di atas kereta reyot, sehingga terpaksa istirahat dan membakar api unggun. Tiba-tiba, dor . . . dor . . . dor. Beberapa pengawal langsung bergelimpangan. Dan dalam waktu beberapa detik, sekelompok penunggang kuda bertopeng mengepung mereka. Salah seorang dari mereka malah langsung meloncat ke atas kereta untuk mengambil barang. Dor! Perampok di atas kercta itu langsung terpental, diiringi gemuruhnya derap kaki kuda pasukan kavaleri di bawah pimpinan Buffalo Bill. Tak banyak cingcong, kawanan itu langsung angkat tangan dan membiarkan senjatanya dilucuti. Para transmigran dan penonton langsung bersorak, menyambut kemenangan si jagoan yang hanya beraksi sekali saja. Permainan tali laso, tentu saja, tak ketinggalan. Dimainkan empat koboi, hingga mencengangkan. Tali lentur itu mereka mainkan sampai membentuk lingkaran kaku, lalu diloncati seenaknya. Setelah itu, salah seorang dari mereka menunjukkan kemahiran dengan mengikat cewek sampai beberapa simpul ikatan dengan lemparan tali laso. Puncaknya adalah ketika empat ekor kuda yang sedang berlari kencang dijerat sekaligus dengan sekali lemparan. Pelakunya, tak lain, adalah Jess Montana yang rekornya hanya bisa ditandingi kakeknya. Rekor tertinggi diciptakan tahun 1982, dengan menjerat 12 ekor kuda sekaligus, yang mengantarnya jadi juara laso Amerika. Sedangkan kakeknya, konon, sanggup menjerat 14 ekor kuda sekaligus. "Tapi sayalah yang terbaik di dunia. Kakek saya tak menguasai permainan laso lainnya," ujarnya. Meski demikian, tak berarti laso jadi simbol kejagoan semua koboi. Stockman koboi Australia, lebih mengagungkan cambuk. "Karena peternakan di sana jauh lebih luas dari Amerika," ujar Vi Brady, koboi Australia, yang sudah bertahun-tahun ikut rombongan Buffalo Bill. Di panggung, dia buktikan omongannya dengan mempermainkan dua cambuk, sampai tampak seperti ular menari disertai letupan-letupan mirip suara pistol. Koboi lain, Gaucho namanya. Kejantanan mereka ditentukan oleh kemampuan menari Malambo. Sebuah tarian yang hanya dilakukan oleh kaum jantan dengan mengayun-ayunkan bandul -- tali yang ujungnya diikat batu -- dengan kecepatan tinggi. Batu dipentok-pentokkan ke lantai mengikuti drum yang ditabuh cepat. Kata Oscar Marcos, sang penari, tarian itu hanya dikenal koboi Argentina. Sayangnya, kebudayaan Indian hanya ditampilkan sekilas. Tanpa ada demonstrasi kemahiran. Keluarga Daylight, yang Indian asli, hanya menampilkan tarian perang dan burung rajawali. Sebelum ditutup dengan menan bersama para penonton, di gelanggang. "Itulah secuil kebudayaan Indian yang tak pernah pupus dari gangguan bangsa kulit putih," ujar Larry Daylight, yang mengaku masih beragama asli Indian. Kalau gebuk-gebukan, agaknya memang hobi bersama. Sehingga, dalam sebuah adegan perkelahian masal, semua aktor dan aktris ambil bagian, sampai semuanya habis ditembak sherif. Bahkan Candy Collin, yang sempat jadi pemain pengganti terbaik di Amerika delapan tahun lalu, terjungkal dari atap genting setinggi 10 meter gara-gara diseruduk peluru sherif. Tiuungng.... Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini