SEBUAH mobil Corolla DX dibakar -- walau yang hangus cuma bagian dalamnya. Sedangkan penumpangnya tak ketahuan ke mana. Kejanggalan lain: pelat nomor mobil itu copot. Kejadian ini, malam, di sebuah jalan di Cileungsi, Boor. Dua hari setelah itu, Minggu pagi 23 September, seorang anak pencari rumput menemukan seonggok barang berkarung plastik. Setelah dibuka, isinya mayat lelaki yang mulai membusuk, dan hanya bercelana kolor. Dialah Almarhum Haji Marhaenis Abdulhay, Pembantu Rektor I UPN Jakarta. Dosen aktif berumur 47 tahun itu, sebelumnya, memang dikabarkan hilang (TEMPO, 10 Oktober 87). Mengapa ia dikarungi? Polisi berhasil membongkar misteri ini, yang kemudian disimpulkan, "Pelaku utamanya adalah istri kedua korban. Wanita itu mencemburui Marhaenis. Ia dendam dan sakit hati," kata Mayor Pol. Abd. Latief Rabar, Kadispen Polda Metro Jaya. Wiwik Pratiwi, wanita itu, melakukan pembunuhan dibantu dua adiknya yang oknum ABRI, Siswoyo dan S.L. (Latief Rabar keberatan menyebut nama lengkapnya), serta dibantu temannya yang bernama Machmud. Menurut Wiwik Pratiwi, yang bertubuh padat dengan rambut potong pendek model tomboy itu, pembunuhan itu memang sudah dipersiapkan. "Pembunuhan berencana ini," kata Latief Rabar, "dimatangkan pada 13 September sekitar jam 13.00 di rumah Tuty di Kebayoran Lama." Tuty adalah panggilan akrab Wiwik. Hari H-nya, 21 September. Rumah kontrakan untuk arena pembantaian sudah disiapkan di Bambu Apus, Ciracas, Jakarta Timur. Sore itu Wiwik menuju ke kampus Universitas Tarumanagara, Slipi, tempat Marhaenis mengajar, dan dengan kunci duplikat membuka pintu, masuk ke mobil Corolla DX. Menjumpai sang istri sudah dalam mobilnya, Marhaenis tak curiga. Juga ketika ia diajak menengok rumah kontrakan yang akan ditempati di Ciracas itu. Mereka malah sempat membeli empat bungkus nasi, sebelum malam tiba di Ciracas. Di rumah kontrakan itu, dua adik Wiwik, Siswoyo dan S.L., sudah menunggu. Mereka terlibat dalam cengkerama yang akrab. Malam itu, Wiwik sangat mesra melayani suaminya. "Marhaenis sempat disuapinya," kata Letnan Kolonel Pol. Legiman Sutjipto, Kaditserse Polda Metro Jaya. Selesai bersantap, dua cangkir kopi dikeluarkan. Sebuah, yang sudah diberi obat penenang, diminumkan ke Marhaenis, dan tak lama, ia punya kesempatan segera tak disia-siakan. Wiwik menghajar kepala Marhaenis berkali-kali dengan batu bata yang telah disiapkannya. Kedua adik Wiwik tadi ikut membantu. Ketika sudah terkulai, untuk meyakinkan mati tidaknya, Wiwik mengambil tali dan menjeratkannya ke leher korban. Beres. Mayat Marhaenis setelah dikarungi dan ditempatkan di jok belakang mobil itu, lalu dibuang di selatan Sukabumi. Malam itu juga mereka kembali ke Jakarta, setelah mobil itu dibakar di Cileungsi. Marhaenis adalah juga suami Nyonya Hajah Fahmida yang berputra 4. Corolla yang dibakar itu memang mobil yang dipakai membuang ayat Almarhum. Sementara itu, setelah selesai membantai, Wiwik menghilang dari Jakarta. Dan inilah yang membuat polisi bergerak dengan lebih terarah fokusnya. Hasilnya, 2 Desember lalu, polisi menangkap Siswoyo dan S.L., yang sekarang diamankan di Pom ABRI. Tiga hari berikutnya Wiwik dibekuk di Trenggalek, Jawa Timur. Di sana ia bersembunyi di rumah saudaranya. Machmud juga diamankan ketika sedang bersembunyi di Pelabuhan Ratu, 8 Desember lalu. Menurut sumber di polisi, sudah tiga kali Wiwik memergoki suaminya main dengan wanita lain di hotel. Wiwik, kata sumber itu, sebelum jadi istri Marhaenis ia berstatus wanita penghibur di panti pijat dan hotel karena itu "tahu tingkah orang yang doyan membawa wanita ke hotel." Puncak dendam Wiwik ketika Sulistiyowati, 17 tahun -- anak dari perkawinan dengan suaminya yang pertama -- katanya, diciumi Marhaenis. Kemarahan dan pertengkaran meledak. Perkawinan Wiwik yang kedua dengan seorang anggota ABRI, membuahkan dua anak. Setelah cerai lagi, lalu pada April 1984 ia menikah dengan Marhaenis. Suatu hari soal perkawinannya ini pernah diceritakan Wiwik pada Heri -- suami pertamanya yang cerai tanpa surat itu. Katanya, hubungan itu dilakukan, "Karena mau duitnya saja." Perkawinan pada April 1984 itu tanpa membuahkan keturunan. Tapi setelah kasus kematian Marhaenis yang melibatkan Wiwik dibaca Heri lewat koran, ia kaget. "Kok, sampai hati Wiwik berbuat begitu," kata Heri pada TEMPO, seolah ikut bersalah membentuk watak Wiwik jadi keras. Wiwik, kata Heri lagi, dulu suka dipukulinya. Sebab, Wiwik sering berbuat serong dengan teman Heri sendiri. "Saya kira dia itu hiperseks," ujar Heri lagi tanpa sungkan. Hubungan Wiwik dengan Marhaenis, yang belakangan tak serasi, pernah pula tercetus. Yang mengeluarkan uneg-uneg justru Sulistiyowati "Saya dicemburui Mama. Saya dituduh ada main dengan Papa," kata Sulistiyowati kepada ayahnya, Heri itu. Heri tak bisa berbuat apa-apa. Wiwik, yang belakangan diketahui jadi peminum dan perokok, di mata Heri: wanita yang sulit dibendung kehendaknya. Dan jika sedang ruwet, berkali-kali ia hendak bunuh diri, tetapi terselamatkan. Lain lagi bagi Nyonya Fahmidah setelah membaca koran yang memberitakan kematian Marhaenis dibunuh istri muda itu. Baginya sulit mempercayai kebenarannya. Juga buat putra-putrinya, yang kini sedang ujian. "Saya sama sekali tak tahu kapan ia kawin lagi," kata Fahmidah. "Rasanya, suami saya tak punya waktu untuk itu," ujarnya dengan air mata berlinang. Almarhum, katanya, selain sederhana juga aktif di kampus. Ia sibuk mengajar di Bandung, Yogya, dan di Jakarta. Kalau pulang tak lebih dari jam sembilan malam. Klop dengan jadwal setelah ia mengajar. Kebenaran berita tersebut rasanya di luar jangkauan Fahmidah. Malah ia meragukan pembunuhan itu soal "cemburu", dan sudah terbuktikah dengan surat nikah bahwa suaminya berbini muda. Menurut sebuah sumber, ada oknum yang menghendaki dia lenyap -- konon, karena Marhaenis hendak membeberkan kecurangan di UPN. Kecurangan yang sedang dilacak itu belum terungkap. "Dan rumit," kata sumber TEMPO itu. Apa begitu? Widi Yarmanto, Muchsin Lubis, Ahmadie Thaha (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini