DIAM-diam, 6 Desember lalu ada peristiwa menarik di Keraton Kasepuhan Cirebon. Di Kota Udang tersebut, seorang Belanda, Peter Aptroot namanya, datang jauh-jauh dari negeri bawah laut itu untuk menyerahkan kembali sebuah kendi antik Cina kepada Sultan. Yang punya kendi adalah Olaf J. De Landell, seorang penulis kenamaan Belanda yang kini tinggal di Hilversum, Nederland. Aptroot tak saja membawa kendi bersejarah, tapi juga sebuah surat yang ditulis Olaf 27 November 1987 lalu. Bunyi surat yang ditujukan kepada Sultan itu antara lain, "Gusti yang mulia ..., sesuai dengan idaman kami dan kehormatan yang tak terhingga terhadap Keraton Kasepuhan Cirebon dan ahli warisnya, patutlah sekarang ini kami kembalikan kendi kasihan dalam pangku Keraton Kasepuhan Ceribon, tempat baginya yang kekal." Lebih jauh, surat itu menyebut: kendi "kesayangan" itu disajikan oleh Almarhum Gusti Sultan Sepuh Tajul Arifin Muhamad Samsudin, Raja Nataningrat XI -- kakek Sultan yang sekarang -- pada 1913, kepada ayah Olaf, sebagai pusaka. Kendi dengan tinggi sekitar 25 cm dan lebar 12 cm itu terbuat dari porselen putih mengkilat bercorak bunga dan hewan yang mirip naga bersayap. Warna coraknya biru tua. Bagian mulut dan corotnya ditutup dengan ukiran perak halus yang disambungkan tiga rantai kecil. Ini mirip dengan sebuah kendi yang ada di Museum Adam Malik, Jalan Diponegoro, Jakarta. Kendi buatan Cina Selatan pada abad ke-18 atau 19 yang jadi koleksi Adam Malik itu berasal dari keluarga raja Bone, Sulawesi Selatan, bercorak pohon lo biru. Olaf sendiri, menurut sumber di Lembaga Kebudayaan Belanda, Jakarta, tak dapat datang. Selain usianya sudah lanjut, ia juga akan menjalani operasi. Olaf, yang kini hidup sendiri, tanpa anak, lahir dan dibesarkan di Cirebon. Ayahnya, Dokter Wemmerslager van Sparwoude, pada zaman kolonial itu memang penduduk Cirebon. Menurut sumber tadi, Van Sparwoude berhasil menyembuhkan Sultan Sepuh XI dari suatu penyakit yang menyebabkan ia sulit mendapatkan anak. Hasil ikhtiar dokter itu menggembirakan: Sultan berhasil mendapatkan anak. "Sejak itu, setiap kelahiran seorang bayinya, Sultan selalu menghadiahi Dokter Sparwoude sebuah benda keramik termasuk kendi antik yang kini dikembalikan kepada cucunya itu," ujar sumber tadi. Karena itulah hubungan mereka tetap hangat. "Lepas dari soal-soal politik, hubungan kekeluargaan Sultan Sepuh Raja Nataningrat XI dengan ayah Tuan Olaf dulu memang baik," ujar adik kandung Sultan, Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat, S.H., kepada Hedy Susanto dari TEMPO. Adapun kendi yang dibawa ke Belanda pada 1919 itu, menurut Olaf, adalah buatan dinasti Kangxi. Raja Kangxi (1662-1772) dari dinasti Qing, menurut buku Keramik Kuna yang Ditemukan di Indonesia karya Sumarah Adhyatman, tak hanya dikenal sebagai jenderal dan raja yang bijak. Ia juga seorang pecinta seni. Di bawah pemerintahannya, dapur-dapur keramik di Jingdezhen diorganisasikan kembali secara besar-besaran. Kabarnya, keramik biru-putih dari masa Kangxi, khususnya dari pertengahan kedua abad XVII, mendapat pasaran luas di Eropa. "Sering dikatakan bahwa terangnya warna biru di atas porselen putih jernih dari masa ini jarang ada bandingannya," begitu ditulis di buku itu. Kembali pada keluarga Olaf. Sepeninggal suaminya, janda Dokter Sparwoude mesti membesarkan dua anak yang ketika itu masih kecil -- dan ia membutuhkan uang. Karena ibu Olaf menjual beberapa keramik, koleksi dokter itu makin lama kian menipis. Tetapi kendi Kangxi itu tak dijual, konon karena janda dokter tersebut sulit melepaskan kenangan dirinya dengan si suami. Bahkan kendi itu, menurut Olaf sendiri, memberi inspirasi untuk menulis otobiografi yang berjudul De Porcelein Boom atau "Pohon Porselen". Olaf, yang pernah dua kali ke Cirebon, ingin agar kendi itu kembali ke Indonesia. Selain itu, ia juga memberikan dua buku kepada Sultan, yang masing-masing berjudul De Porcelein Boom dan Indonesie Weerzien atau "Kembali ke Indonesia". Sebelum dibawa ke Cirebon, kendi itu dipamerkan di Museum Adam Malik. Yang sempat melihatnya, antara lain, Sumarah Adhyatman, penulis buku Kendi yang sudah disebut tadi. Nyonya Adhyatman memperkirakan, kendi itu berasal dari abad ke-18 atau 19. "Benda itu bagus sekali, baik kua porselen, kua desain, dan kua warna. Indah, sangat indah sekali," ujar Adhyatman. Bahkan, menurut dia, meski cuma berharga beberapa juta rupiah, kendi itu termasuk benda kerajinan yang terbaik dalam kelasnya. "Saya senang sekali melihatnya," kata kurator Museum Adam Malik itu. Tak hanya itu. Menurut Adhyatman kendi tersebut sekaligus jadi bukti sejarah bahwa raja-raja pada waktu itu (sekitar abad ke-17-18) selalu memakai porselen dengan ukiran perak di bagian tutupnya. Artinya, jelas bahwa Sultan Sepuh XI -- yang menerima benda itu dari leluhurnya -- di Cirebon juga memakai benda keramik bertutupkan perak, sebagaimana raja-raja di Sulawesi Selatan dan Aceh pada zamannya. Hal lain adalah bahwa nilai sejarah kendi ini tak cuma datang dari berita yang didengar orang dari sumber lain. "Melainkan langsung dari pelaku sejarah itu sendiri kcpada anaknya," ujar Adhyatman. Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini