Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Belajar Kesadaran Diri dari Ibnu Sina

Ibnu Sina membuat eksperimen, seandainya raga ini di udara maka saat itu manusia akan merasakan benar-benar kesadaran diri.

18 Juli 2018 | 06.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi wanita sedang bermeditasi. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - IbnU Sina atau Avicenna (980-1037 M) selama ini lebih dikenal sebagai ahli kedokteran. Namanya diabadikan di banyak rumah sakit atau klinik. Tak heran, karena dua bukunya, Kitab Asy-Syifa (The Book of Healing) dan Al-Qanun fi Ath-Thibb (The Canon of Medicine) menjadi referensi ilmu kedokteran selama berabad-abad, baik di Timur maupun di Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, sejatinya, Ibnu Sina tidak hanya ahli kedokteran. Dia juga seorang filsuf, ahli matematika, ketuhanan dan juga sufisme. Bahkan jumlah buku yang ditulisnya (dan selamat hingga saat ini) lebih banyak bicara soal filsafat (150 buah) dibanding soal kedokteran (40 judul).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah pendapatnya dalam teologi dibantah oleh banyak ahli ilmu Kalam seperti Al-Ghazali atau ulama ahlus-sunnah. Ia dianggap terlalu berfilsafat saat berbicara soal Tuhan. Meski pendapatnya di teologi amat menarik, penjelasan soal itu amat rumit dan perlu ruang yang lebih luas.

Sebaiknya kita bicara hal yang lain, karena ada banyak hal menarik dari 450 buku yang pernah ditulisnya selama 57 masa hidupnya (sayangnya hanya 240 buku yang tersisa hingga saat ini). Salah satunya adalah teori Floating Man(Insan Mu’allaq) yang dia tulis saat dipenjara di kastil Fardajan dekat Hamadhan, Iran (Ibnu Sina beberapa kali dipenjara oleh penguasa karena urusan politik).

Floating Man adalah sebuah eksperimen pikiran untuk membuktikan bahwa jiwa itu berbeda dengan tubuh fisik. Saat itu banyak orang yang menganggap jiwa dan raga adalah satu kesatuan. Ibnu Sina menganggap keduanya adalah wujud yang berbeda. Banyak orang menganggapnya sama karena terjebak pada stimulus yang mempengaruhi raga. Apa yang kita sentuh, apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, apa yang kita tapak, mempengaruhi raga dan kemudian jiwa kita.

Ibnu Sina kemudian membuat eksperimen, seandaihnya raga ini tidak bersentuhan dengan stimulus dari luar, melayang di udara dan tak bersentuhan dengan apapun, maka saat itu manusia akan bisa merasakan benar-benar keberadaan jiwanya (nafs).

Eksperimen ini kemudian dipakai sebagai alat untuk masuk ke dalam self-awareness. Kesadaran akan diri ini adalah bagaimana seorang secara sadar mengetahui dan memahami karakternya, perasaannya, motivasi yang menggerakkan dirinya, dan keinginan-keinginan yang menguasai diri kita.

Dengan demikian, kita bisa berada di luar diri dan melihat diri kita secara obyektif. Dalam mistisisme (sufi), pemahaman akan diri ini dilakukan melalui sejumlah praktik latihan (riyadhah). Tanpa itu, diyakini, jiwa akan amat terpengaruh pada interaksi fisik dengan hal-hal eksternal. 

 

Tulisan sudah tayang di Almuslim

Qaris Tajudin

Qaris Tajudin

Wartawan Tempo. Sarjana hadis dari Universitas Al Azhar Kairo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus