Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ibnu Sina atau dunia barat lebih mengenalnya dengan nama Avicenna dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern Dunia. Selain itu, ia adalah seorang filsuf, ilmuwan, hingga penulis muslim ulung pada zamannya. Meski kontribusinya dalam ilmu pengetahuan sangat besar, Avicenna pernah dikafir-kafirkan oleh penganut Sunni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebutan kafir alias tak mempercayai Tuhan itu karena dia menganut aliran Mu’tazilah. Dilansir dari buku Avicenna’s Metaphysics in Contexts, aliran ini ditolak oleh kaum Sunni yang dianggap terlalu mengagungkan akal manusia daripada tradisi Islam itu sendiri. Misalnya, melakukan interpretasi bebas terhadap kandungan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu filsuf muslim yang menganggap Ibnu Sina kafir datang dari seorang Al-Ghazali. Argumennya, didasarkan pada teori emanasi yang dibawa oleh Ibnu Sina. Dikutip dari jurnal “Al-Ghazzali and His Refutation of Philosophy”, Al-Ghazali menilai bahwa teori emanasi Ibnu Sina menghilangkan kesan Tuhan sebagai pencipta, menempatkan Tuhan lebih rendah dari makhluk-Nya, dan teori ini mengarah pada paham panteisme.
Al-Ghazali mengkritik bahwa argumen yang didasarkan oleh Ibnu Sina sepenuhnya berasal dari akal manusia. Sementara dia bersikeras bahwa tidak semua ajaran agama dapat dirasakan oleh akal manusia yang terbatas. Lebih lanjut, teori emanasi Ibnu Sina ini bersumber dari bahan-bahan teori filsuf Yunani Klasik, Neoplatonisme. Berangkat dari sinilah, filsafatnya Ibnu Sina harus dipandang bid’ah dan menyebutnya sebagai seorang kafir.
Meski demikian, Ibnu Sina menolak bahwa dirinya adalah seorang kafir. Bahkan, dialah salah satu filsuf muslim pertama yang mengintegrasikan logika filsafat terhadap teologi Islam. Terbukti, seperti dilansir dari New World Encyclopedia, sebanyak 250 judul karyanya dalam bidang kedokteran, filsafat, fisika, ilmu fiqih, hingga ilmu kalam telah menjadi buku pedoman di sekolah-sekolah.
Bahkan, karyanya dalam bidang kesehatan berjudul The Canon of Medicine digunakan selama berabad-abad di Eropa sebagai buku medis utama. Dapat dikatakan Ibnu Sina adalah salah satu sosok ilmuwan muslim berpengaruh yang membawa Islam mencapai kejayaannya pada abad pertengahan tersebut.
Intelektualitas Avicenna yang di atas rata-rata itu sudah terlihat sejak kecil. Mulai umur 10 tahun, ia sudah belajar secara otodidak. Saat menginjak usia 16 tahun, mulai tertarik mendalami ilmu pengobatan. Hingga akhirnya ia diberi hadiah berkunjung ke perpustakaan kerajaan Samanid karena telah mengobati Sultan Bukhara.
Sejak saat itu Ibnu Sina mulai menulis dan di usia ke 21 tahun telah menghasilkan 240 tulisan dalam berbagai bidang. Uniknya, dia gemar membaca buku metafisika yang ditulis oleh Aristoteles selama 40 kali.
Menjelang akhir hayatnya, Ibnu Sina menjadi pelayan penguasa Muhammad bin Rustam Dushmanziyar. Ia diangkat sebagai dokter umum, penasihat sastra, dan sains. Pada Ramadhan 1037 Masehi, Ibnu Sina mengembuskan napas terakhirnya karena sakit perut dan mengalami luka yang cukup parah saat dalam perjalanan menemani Al al-Dawla menuju Hamadan.
HARIS SETYAWAN
Baca juga: Ibnu Sina, Ilmuwan yang Mengembangkan Kedokteran Modern Dunia
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.