Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Bermalam di Kampung Matrilineal Minangkabau

Ratusan perempuan memakai baju kurung dengan selendang tingkuluak di kepala. Mereka mengikuti acara budaya menjunjung jamba yang berisi makanan untuk para datuk atau tetua adat.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
vBermalam di Kampung Matrilineal Minangkabau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari atas rumah gadang yang hampir berusia satu abad, saya menikmati denyut kehidupan budaya Minangkabau. Rumah gadang di Nagari Jawi-Jawi, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, ini adalah tempat yang sempurna untuk melihat budaya matrilineal, atau kekerabatan dari garis ibu, bekerja. Semua prosesi adat yang dikerjakan oleh para perempuan masih berlangsung di Nagari Jawi-Jawi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas rumah gadang sebagian besar prosesi pernah berlangsung: perkawinan, kelahiran, kematian, atau pengangkatan datuk dengan acara adat yang melibatkan ratusan orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya bermalam di rumah gadang suku Melayu. Namanya Rumah Gadang Datuak Rajo Nan Putiah. Nureyoni, 51 tahun, merupakan salah satu perempuan ahli waris rumah gadang yang ada di Nagari Jawi-Jawi. "Nenek saya dibesarkan di rumah gadang ini, ibu saya dan saudara-saudaranya lahir di sini," kata Nureyoni pada pertengahan Agustus lalu. "Saya juga lahir dan besar di rumah gadang ini."

Rumah gadang yang diwarisi Nureyoni luas, dengan tonggak-tonggak besar berbentuk bulat yang menopang rumah dan berjejer tegak di ruang tamu yang luas. Dinding luarnya berukir, dengan dominan warna merah. Saat ini rumah gadang itu juga mulai ia kelola untuk penginapan wisatawan yang ingin melihat budaya Nagari Jawi-Jawi dari dekat. Rumah gadang di sebelahnya yang terlihat seperti kembaran juga sudah dikelola untuk wisatawan.

Tamu seperti saya tidur di ruang tamu dengan kasur-kasur berseprai baru yang dibentangkan pada malam hari. Selain saya, ada beberapa tamu lain dari Padang serta sepasang pelancong suami-istri dari San Fransisco, Amerika Serikat, Erika dan Wiegertz. Mereka sudah dua hari berkeliling Indonesia, dan terakhir ke Lembah Harau, kemudian ke Nagari Jawi-Jawi.

"Kami membuat film dokumenter, dan nanti menawarkannya ke stasiun televisi di Amerika Serikat," kata Erika saat kami sarapan bersama di beranda.

Nureyoni membuatkan kami pisang goreng dan kopi Solok yang panas. Kami menikmatinya sambil melihat lalu-lalang kendaraan dan anak-anak sekolah yang bergegas berjalan kaki. Tak lama melintas ibu-ibu dibonceng sepeda motor yang memakai baju kurung dan membawa jamba, dulang besar yang dibungkus kain beludru bersulam emas yang isinya makanan. Pemandangan yang menarik. Saya bergegas mengabadikannya dengan kamera dari halaman.

Ada juga yang para perempuan yang dibawa dengan mobil bak terbuka, duduk bersama di bak belakang memangku jamba. Pakaian mereka aneka warna dengan selendang tingkuluak di kepala.

Hari itu memang ada acara budaya di rumah dinas Bupati Solok, sekitar 10 kilometer dari Nagari Jawi-Jawi. Para perempuan itu akan mengikuti acara budaya menjunjung jamba untuk para datuk atau tetua adat yang akan mengikuti prosesi pengangkatan Kepala Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Pada hari itu, Bupati Solok Gusmal akan diangkat sebagai Kepala LKAAM Kabupaten Solok.

Seekor kerbau pada dinihari telah dijagal, kepalanya sudah dipancang di sebuah tonggak di jalan masuk rumah di lokasi pesta akan berlangsung. Dagingnya juga langsung direndang dalam kuali-kuali besar dinihari tadi oleh belasan perempuan.

Acara pemotongan kerbau dan masak rendang itu juga dihibur dengan atraksi budaya malam sebelumnya. Saya juga melihatnya hingga dinihari. Ada randai, rabab, menari di atas pecahan kaca, bahkan ada lukah gilo, alat penangkap ikan yang dijampi-jampi sehingga bisa bergerak liar saat dimainkan dua orang. Sangat mistis dan menarik.

Di depan rumah melintas tiga perempuan berjalan kaki. Menjunjung jamba yang berat di kepalanya, beratnya saya perkirakan mencapai delapan kilogram, karena di dalamnya biasanya ada makanan lengkap dengan wadah kaca, juga satu sisir pisang atau satu mangkuk jeruk manis. Mereka berhenti sambil menunggu angkutan desa.

"Jamba ini saya siapkan sejak pagi, makanan yang ada di rumah saja, tiga jenis lauk-pauk dan sayur, buah, juga piring," kata Nur, tetangga Nureyoni.

Ia mengatakan acara ini diikuti dengan sukarela oleh para perempuan. Semua makanan yang dibawa bahan-bahannya dibeli dan dimasak sendiri. "Ini semua partisipasi kami. Jadi kalau diminta membawa jamba, semua dengan senang hati ikut serta," kata Nur. "Namanya tinggal di kampung, banyak pesta, tapi dengan inilah kita menjaga adat tetap berjalan."

Dalam jamba yang ia bawa ada gulai ikan mas, urap daun pepaya, pergedel kentang, nasi, dan sesisir pisang. "Untuk membawa jamba, kami juga tidak diminta berlebihan, hanya tiga jenis makanan, dan cukup bahan makanan yang ada di rumah," katanya lagi.

Nur memakai baju kurung brokat warna kuning dengan songket silungkang warna merah hati dan tingkuluak warna kuning yang membalut kepala. Tingkuluaknya berupa selendang bersulam bunga dengan merah yang cerah.

Tingluluak adalah selendang khas pakaian para perempuan di semua nagari di Kabupaten Solok, yang digunakan untuk mengikuti pesta adat. Nur mengatakan setiap perempuan harus punya tingkuluak. Ia memiliki beberapa helai selendang tingkuluak bermacam warna, ada yang merah, kuning, hitam, hijau sebagai warna adat, dan ada yang berwarna pink, warna yang sedang menjadi tren.

Harga selendang itu juga tidak murah, selembar Rp 500 ribu. Belum lagi harga kain songket Silungkan, dengan harga paling murah Rp 500 ribu hingga yang mahal Rp 3 juta. Belum lagi seragam dari kain batik tanah liat, batik Minang yang menggunakan pewarnaan tanah liat, khusus untuk pakaian bundo kanduang dan selendang datuk-datuk pemuka adat.

Namun Nur mengatakan ia dan perempuan lainnya bisa menyiasati. Di arisan perkumpulannya, ada yang menjual secara kredit. "Jadi dengan Rp 50 ribu, kami sudah bisa memakai selendang tingkuluak baru, bisa dibayar sepuluh kali," katanya tertawa. Koleksi baju-bajunya di dalam lemari menurutnya juga sebagian besar baju untuk ritual adat.

"Di sini banyak sekali acara, dalam satu bulan itu bisa sampai enam kali pesta adat," katanya. Ia kemudian naik mobil bak terbuka angkutan desa bersama dua perempuan lain.

Saya juga segera berkemas ingin melihat prosesi mengarak jamba. Akan ada 800 perempuan dari berbagai nagari di Kabupaten Solok yang akan menjunjung jamba ke tempat acara sejauh dua kilometer. Pada pukul 09.30 WIB, saya sudah bergabung di tengah lautan perempuan berjamba lainnya di titik tempat berkumpul di taman hutan kota di Arosuka, ibu kota Kabupaten Solok. Ratusan perempuan berpakaian adat dengan warna busana yang semarak.

Jamba-jamba yang ditutup dengan kain bersulam itu diletakkan rapi di lapangan, menunggu parade membawa jamba dimulai. Akhirnya pada pukul 10.00 WIB, acara mengarak jamba dimulai. Barisan paling depan para datuk, dengan pakaian kebesarannya, membawa tongkat dan keris di pinggang. Di belakangnya para perempuan berjalan beriringan dalam satu barisan yang mengular di jalan raya yang telah dibebaskan dari kendaraan. Mereka menjunjung jamba di atas kepalanya.

Membawa beban yang berat di tengah teriknya matahari butuh perjuangan yang besar, tapi mereka terlihat tetap semangat. Beberapa kali terjadi insiden kecil saat barisan paling depan berhenti mendadak. Itu membuat barisan pembawa jamba di belakangnya saling bertabrakan. "Kalau yang di depan berhenti kasih aba-aba dulu," teriak seorang ibu yang tutup jambanya jatuh ke jalan. Saya membantu memasangnya kembali, karena ia kesulitan merunduk.

"Tetap senyum Bu, nanti mau masuk TV," kata seorang polisi wanita membujuknya.

Tiba di lokasi, para perempuan mengatur jamba-jamba yang akan dimakan bersama para datuk. Sedangkan puluhan datuk dan bundo kanduang mengikuti prosesi pengangkatan Ketua LKAAM, yang akan menjadi wadah untuk kaum adat.

Siang hari setelah acara selesai, makan bajamba pun dimulai. Diawali dengan petatah-petitih adat yang saling sambut dari dua orang datuk. Setelah usai, baru makan bajamba bersama dimulai. Satu jamba untuk tiga orang.

Begitu dibuka, jamba kami berisi empat bungkus nasi dalam daun pisang, rendang, gulai petai cina, sambal goreng petai cina, telur bebek balado, urap daun papaya dan sesisir pisang. "Ini makanan khas Nagari Jawi-Jawi di tempat saya, namanya gulai ampok, dari petai cina yang muda, kecombrang, pucuk daun ubi, dan buah tekokak," kata Yarmi Nety, 54 tahun, bundo kanduang dari Nagari Jawi-Jawi yang makan satu jamba dengan saya.

Ia mengatakan sambal goreng petai cina itu juga khas Jawi-Jawi, terbuat dari petai cina yang muda, ebi, dan cabai kering. Semua digoreng kering dan giling kasar, namanya samba masiak. Kedua makanan ini baru kali itu saya coba, dan rasanya enak.

Selain itu, ada rendang kerbau dengan serat daging kasar tapi empuk. Saya sungguh surprised, karena jarang sekali ada rendang kerbau, kecuali di acara adat. Sebab, harga kerbau sangat mahal. Rendang kerbau ini dimasak dari kerbau yang dipotong dinihari, dan dimasak belasan perempuan dalam kuali-kuali besi di atas tungku dengan kayu bakar di lokasi acara. Rasanya memang lezat, dengan aroma yang khas.

Setiap jamba berbeda jenis makanannya. "Wah, dapat gulai petai cina ya, sudah lama sekali saya tidak memakannya, saya tadi malah dapat belalang goreng," kata seorang datuk yang lewat di belakang saya sambil memperhatikan jamba kami. Saya tersenyum mendengarnya. FEBRIANTI


Ransel
- Di Nagari Jawi-Jawi, Kabupaten Solok, terdapat dua rumah gadang yang siap menampung wisatawan dengan kapasitas masing-masing 20 orang, yaitu rumah gadang Rajo Nan Putiah dan rumah gadang Nenek Bansoareh yang bersebelahan. Selain kedua rumah gadang itu, terdapat rumah masyarakat yang siap menampung wisatawan. Nagari ini sudah ditetapkan menjadi kampung budaya.
- Wisatawan yang menginap disediakan sarapan dan makanan khas setempat selama di lokasi. Selain merasakan tidur di rumah gadang, wisatawan bisa menikmati pemandangan Nagari Jawi-Jawi yang indah dengan sawah yang bertingkat-tingkat dengan latar Gunung Talang serta bermain di sungainya yang jernih. Untuk wisatawan yang datang berombongan disediakan paket kesenian setempat.
- Jarak Nagari Jawi-Jawi hanya 40 kilometer dari Padang, bisa naik mobil pribadi atau bus umum Padang-Solok dengan tarif Rp 20 ribu dari Padang. Berhenti di Pasar Guguk dan disambung naik ojek dengan tarif Rp 5.000 ke Nagari Jawi-Jawi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus