Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata "pencak" dijelaskan dalam kamus sebagai: permainan (keahlian) untuk mempertahankan diri dengan kepandaian menangkis, mengelak, dan sebagainya. Lalu kata "silat" dijelaskan: olahraga (permainan) yang didasarkan pada ketangkasan menyerang dan membela diri, baik dengan menggunakan senjata ataupun tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi, pencak silat ada unsur bertandingnya, menyerang dan membela diri. Arti seperti itulah yang hidup di tengah masyarakat, sejak dulu. Namun di Asian Games 2018, cabang olahraga ini ada yang minus pertandingan. Yang dinilai hanya unsur seni. Penonton sulit tahu siapa pesilat yang menang dan siapa yang kalah karena tanpa ada yang berlaga. Lantaran itu ada yang menuduh nilai yang diberikan juri bisa jadi subyektif. Arah tuduhan menghasilkan kesimpulan bahwa 14 medali emas dari pencak silat belum menunjukkan Indonesia berjaya di dunia olahraga. Apalagi pencak silat baru pertama kalinya dimainkan di Asian Games.
Bukankah ada lagi cabang olahraga yang menang-kalahnya tidak karena bertanding? Artinya tidak saling menjatuhkan dan juga tak ada penilaian kecepatan waktu. Misalnya senam, loncat indah, dan wushu. Yang dinilai adalah kesempurnaan gerak, dan kesempurnaan itu jauh lebih luas dari seni.
Kesempurnaan gerak, itu kuncinya, dan di situ nilai dalam pencak silat. Ada posisi kuda-kuda (posisi tapak kaki memperkokoh tubuh), ada posisi langkah (cara melangkah), posisi kembangan (gerak tangan dan sikap tubuh), dan posisi buah (teknik tendangan dan gerak tangan, siku, dan sebagainya). Ada beberapa posisi lain lagi kalau pencak silat dimainkan dengan sistem bertanding, misalnya posisi sapuan, guntingan, dan kuncian. Jadi memang ada pakem yang terukur untuk penilaian, baik sistem berlaga maupun yang tidak.
Maka tetaplah berbesar hati bahwa peringkat Indonesia melesat naik melampaui target karena jasa pencak silat adalah sebuah prestasi yang sah adanya. Dan terus berjuang agar dalam Asian Games mendatang cabang silat ini tetap dipertandingkan. Jika perlu dipromosikan di Olimpiade, jangan kendor.
Saat ini nyaris hanya pencak silat yang membuat kita bangga jika berbicara soal olahraga. Bulu tangkis di mana dulu kita perkasa, sudah diambil alih negara lain. Janganlah bicara soal sepak bola, wong negeri berpenduduk 260 juta ini kalah prestasinya dengan Kroasia yang hanya berpenghuni 5 juta. Tugas berat menanti tak sekadar membina paguyuban silat yang bertebaran dengan berbagai aliran yang ada di Nusantara, tapi bagaimana memperkenalkan pencak silat ke berbagai negara.
Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di era kepemimpinan Eddie Nalapraya bersama Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam membentuk Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa (Persilat) pada 11 Maret 1980. Pada SEA Games 1987, pencak silat pun dipertandingkan pertama kalinya. Kini banyak negara sudah mengenal pencak silat. Kejuaraan tingkat dunia pun sudah rutin digelar Persilat yang kini dipimpin oleh Ketua Umum IPSI Prabowo Subianto. Kejuaraan terakhir yang ke-17 diselenggarakan di Denpasar pada Desember 2016, diikuti 40 negara. Di situ Prabowo menganugerahkan gelar The Great Warrior of Pencak Silat kepada Presiden Jokowi. Gelar ini dalam dunia silat disebut "pendekar utama", gelar tertinggi setelah pemula, menengah, dan pelatih.
Jadi Prabowo dan Jokowi sudah lama mempopulerkan pencak silat. Momen keduanya berpelukan yang difasilitasi pesilat Hanifan bukanlah hal yang istimewa. Kedua tokoh itu sudah pendekar, pendukungnya saja yang masih pemula dan suka bersilat lidah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo