Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Salah satu daya tarik Yogyakarta sebagai Kota Wisata tak lain karena masih banyaknya bangunan lawas yang terawat seperti bentuk aslinya. Bangunan lawas di Yogyakarta sebagian besar sudah terklasifikasi sebagai benda warisan budaya atau WB dan cagar budaya atau CB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uniknya, bangunan-bangunan lawas, terutama yang bernuansa kolonial itu sebagian masih digunakan. Baik untuk aktivitas ekonomi maupun layanan publik. Contoh paling tampak, salah satunya Gedung BNI 1946 di Titik Nol Kilometer atau ujung jalan Malioboro. Bangunan itu dibangun tahun 1921 oleh arsitek Belanda Johan Louwrens Ghijsels, dan pertama digunakan sebagai kantor asuransi Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2024 ini, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta sendiri masih terus mengkaji puluhan bangunan lawas yang tersebar, masuk warisan budaya dan cagar budaya. "Selama tahun 2024 ini ada 20 objek bangunan dan benda warisan budaya dan cagar budaya kami kaji," kata Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, Kamis 21 November 2024.
Adapun 20 objek yang dikaji diantaranya berada di Jalan Malioboro Yogyakarta. Sepeti Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Gedung Apotek Kimia Farma 21 dan 20.
Gedung DPRD DIY sendiri dalam catatan Kementrian Pendidikan Kebudayaan merupakan cagar budaya yang diperkirakan dibangun akhir abad ke-19. Gedung ini baru beralih fungsi pada tahun 1948-1950 menjadi fasilitas bagi organisasi sosial politik. Sedangkan Gedung Apotik Kimia Farma di Jalan Malioboro ternyata dibangun pada masa pemerintahan Belanda yaitu pada tahun 1865 dengan nama Apotheek Juliana.
Selain itu, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta juga mengkaji sejumlah gedung sekolah lawas. Seperti Gedung SMAN 11 Yogya, SMPN 3 Yogya, SDN Jetis 1 Yogya, dan SDN Margoyasan Yogya.
Tim ahli cagar budaya mengkaji objek dari berbagai aspek. Antara lain identitas, alamat, status kepemilikan, sejarah dan nilai-nilai penting atau keistimewaan sehingga objek itu layak untuk diajukan sebagai warisan atau cagar budaya. "Misalnya SMPN 3 Yogyakarta, bangunan ini penting karena ternyata bekas sekolah yang dikhususkan untuk etnis Tionghoa pada tahun 1912," kata dia.
Sedangkan Gedung SD Negeri Jetis 1 Yogyakarta, ternyata setelah ditelusuri dari bukti -bukti pendukung, sekolah ini dulu disebut sekolah pribumi Angka Loro (Sekolah Rakyat) yang didirikan tahun 1906.
Obyek yang dikaji ada pula Gedung Museum Sandi, Gedung Gereja Protestan di Indonesia Barat Marga Mulya, Gedung Masjid Margoyuwono, Gedung Kantor Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Regional Yogyakarta serta Wisma Palapa dan Reformasi Kompleks PPSDM.
Tak hanya itu, termasuk juga Gedung eks Depot Es Petodjo di Jalan Mangkubumi dan Jalan Hayam Wuruk, rumah tradisional jawa di Giwangan, Gedoeng Moehammdijah Yogya, sisa pagar keliling Puro Pakualaman serta, Arca Dewi Sri, Serat Ambiya dan wayang kulit Purwa Kumbakarna Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta .
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya atau TACB Kota Yogyakarta Yanuarius Benny Kristiawan menjelaskan sejumlah prosedur yang dilakukan dalam pengkajian benda warisan dan cagar budaya itu. "Setiap objek yang direkomendasikan telah melalui kajian menyeluruh dan mempertimbangkan banyak aspek," kata dia.
Baik kajian dari aspek sejarah, sosial maupun budaya yang melekat pada objek-objek bangunan dan benda. "Hasil kajian itu lalu menjadi landasan untuk membuat keputusan penetapan, pemeringkatan maupun penghapusan status warisan budaya dan cagar budaya sesuai ketentuan dan aturan yang berlaku," katanya.
Pilihan editor: Sejarah Gereja Katedral Jakarta yang Dikunjungi Paus Fransiskus